Featured Post
Menentukan Pasangan: Bukan Hanya Tentang Rasa, Tapi Tentang Arah
Menentukan Pasangan: Bukan Hanya Tentang Rasa, Tapi Tentang Arah Menentukan pasangan hidup adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup...
Menentukan Pasangan: Bukan Hanya Tentang Rasa, Tapi Tentang Arah
Dalam Islam, pernikahan bukan hanya penyatuan dua insan, tapi juga dua jalan hidup yang akan bertemu di satu titik, lalu melangkah bersama menuju ridha-Nya. Maka menentukan pasangan bukan hanya tentang siapa yang membuatmu tersenyum, tapi juga siapa yang akan membimbingmu saat dunia membuatmu lelah.
1. Cinta Bisa Tumbuh, Tapi Arah Harus Sejalan
2. Lihat Lebih Dalam dari Sekadar Fisik dan Harta
3. Kenali Dirimu Sebelum Mengenali Orang Lain
4. Jangan Buta oleh Cinta, Jangan Mati oleh Logika
5. Bersiaplah Bukan Hanya Untuk Menikah, Tapi Untuk Menjadi Teman Perjalanan
Penutup: Pasangan Bukan Dicari Sempurnanya, Tapi Diterima Kekurangannya

Menentukan Pasangan: Bukan Hanya Tentang Rasa, Tapi Tentang Arah
Posted by JENDELA PENDIDIKAN on Monday, 16 June 2025
Merawat Orang Tua di Masa Senja: Menjadi Anak yang Kembali Menjadi Penjaga
1. Mereka Tak Butuh Banyak, Hanya Ingin Hadirnya Anak
Seringkali kita berpikir bahwa membahagiakan orang tua harus dengan harta, rumah besar, atau hadiah yang mahal. Padahal, yang paling mereka rindukan adalah kehadiran kita, senyum tulus kita, sapaan hangat yang tak terburu-buru.
Cukup duduk di samping mereka, mendengar cerita yang mungkin sudah berulang kali disampaikan, dan menatap wajah yang kini dipenuhi garis perjuangan—itu sudah lebih dari cukup bagi hati mereka yang lapuk oleh rindu.
2. Mereka Mungkin Pelupa, Tapi Kita Jangan Lupa
Berbaik hatilah. Sebab dulu, saat kita masih belajar berjalan dan buang air sembarangan, mereka tak pernah mencela. Mereka bersabar—dan kini, giliran kita membalasnya.
3. Menjadi Anak yang Juga Menjadi Orang Tua bagi Orang Tuanya
Tak semua orang diberi kesempatan itu. Tak semua orang masih punya ayah dan ibu yang bisa dicium tangannya. Maka saat Allah masih memberi kita waktu bersama mereka, itu bukan kebetulan. Itu adalah amanah—sekaligus ladang pahala yang tak ternilai.
4. Bicaralah dengan Lembut, Bersikaplah dengan Santun
5. Doa Mereka, Payung Kita Sepanjang Usia
Bayangkan, betapa banyak kebaikan dalam hidup ini adalah hasil dari doa mereka yang diam-diam. Maka jangan lelah merawat mereka. Karena saat kita menjaga mereka, Allah sedang menjaga kita lewat doa-doa mereka.
Penutup: Masa Senja Mereka, Ladang Pahala Kita
Selagi masih bisa, jadilah anak yang berbakti. Jadilah telaga bagi dahaga mereka. Jadilah pelindung di masa rapuh mereka. Karena suatu saat, kita pun akan berada di tempat mereka—dan berharap ada tangan yang juga siap menggenggam dengan kasih.
Anax Tany June 16, 2025 Riyyan seo Banjarmasin, Kalimatan SelatanMenghadapi Anak Nakal: Sebuah Seni, Bukan Amarah
Setiap anak terlahir unik. Ada yang tenang, ada yang aktif, bahkan ada yang disebut “nakal”. Namun sebelum jari kita menunjuk dan mulut kita memberi label, mari kita jeda sejenak dan bertanya dalam hati: Benarkah anak ini nakal, atau hanya sedang mencari cara untuk dimengerti?
Dalam kehidupan ini, tak ada yang lebih menantang sekaligus membahagiakan selain mendidik anak. Terlebih ketika kita berhadapan dengan anak yang sering melawan, susah diatur, atau bertingkah di luar harapan kita. Mudah sekali hati ini terbakar emosi, menganggap mereka durhaka, keras kepala, bahkan “gagal dibentuk”. Padahal, bisa jadi, mereka hanya sedang butuh lebih banyak cinta, bukan bentakan.
1. Mengganti Lensa dalam Melihat Anak
Seorang bijak pernah berkata, “Anak yang tampak paling sulit dicintai, sebenarnya yang paling butuh cinta.”
Anak yang terlihat nakal, sering kali bukan pembuat masalah, tapi korban dari masalah yang belum ia tahu cara mengungkapkan. Bisa jadi ia sedang terluka, bosan, ingin diperhatikan, atau hanya sedang meniru apa yang ia lihat dari lingkungan sekitarnya.
Maka, mulailah dengan mengganti cara pandang. Jangan melihat anak sebagai musuh yang harus ditaklukkan, tapi sebagai jiwa muda yang butuh dipeluk, dibimbing, dan dipahami.
2. Jangan Marah, Tapi Dekati
Tantangan terberat dalam mendidik bukan terletak pada perilaku anak, tapi pada bagaimana kita mengelola emosi saat menghadapinya.
Anak yang memukul bukan perlu dibalas pukulan. Anak yang membantah bukan perlu dibalas bentakan. Mereka perlu kehadiran orang dewasa yang tenang dalam badai, bukan yang tenggelam dalam amarah.
Ingat, saat anak sedang “nakal”, justru saat itulah ia paling membutuhkan orang tua yang bisa memeluk tanpa menghakimi. Anak belajar bukan hanya dari perkataan kita, tapi dari sikap kita saat menghadapi kegagalannya.
3. Bangun Kedekatan, Bukan Kekuasaan
Anak akan lebih mudah diarahkan ketika ia merasa dicintai tanpa syarat. Bangunlah kedekatan yang membuat mereka merasa aman. Ajak bicara dari hati ke hati, bukan hanya memberi instruksi.
Tanyakan dengan lembut, “Apa yang membuatmu melakukan itu?”
Bukan untuk menghakimi, tapi untuk memahami. Dari sana, kita bisa melihat dunia dari mata mereka—dan dari situlah pendidikan sejati dimulai.
4. Tegas Tapi Penuh Cinta
Mengasuh anak bukan berarti memanjakan. Tegas tetap perlu, tapi bukan keras. Ada cara halus namun kuat dalam mendidik. Seperti air yang mampu melubangi batu—bukan karena kerasnya, tapi karena kesabaran dan konsistensinya.
Berikan batasan yang jelas, tapi sampaikan dengan cinta. Ajarkan konsekuensi, bukan hukuman. Bedakan antara mendidik dan melampiaskan.
5. Ingat: Kita Dulu Pun Pernah “Nakal”
Sebelum kecewa karena anak tak seperti yang kita harapkan, mari kita ingat masa kecil kita sendiri. Bukankah kita pun pernah keras kepala, pernah membuat orang tua kita kecewa, bahkan pernah melawan?
Tapi lihatlah, dengan kasih sayang mereka, kita tumbuh juga. Maka kini, giliran kita meneruskan estafet kesabaran itu.
---
Penutup: Merangkul, Bukan Membuang
Anak yang disebut “nakal” bukan anak yang gagal, tapi anak yang sedang mencari arah. Dan arah terbaik itu akan ia temukan bila ia memiliki rumah yang memeluknya, bukan yang mengusirnya.
Jadilah rumah itu.
Jadilah pelita dalam gelapnya.
Jadilah orang tua yang bukan hanya ingin didengar, tapi juga bersedia mendengar.
Sebab dalam setiap anak yang "nakal", ada potensi besar yang sedang menunggu untuk dibimbing dengan sabar dan cinta.
Anax Tany June 16, 2025 Riyyan seo Banjarmasin, Kalimatan SelatanSaat Pernikahan Tak Kunjung Diberi Buah Hati
Setiap pasangan yang menikah pasti pernah membayangkan momen indah ketika mendengar tangisan bayi pertama mereka. Harapan memiliki buah hati seolah menjadi pelengkap kebahagiaan rumah tangga. Tapi, bagaimana jika waktu terus berjalan, dan doa-doa masih menggantung di langit, belum juga terjawab?
Pernikahan tanpa kehadiran anak bukan berarti pernikahan itu kurang atau gagal. Tapi jujur saja, tidak semua orang siap menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Sebagian merasa gelisah, sebagian mulai mempertanyakan diri sendiri—"Apakah aku kurang berdoa?" atau "Apa ada yang salah denganku?"
Menunggu Bukan Berarti Tidak Dicintai Tuhan
Terkadang, kita lupa bahwa menunggu adalah bentuk kasih sayang Allah. Saat sesuatu tertunda, bisa jadi itu adalah waktu terbaik bagi kita untuk lebih mendekat kepada-Nya. Doa-doa yang belum dikabulkan bukan berarti diabaikan. Mungkin, Allah ingin memperkuat hubungan antara suami dan istri terlebih dahulu sebelum menitipkan amanah baru.
Ingatlah, Nabi Ibrahim dan Sarah pun pernah diuji dalam hal ini. Mereka menunggu hingga puluhan tahun sebelum akhirnya dikaruniai keturunan. Tapi dari rahim kesabaran itu, lahirlah generasi yang luar biasa: Nabi Ishaq dan Nabi Ismail.
Jangan Biarkan Ujian Ini Merenggangkan Hubungan
Sayangnya, ujian ini sering kali membuat hubungan menjadi renggang. Bukan karena tak cinta, tapi karena tekanan dari sekitar dan diri sendiri. Kadang suami merasa bersalah, istri merasa tak cukup sempurna. Kalimat-kalimat seperti, "Kapan punya anak?" yang terdengar ringan di luar, bisa menusuk dalam bagi pasangan yang sedang menanti.
Padahal, di saat seperti inilah, suami dan istri harus saling menguatkan, bukan saling menyalahkan. Ini bukan saatnya mencari siapa yang kurang, tapi bersama-sama mencari makna dalam penantian. Pegang tangan pasanganmu lebih erat. Jadilah tempat pulang yang paling nyaman satu sama lain. Karena anak bisa jadi belum hadir, tapi cinta harus tetap hidup.
Fokus pada Apa yang Dimiliki, Bukan yang Belum Diberi
Kita sering terfokus pada apa yang belum kita miliki, hingga lupa mensyukuri apa yang sudah ada. Pernikahan tanpa anak bukan berarti hidup tanpa arah. Ada banyak hal indah yang bisa dibangun: karier yang berkembang, ibadah yang lebih khusyuk, pelayanan sosial, atau bahkan mengasuh anak-anak yang membutuhkan kasih sayang.
Beberapa pasangan justru menemukan makna mendalam dalam mengasuh keponakan, menjadi guru, atau membangun rumah yang dipenuhi cinta dan ketenangan meski tanpa tangisan bayi.
Tetap Berdoa, Tapi Jangan Lupa Bahagia
Berdoalah tanpa lelah, karena doa adalah bukti harapan. Tapi jangan biarkan harapan membuatmu lupa cara bahagia. Tuhan tahu kapan saat yang tepat. Bahkan jika itu tidak datang dalam bentuk anak kandung, bisa jadi Ia mengirimkan anak-anak lain yang membutuhkan kasihmu.
Percayalah, cinta kalian sebagai suami dan istri tetap bisa tumbuh dan bermakna. Anak bukan satu-satunya penentu kebahagiaan, meski memang menjadi anugerah yang sangat diharapkan.
---
Jika kamu saat ini sedang berada di fase penantian—menunggu hadirnya buah hati—ketahuilah bahwa kamu tidak sendiri. Banyak hati yang berdoa denganmu. Dan selama masih ada cinta, harapan, dan doa yang terus hidup, maka pernikahanmu tetap utuh dan indah dalam pandangan Allah.
Peluklah pasanganmu lebih lama malam ini. Ucapkan terima kasih karena tetap bertahan.
Dan bisikkan dalam doa:
"Ya Allah, jika belum Kau titipkan anak di rumah ini, titipkanlah selalu cinta dan ketenangan di dalamnya."
---
Tulisan ini untukmu yang sedang menanti, semoga hatimu selalu dilapangkan dan doamu segera diijabah. ๐ซ
Anax Tany June 16, 2025 Riyyan seo Banjarmasin, Kalimatan SelatanAntara Ibu dan Istri: Dua Cinta, Satu Hati
Dalam perjalanan hidup seorang laki-laki, ada dua perempuan yang tak tergantikan: ibu dan istri. Keduanya hadir di fase yang berbeda, namun sama-sama menempati ruang terdalam dalam hati. Ada cinta yang melahirkan, dan ada cinta yang dipilih untuk menemani hingga akhir hayat. Keduanya bukan untuk dibandingkan, tapi untuk dipahami dan dimuliakan sesuai tempatnya.
Ibu: Awal dari Segalanya
Ibu adalah pelukan pertama yang kita kenal. Suaranya adalah nyanyian yang menenangkan sebelum dunia membuka mata kita. Dalam dekapnya, kita belajar arti ketulusan—ia mencintai tanpa syarat, tanpa pamrih, bahkan tanpa kita sadari.
Tak terhitung pengorbanan ibu. Ia pernah begadang hanya karena demam kecil kita, menangis dalam diam saat kita gagal, dan tersenyum paling bahagia saat kita berhasil. Surga itu, kata Rasulullah, ada di telapak kakinya. Dan seharusnya, langkah kita tak pernah jauh dari restunya.
Istri: Teman Seperjalanan dalam Hidup
Kemudian waktu berjalan, dan laki-laki dewasa memilih satu nama untuk dibawa dalam doanya. Seorang perempuan yang ia pilih, bukan karena sempurna, tapi karena hatinya cocok untuk dibersamai. Dialah istri—teman seperjalanan, tempat berbagi, dan bahu untuk bersandar saat dunia mulai berat.
Cinta pada istri dibangun dari pilihan. Ia bukan hanya soal perasaan, tapi juga komitmen. Ia hadir bukan untuk menggantikan ibu, tapi untuk menemani hidup dalam peran yang berbeda. Ia akan jadi ibu dari anak-anak kita, pendamping di saat susah maupun senang.
Saat Cinta Harus Seimbang
Kadang, cinta pada dua perempuan ini menimbulkan dilema. Seorang suami berada di tengah: antara hormat kepada ibu yang membesarkannya, dan cinta kepada istri yang setiap hari ia temui dan hadapi dalam kehidupan rumah tangga.
Namun, keduanya tidak perlu dipertentangkan. Karena sesungguhnya, cinta tak harus dibagi—cukup diseimbangkan.
Ibu tetap menjadi prioritas dalam bakti dan doa.
Istri tetap menjadi sahabat sejati dalam suka dan duka.
Yang dibutuhkan adalah kebijaksanaan, bukan keberpihakan. Seorang suami bijak tahu cara menjaga hati ibunya tanpa melukai hati istrinya. Ia tahu bahwa menaikkan derajat istri bukan berarti menurunkan kemuliaan ibu, dan memuliakan ibu bukan berarti menindas hak istri.
Perempuan pun Harus Mengerti Perannya
Bagi seorang istri, memahami posisi ibu mertua sebagai sosok yang pernah menjadi segalanya bagi suaminya adalah kunci kedamaian. Mencintai ibu mertua seperti ibu kandung sendiri bukanlah kelemahan, tapi tanda kedewasaan.
Bagi seorang ibu, menerima kehadiran menantu sebagai bagian baru dari keluarga adalah wujud kasih sayang yang matang. Seorang ibu yang baik akan mendoakan rumah tangga anaknya utuh dan penuh berkah.
Penutup: Dua Cinta yang Tak Harus Dipilih
Hidup bukan soal memilih antara ibu dan istri. Tapi bagaimana menjaga keduanya dalam satu hati yang utuh. Tak perlu saling merasa lebih berhak, karena keduanya punya tempat masing-masing.
Cinta seorang laki-laki akan terus tumbuh, bukan karena ia meninggalkan yang lama, tapi karena ia belajar mencintai dengan cara yang lebih luas. Maka, jangan tanyakan siapa yang lebih utama—karena keduanya adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga, dihormati, dan dicintai… selamanya.
---
Ditulis dengan cinta, untuk semua pria yang sedang belajar menjadi jembatan damai antara dua cinta paling mulia dalam hidupnya. ๐
---
Prinsip Kebebasan Beragama (PAI SMP)
A. Pengertian Kebebasan Beragama
Kebebasan beragama adalah hak setiap orang untuk:
Memeluk agama sesuai keyakinannya.
Menjalankan ibadah dan ajaran agamanya.
Tidak dipaksa pindah agama oleh siapa pun.
Dalam Islam, kebebasan beragama dihormati sebagai bagian dari hak asasi manusia.
B. Dalil Kebebasan Beragama dalam Islam
> "Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama."
(QS. Al-Baqarah: 256)
Makna ayat ini: Islam tidak membenarkan paksaan dalam memilih keyakinan atau memeluk agama. Iman harus datang dari hati, bukan dari tekanan.
C. Prinsip-Prinsip Kebebasan Beragama
1. Tidak Ada Paksaan dalam Agama
Setiap orang bebas memilih agamanya tanpa tekanan.
2. Saling Menghormati dan Toleransi
Menghargai umat lain dalam menjalankan ibadahnya, tidak mencela atau menjelekkan.
3. Tidak Mengganggu Ibadah Agama Lain
Kita tidak boleh menghalangi atau merusak kegiatan keagamaan agama lain.
4. Hidup Berdampingan secara Damai
Meski berbeda agama, kita tetap bisa hidup bersama, berteman, dan bekerja sama.
5. Menjaga Kerukunan Antarumat Beragama
Bersikap sopan dan santun terhadap pemeluk agama lain.
D. Contoh Kebebasan Beragama dalam Kehidupan Sehari-Hari
1. Memberi ucapan selamat kepada teman yang sedang merayakan hari besar agamanya.
2. Menghormati teman yang sedang beribadah, misalnya tidak berisik saat mereka sembahyang.
3. Tidak memaksa teman untuk mengikuti kegiatan keagamaan kita.
4. Belajar dan bermain bersama tanpa memandang perbedaan agama.
E. Manfaat Kebebasan Beragama
Tercipta kerukunan dan kedamaian dalam masyarakat.
Menghindari konflik antar umat beragama.
Meningkatkan toleransi dan persatuan bangsa.
Membentuk sikap saling menghargai dan empati.
F. Kesimpulan
Kebebasan beragama adalah hak semua orang, termasuk dalam ajaran Islam. Prinsip ini mengajarkan kita untuk tidak memaksa, saling menghormati, dan hidup rukun dalam keberagaman. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, kebebasan beragama sangat penting agar semua warga bisa hidup damai dan tenteram.
Semakin Jauh dengan Allah — Saatnya Kembali Mendekat
Setiap manusia pasti pernah berada dalam fase hidup yang terasa kosong. Kita bisa memiliki semuanya—pekerjaan yang baik, teman-teman yang peduli, bahkan keluarga yang mendukung—tapi tetap merasa ada sesuatu yang hilang. Perasaan itu sering kali adalah tanda bahwa jiwa kita merindukan kedekatan dengan Allah.
Sayangnya, kita sering tidak menyadari bahwa kita perlahan-lahan sedang menjauh dari-Nya. Bukan karena membenci, tapi karena lalai. Dan kelalaian itu, bila terus dibiarkan, bisa menumpuk menjadi jarak yang kian lebar.
Berikut beberapa hal yang perlu kita renungkan:
1. Jauh dari Allah Tak Selalu Terlihat Jelas
Jauh dari Allah bukan berarti kita langsung menjadi orang yang buruk atau penuh maksiat. Kadang, justru yang paling berbahaya adalah ketika semua terlihat baik dari luar, tapi hati kita kosong dari rasa butuh kepada-Nya.
Shalat masih dikerjakan, tapi tanpa rasa khusyuk.
Mulut masih mengucap dzikir, tapi hati tidak ikut hadir.
Masih membaca Al-Qur'an, tapi tanpa makna dan penghayatan.
Ini bukan tentang seberapa sibuk kita dalam ibadah, tapi seberapa hadir hati kita saat beribadah.
2. Dunia Sering Membuat Kita Lupa Akhirat
Kesibukan dunia sering membuat kita menomorduakan Allah:
Mengejar rezeki, tapi lupa kepada Pemberi Rezeki.
Mengejar pujian manusia, tapi melupakan pandangan Allah.
Terlalu fokus pada pencapaian duniawi, hingga lalai dari akhirat yang abadi.
Padahal, dunia hanya tempat singgah—sebuah perjalanan singkat menuju kampung akhirat.
3. Allah Tak Pernah Menjauh, Kitalah yang Menjauh
Satu hal yang harus kita ingat: Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya. Justru, saat kita merasa jauh, itu tandanya Allah sedang mengetuk hati kita untuk kembali.
> "Dan apabila hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat."
(QS. Al-Baqarah: 186)
Dia selalu ada, menunggu kita mengangkat tangan dalam doa, menunggu kita mengetuk pintu-Nya dengan taubat.
4. Kembali Tidak Harus Sempurna, Tapi Harus Dimulai
Kita sering merasa tidak pantas untuk kembali. Merasa terlalu kotor, terlalu berdosa, atau sudah terlalu jauh. Tapi itu hanyalah bisikan yang menunda hidayah.
Ingatlah:
Allah tidak menilai seberapa jauh kita tersesat, tapi seberapa tulus kita ingin kembali.
Setiap langkah kecil kita—mengingat-Nya, membaca satu ayat, menangis di malam hari—adalah langkah menuju cinta-Nya.
Mulailah dari hal yang sederhana:
Perbaiki shalat.
Luangkan waktu untuk membaca Al-Qur'an, meski hanya satu ayat sehari.
Berdoalah, sesederhana apapun kata-katamu.
5. Rasa Hampa Itu Adalah Undangan dari Allah
Saat kita merasa gelisah tanpa sebab, merasa sendiri di tengah keramaian, merasa letih secara batin—mungkin itu bukan pertanda kita sedang gagal dalam hidup, tapi sedang jauh dari Allah. Dan itu adalah undangan dari-Nya.
Allah sedang mengetuk pintu hati kita, mengingatkan bahwa hanya dengan mengingat-Nya hati akan tenang.
> "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Penutup: Allah Tidak Pernah Menolak yang Ingin Kembali
Jika saat ini kamu merasa jauh, maka kamu masih lebih beruntung dari mereka yang tidak sadar bahwa mereka sedang jauh. Perasaan itu adalah bentuk kasih sayang Allah yang sedang mengingatkanmu.
Jangan tunggu sempurna untuk kembali. Kembalilah perlahan, tapi istiqamah. Karena tidak ada yang lebih indah daripada saat Allah kembali hadir di dalam hati yang dulu kosong.
Semakin jauh kamu melangkah, semakin besar pula kerinduan hatimu pada-Nya. Maka jangan tunda lagi. Kembalilah hari ini.
Anax Tany June 16, 2025 Riyyan seo Banjarmasin, Kalimatan SelatanKhutbah Idul Adha
Judul: Makna Pengorbanan dan Ketakwaan dalam Idul Adha
Khutbah Pertama
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Mari kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan sebenar-benarnya takwa. Takwa yang tercermin dalam ketaatan kepada-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Hari ini kita berkumpul untuk merayakan salah satu hari besar dalam Islam, yaitu Idul Adha, hari di mana kaum Muslimin di seluruh dunia memperingati ketaatan dan pengorbanan Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dan putranya, Ismail ‘alaihis salam.
Peristiwa ini mengajarkan kepada kita betapa besarnya arti ketaatan kepada perintah Allah, sekalipun perintah itu begitu berat dan menuntut pengorbanan yang besar. Nabi Ibrahim tidak ragu ketika diperintahkan untuk menyembelih putranya, karena ia yakin bahwa perintah Allah adalah yang terbaik. Begitu pula Ismail, yang dengan penuh keikhlasan siap menjalankan perintah Allah.
Inilah makna dari Idul Adha: pengorbanan, keikhlasan, dan ketundukan total kepada kehendak Allah.
Allah berfirman dalam surat Ash-Shaffat ayat 102:
“Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ma’asyiral Muslimin,
Di hari raya ini, kita juga disyariatkan untuk menyembelih hewan kurban. Bukan daging dan darahnya yang sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan kita yang menjadi ukuran.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 37:
> “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya.”
Maka, kurban bukan hanya ritual tahunan, tetapi wujud nyata dari keikhlasan dan pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Mari kita jadikan ibadah kurban ini sebagai momentum untuk memperbaiki niat, menumbuhkan kepedulian sosial, dan meneladani akhlak mulia Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd.
Khutbah Kedua
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan seluruh umatnya yang istiqamah mengikuti sunnahnya hingga akhir zaman.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Hari raya ini juga mengandung makna ukhuwah dan kepedulian sosial. Ibadah kurban adalah sarana untuk berbagi kepada sesama, terutama mereka yang membutuhkan. Mari kita pastikan bahwa ibadah kurban kita bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita, mempererat persaudaraan, serta menumbuhkan cinta dan kasih sayang dalam masyarakat.
Di tengah tantangan hidup dan ujian yang kita hadapi, marilah kita meneladani keteguhan iman dan keikhlasan Nabi Ibrahim. Mari kita jadikan Idul Adha ini sebagai momen untuk memperkuat iman, menumbuhkan kepedulian sosial, dan memperbaiki diri menuju ridha Allah.
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar, walillahil hamd.
Doa Penutup:
Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang ikhlas dan bertakwa. Terimalah ibadah kurban kami, ampuni dosa-dosa kami, dan limpahkan rahmat serta berkah-Mu kepada kaum Muslimin di mana pun mereka berada.
Ya Allah, berikanlah kemudahan dan pertolongan kepada saudara-saudara kami yang sedang diuji, baik yang sedang menunaikan ibadah haji di Tanah Suci maupun yang sedang berjuang dalam kehidupan.
Rabbana atina fiddunya hasanah, wa fil akhirati hasanah, wa qina ‘adzaban nar.
