TAAT, IKHLAS, KHAUF, DAN TAUBAT
A. TAAT
Taat menurut bahasa berarti tunduk, patuh, dan setia. Menurut
istilah taat bisa diartikan tunduk dan patuh terhadap segala perintah dan aturan yang berlaku. Taat kepada Allah
berarti patuh kepada perintah dan aturan-aturan yang dibuat oleh Allah dalam segala hal. Baik aturan itu berhubungan dengan
ibadah kepada-Nya maupun aturan yang berhubungan dengan berinteraksi dengan sesame manusia dan makhluk yang lainnya
Lantas, bagaimana kita bisa tahu apa peraturan-peraturan Allah untuk kita sehingga kita
bisa mentaati-Nya? Melalui al-Qur'an tentunya! Di sana Allah melalui firman-firmanNya telah mengutarakan segala
peraturan dan keinginanNya terhadap umat manusia. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah bagaiman jika isi
peraturan-peraturan itu masih bersifat umum atau global sehingga dirasa perlu penjelasan
lebih lanjut? Melalui hadis-hadis Nabi-Nya tentunya! Ya, sebagaimana yang telah
kalian ketahui bahwa dasar/sumber akidah Islam adalah al-Qur'an dan al-Hadis,
maka demikian juga, keduanya merupakan dasar dan sumber utama dalam menjalankan
ketaatan kepada Allah di dunia. Artinya, tidak cukup kita mentaati Allah tanpa
mentaati RasulNya Saw. bahkan Allah sendiri yang memerintahkan agar manusia
taat kepadaNya dan kepada Rasul-Nya baru kemudian kepada yang lainnya selama
tidak bertentangan dengan perintah-Nya dan Rasul-Nya. Dalam al-Qur'an Allah telah
berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika
kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benarbenar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. an-Nisa’ [4]:59)
Dari ayat di atas, maka bisa kita
simpulkan kepada siapa saja kita harus taat, yaitu:
1. Kepada Allah
Swt
Sebagai seorang Muslim, taat kepada Allah
adalah yang paling pertama dan utama. Sebagaimana ayat di atas, kalimat
perintah untuk taat yang pertama adalah kepada Allah Swt. Ketaatan kepada Allah
ini sifatnya mutlak, tanpa ada keraguan, dan tidak ada tawar menawar dalam
segala aspek kehidupan.
2. Kepada
Rasul-Nya, Muhammad SAW
Ketaatan yang kedua adalah ketaatan kepada Nabi Muhammad Saw.
Ketaatan inipun mutlak,sebagaimana ketaatan kepada Allah Swt. ini berarti,taat
kepada rasul berarti taat kepada Allah. Demikian juga sebaliknya, tidak taat kepada
rasul, berarti tidak taat kepada Allah. Karena ayat di atas jelas bahwa perintah kepada
rasul adalah wajib. Hal ini terbukti dari redaksi ayat yang mengulang kata ”taatilah”
pada perintah taat yang kedua. Rasulullah telah bersabda:
عَنْ
اَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم اَنَّهُ قَالَ مَنْ اَطَاعَنِي
فَقَدْ اَطَاعَ الله وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى الله
”Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa mentaatiku sungguh dia telah mentaati Allah, barangsiapa bermaksiat
kepadaku maka dia telah bermaksiat kepada Allah". (HR.Muslim)”
Bahkan dalam hadis yang lain, ketaatan kepada Rasul adalah
syarat sesorang bias masuk surga.
عَنْ اَبِيْ
هُرَيْرَةَ اَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ كُلُّ اُمَّتِي يَدْخُلُوْنَ
الْجَنَّةَ اِلَّا مَنْ اَبَى قَالُوا يَا رَسُوْلَ الله وَمَنْ يَأَ بَى قَالَ مَنْ
اَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ اَبَى
”Dari
Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap
umatku masuk surga selain yang enggan, “ Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
lantas siapa yang enggan?” Nabi menjawab: “Siapa yang taat kepadaku masuk surga
dan siapa yang membangkang aku berarti ia enggan.”(HR. Bukhari)
3. Kepada ulil
amri / pemerintah
Ketaatan yang ketiga adalah perintah taat kepada pemimpin. Hanya
saja ketaatan kepada pemimpin ini tidaklah mutlak, tetapi mempunyai syarat, yaitu
selama pemimpin tersebut berpegang kepada kitab Allah dan rasul-Nya. Menurut M. Quraish
Shihab, pada kata “Ulil Amri” dalam ayat di atas tidak didahului kata “ taatilah”. Ini
menunjukkan bahwa ketaatan kepada Ulil Amri tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan atau
bersyarat dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apabila perintah
Ulil Amri itu bertentangan dengan perintah Allah dan rasul-Nya, maka kita tidak dibenarkan
untuk mentaatinya.
B.
IKHLAS
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran. Sedangkan
secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah semata dalam beramal sebagai
wujud menjalankan ketaatan kepada Allah dalam kehidupan dalam semua aspek. Ikhlas
merupakan akhlak yang agung. Karenanya, ia memilii kedudukan yang sangat penting
dalam setiap amalan, baik amalan hati, lisan, maupun badan. Mengapa demikian? Betapa
tidak, ternyatanilai setiap amalan sesorang di sisi Allah adalah tergantung
pada keikhlasan dia dalam berniat. Artinya, menjaga niat yang ikhlas semata-mata karena
Allah dalam menjalankan segala amalan merupakan syarat utama diterimanya amalan
tersebut. Oleh karena itu, kita harus mendahului dengan niat yang ikhlas dalam menjalankan
amalan sebagaimana perintahNya:
”Katakanlah: “Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, (Q.S. al-An’am [6]:162)
Demikian pula rasulullah Saw. telah bersabda berhubungan dengan
pentingnya menjaga niat yang ikhlas. Beliau bersabda:
عَنْ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا
لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا
يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ
إِلَيْهِ
Dari Umar bin Al Khaththab Ra. berkata; saya mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan
(balasan) bagi tiaptiap orang (tergantung) apa yang diniatkan. Barangsiapa niat
hijrahnya karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang ingin
dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan”(HR. Bukhari)
Demikianlah, betapa niat yang ikhlas memegang peran yang penting
dan utama dalam setiap amalan. Semoga Allah senantiasa memberi kita
kekuatan untuk menjaga keiikhlasan dalam berniat sehingga kita termasuk golongan
muklishin..
C.
KHAUF
Di antara akhlak mulia yang menghiasai seorang mukmin adalah
khauf. Secara bahasa, khauf berasal dari bahasa Arab yang berarti takut; resah;
khawatir; cemas. Jika didenisikan secara lebih panjang, khauf berarti perasaan gelisah atau cemas
terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti. Menurut istilah dalam Islam,
sebagaimana diuraikan dalam kamus tasawuf, khauf adalah suatu sikap mental merasa takut
kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya, takut atau khawatir kalau-kalau Allah
tidak senang padanya dan akan menghukumnya karena apa yang telah ia lakukan. Orang tidak
dikatakan takut hanya karena menangis dan mengusap air matanya, tetapi karena takut
melakukan sesuatu yang mengakibatkan ia disiksa karenanya.
Sifat khauf ini muncul disebabkan seseorang
telah benar akidahnya (berakidah Islam) yang meyakini keberadaan Allah dan
mengenalNya melalui sifat-sifatNya di antaranya adalah Allah yang Maha Wujud,
Maha Melihat, Maha Tahu, Maha Mendengar, dan lain sebagainya. Dengan begitu, karena mengenal Allah dengan baik, dia akan senantiasa merasa diawasi dan
akan senantiasa dimintai pertanggungjawaban atas segala yang dia lakukan. Lebih mudahnya
berarti semakin sesorang mengenal Allah maka semakin besar pula sifat khauf terhadapNya. Rasulullah Saw.
bersabda dalam hadis beliau yng diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari
‘Aisyah Ra.:
....فَوَ اللهِ
إِنِّي لَأَعْلَمُهُمْ بِا اللهِ وَأَشَدُّهُمْ لَهُ خَشْيَةً
‘’Demi Allah, sungguh aku adalah orang yang paling tahu dengan
Allah dan paling takut kepada-Nya.’’(HR. Bukhari dan Muslim)
Dari paparan di atas, maka bisa kita tarik kesimpulan bahwa
khauf harus ada pada diri kita, setiap Mukmin. Untuk mengontrol diri dari
perbuatan-perbuatan yang tidak disukai oleh Allah.
Sebanarnya, ada satu akhlak mulia lagi yang mengikuti khauf yang
harus kita miliki, yaitu raja’. Secara bahasa, raja’ berarti
harapan/cita-cita; sedangkan menurut istilah ialah bergantungnya hati dalam meraih sesuatu di
kemudian hari. Raja` merupakan ibadah yang mencakup kerendahan dan ketundukan, tidak
boleh ada kecuali mengharap hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Memalingkannya
kepada selain Allah adalah kesyirikan, bisa berupa syirik besar atau pun syirik
kecil tergantung apa yang ada dalam hati orang yang tengah mengharap.
Raja’ (harapan/mengharap) tidaklah menjadikan pelakunya terpuji
kecuali bila disertai amalan. Raja` tidak akan sah kecuali jika dibarengi
dengan amalan. Oleh karena itu, tidaklah seseorang dianggap mengharap apabila tidak
beramal. Amal yang dimaksud adalah bukan maksiat tentunya. Merupakan bentuk
penghinaan kepada-Nya jika kita bermaksiat tapi mengharap ridha dariNya.
Khauf dan raja’ ibarat dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan
satu dengan yang lainnya, keduanya saling mendukung. Bila keduanya menyatu
dalam diri seorang Mukmin, maka akan seimbanglah seluruh aktivitas kehidupannya.
Bagaimana tidak, sebab dengan khauf akan membawa dirinya untuk selalu
melaksanakan ketaatan dan menjauhi perkara yang diharamkan; sementara raja` akan
menghantarkan dirinya untuk selalu mengharap apa yang ada di sisi Rabb-nya. Pendek
kata dengan khauf (takut) dan raja` (pengharapan) seorang Mukmin akan selalu ingat
bahwa dirinya akan kembali ke hadapan Sang Penciptanya (karena adanya rasa takut),
disamping ia akan bersemangat memperbanyak amalan-amalan (karena adanya
pengharapan). Mungkin jika kita boleh katakan dengan bahasa kita sekarang ini, khauf
dan raja’ adalah “harapharap cemas”. Keterkaitan dua akhlak mulia ini sebagaimana difirmankan
oleh Allah:
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan
(azab) Tuhan mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka, dan
orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),
dan orangorang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang
takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali
kepada Tuhan mereka, mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan,
dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya. (Qs. al-Mukminun [23]: 57-61)
Berkaitan dengan ayat di atas, ‘Aisyah Ra.
pernah bertanya kepada Rasulullah Saw. apakah mereka itu (yang dimaksud dalam
ayat di atas) adalah orang-orang yang meminum khamr, berzina, dan mencuri? Rasulullah menjawab, “Bukan! Wahai putrid Ash-Shiddiq. Justru mereka adalah
orang-orang yang melakukan shaum, salat, dan bersedekah, dan mereka khawatir tidak akan diterima amalannya.
Mereka itulah orangorang yang bergegas dalam kebaikan.” [HR. At-Tirmidzi dari ‘Aisyah].
D.
TAUBAT
1.
Pengertian taubat
Taubat secara bahasa berarti ”kembali”. Secara istilah, taubat
berarti kembali ke jalan yang benar dengan didasari keinginan yang kuat dalam hati
untuk tidak kembali melakukan dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya.
Sebagai manusia biasa, bukan malaikat
ataupun Nabi yang memilki sifat ma’shum (terjaga dari perbuatan dosa), secara
langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, kerap kali akan
bersinggungan dengan yang namanya kesalahan atau dosa. Baik kesalahannya sebagai makhluk individu yang berhubungan
langsung dengan Allah, maupun sebagai makhluk sosial yang berhubungan dengan
anak Adam yang lain. Untungnya, sebagai seorang Muslim diberi jalan
selebar-lebarnya oleh Allah untuk memperbaiki kesalahan itu melaui sebuah pintu yang disebut
dengan taubat. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ
قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ وَ خَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ
التَّوَّابُوْنَ
Dari Anas dia berkata; Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Semua bani Adam pernah melakukan
kesalahan, dan sebaik-baik orang yang salah adalah yang segera bertaubat.”(HR.
Ibnu Majjah dari Anas)
Karenanya, Allah memerintahkan untuk bertaubat kepada semua umat
manusia yang telah melakukan dosa. Allah
berfirman:
”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan
taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan
menutupi kesalahankesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungaisungai, pada hari ketika Allah tidak
menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya
Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya
Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Allah adalah Zat yang Maha menerima taubat, sebagaimana
disebutkan di dalam QS. an-Nar ayat 3. Tidak ada satu dosapun yang tidak
diampuni oleh Allah kecuali syirik atau mempersekutukan-Nya:
”Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.(Q.S. an-Nisa [4]:48)
Nah, jelaskan bahwa Allah itu maha Pengampun? Maka, sudah
seharusnyalah kita menyegerakan diri untuk bertaubat kepadaNya dari segala dosa.
Taubat dengan sebenarbenarnya taubat atau semurni-murninya taubat, yang biasa disebut dengan
”taubatan nasuha”. Rasulullah Saw. pernah bersabda yang artinya:“ Hai
manusia bertobatlah kepada Allah dan mintalah ampunan kepadaNya. Sesungguhnya aku
sendiri bertabat dalam sehari 100 kali.” (HR.Muslim). Betapa manusia termulia
yang mendapat jaminan surga, bahkan surga tidak akan dibuka sebelum beliau masuk,
bertaubat 100 kali dalam sehari semalam. Lantas bagaimana dengan kita? Manusia biasa yang
tidak pernah luput melakukan dosa dalam keseharian kita? Berapa kalikah kita
bertaubat sehari semalam? Atau minimal berapa kalikah kita beristighfar dalam sehari
semalam?.
2.
Jenis dan Syarat Taubat
Di atas telah dijelaskan bahwa manusia adalah makhluk individu
dan juga makhluk sosial. Artinya, dia tidak terlepas dari berbuat salah yang
berhubungan dengan Tuhan dan berbuat salah yang berhubungan dengan sesama manusia. Karenanya,
jenis dan syarat taubat dibagi menjadi dua yaitu:
a.
Taubat menyangkut dosa terhadap Allah
Imam Nawawi mengatakan bahwa ada 3 (tiga)
syarat dalam melaksanakan taubat yang wajib dilakukan oleh setiap Muslim atas
dosa yang dilakukan apabila maksiat itu di antara manusia dengan Allah dan
tidak berhubungan dengan hak sesama manusia (haqqul 'adami), maka ada 3
(tiga) syarat:
1)
Meninggalkan perilaku dosa itu
sendiri.
2)
Menyesali perbuatan maksiat yang
telah dilakukan.
3)
Berniat tidak melakukannya lagi
selamanya.
Apabila tidak terpenuhi ketiga syarat di atas, maka tidak sah
taubatnya.
b.
Taubat menyangkut dosa terhadap sesama
manusia
Sedangkan jika dosa itu berhubungan dengan
hak anak Adam/sesama manusia maka lebih lanjut Imam Nawawi menyebutkan ada 4
(empat) syarat yaitu:
1) Meninggalkan perilaku dosa itu sendiri.
2) Menyesali perbuatan maksiat yang telah
dilakukan.
3) Berniat tidak melakukannya lagi
selamanya.
4) Membebaskan diri dari hak manusia yang
dizalimi dengan cara sebagai berikut:
a. Apabila
menyangkut harta dengan cara mengembalikan harta tersebut;
b. Apabila
menyangkut non-materi seperti pernah memtnah, menggunjingnya (ghibah), dan lain-lain, maka hendaknya meminta maaf kepada yang
bersangkutan.
Taubat dari segala kesalahan tidaklah
membuat seorang terhina di hadapan Tuhannya. Hal itu justru akan menambah kecintaan
dan kedekatan seorang hamba dengan Tuhannya karena sesungguhnya Allah sangat
mencintai orang-orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. al-Baqarah [2]: 222:
Tolong diseetakan sumber donk
ReplyDeletePelajaran dan pendidikan akhlak sangat penting bagi pelajar muslim di seluruh Indonesia. Bagi seorang muslim dan muslimah sudah seharusnya Kita memiliki semangat dan ghirah dalam mempelajari bahasa arab. Terlebih lagi bahasa arab dan wasilah bagi kita dalam mengenal ilmu syari.
ReplyDeletePengertian Taubat, Taat, Istiqamah dan Ikhlas pengertian husnuzan, tawaduk, tasamuh dan ta'awun Ufa Bunga SMartphone