A.
Aliran Khawarij
1. Pengertian
Khawarij secara bahasa diambil dari Bahasa Arab khawaarij,
secara harfiah berarti mereka yang keluar.
Aliran Khawarij dipergunakan oleh
kalangan Islam untuk menyebut sekelompok orang yang keluar dari barisan Ali ibn
Abi Thalib r.a. karena kekecewaan mereka terhadap sikapnya yang telah menerima
tawaran tahkim (arbitrase) dari kelompok Mu’awiyyah yang dikomandoi oleh
Amr ibn Ash dalam Perang Shiffin (37H/657) dan mereka juga tidak mendukung barisan Mu’awiyah ra.
Menurut kelompuk Khawarij, semua yang telah mengikuti
proses Tahkim, termasuk Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melanggar
ketentuan syara’, dan dihukumi kafir karena telah melakukan dosa besar, yakni
tidak berhukum dengan hukum Allah. Berdasar kejadian Tahkim tersebut
kelompok Khawarij mencetuskan pokok pemikiran bahwa setiap keputusan berada
pada kekuasaan Tuhan (lâ hukma illa
lillâh).
2.
Dasar Ajaran
Kaum
Khawarij menganggap bahwa nama itu berasal dari kata dasar kharaja yang
terdapat pada QS. An Nisa’ [4]; 100. yang merujuk pada seseorang yang keluar
dari rumahnya untuk hijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya.
`tBur öÅ_$pkç Îû È@Î6y «!$# ôÅgs Îû ÇÚöF{$# $VJxîºtãB #ZÏWx. Zpyèyur 4
`tBur ólãøs .`ÏB ¾ÏmÏF÷t/ #·Å_$ygãB n<Î) «!$# ¾Ï&Î!qßuur §NèO çmø.Íôã ßNöqpRùQ$# ôs)sù yìs%ur ¼çnãô_r& n?tã «!$# 3
tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇÊÉÉÈ
“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati
di muka bumi ini tempat hijrah yang Luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa
keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka
sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Selanjutnya
kaum khawarij menyebut kelompoknya sebagai Syurah yang berasal dari kata
yasyri (menjual), yakni menjual diri untuk memperoleh ridha Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah [2]: 207.
ÆÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB Ìô±o çm|¡øÿtR uä!$tóÏGö/$# ÉV$|ÊósD «!$# 3
ª!$#ur 8$râäu Ï$t6Ïèø9$$Î/ ÇËÉÐÈ
“dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya
karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.”
Selain
itu mereka juga disebut “Haruriyah”
yang merujuk pada “Harurah’ sebuah
tempat di pinggiran sungai Furat dekat kota Riqqah. Ditempat ini mereka
memisahkan diri dari barisan pasukan Ali ra. saat pulang dari perang Syiffin.
Kelompok ini juga dikenal sebagai kelompok “Muhakkimah”.
Sebagai kelompok dengan prinsip dasar “lâ
hukma illa lillâh”.
3.
Doktrin Ajaran
Secara
umum, ajaran-ajaran pokok golongan ini adalah kaum muslimin yang berbuat dosa
besar adalah kafir. Berdasar ajaran pokok tersebut kemudian aliran Khawarij
mengembangkan pokok-pokok doktrin keimanan:
a.
Setiap
umat Muhammad yang terus menerus melakukan dosa besar hingga matinya belum
melakukan tobat, maka dihukumkan kafir serta kekal dalam neraka.
b.
Membolehkan
tidak mematuhi aturan-aturan kepala negara, bila kepala negara tersebut khianat
dan zalim.
c.
Ada faham
bahwa amal soleh merupakan bagian essensial dari iman. Oleh karena itu, para
pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, tetapi kafir. Dengan latar
belakang watak dan karakter kerasnya, mereka selalu melancarkan jihad (perang
suci) kepada pemerintah yang berkuasa dan masyarakat pada umumnya.
d.
Keimanan
itu tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri.
Namun demikian, karena pada umumnya manusia tidak bisa memecahkan masalahnya,
kaum Khawarij mewajibkan semua manusia untuk berpegang kepada keimanan, apakah
dalam berfikir, maupun dalam segala perbuatannya. Apabila segala tindakannya
itu tidak didasarkan kepada keimanan, maka konsekwensinya dihukumkan kafir.
Kaum
Khawarij juga memiliki pemikiran (doktrin-doktrin) dalam bidang sosial
yang berorientasi pada teologi, diantaranya :
a. Seorang yang berdosa besar tidak lagi
disebut muslim, sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis lagi, mereka menganggap
seorang muslim bisa menjadi kafir apabila tidak mau membunuh muslim lain yang
telah dianggap kafir dengan resiko ia menanggung beban harus dilenyapkan pula.
b. Setiap muslim harus berhijrah dan
bergabung dengan golongan mereka, bila tidak ia wajib diperangi karena dianggap
hidup di negara musuh, sedangkan golongan mereka dianggap berada dalam negeri
islam,
c. Seseorang harus menghindar dari pimpinan
yang menyeleweng.
d. Adanya wa’ad dan wa’id
(orang yang baik harus masuk kedalam surga, sedangkan orang yang jahat harus
masuk neraka).
e. Amar ma’ruf nahi munkar.
f. Manusia bebas memutuskan perbuatannya
bukan dari tuhan.
g. Qur’an adalah makhluk.
h. Memalingkan ayat-ayat Al Qur’an yang bersifat mutasyabihat (samar)
Dengan
doktrin diatas kaum khawarij mempropagandakan pemikiran-pemikiran politis
berikut ini:
a. Mengakui kekhalifahan Abu Bakar dan Umar;
sedangkan Usman dan Ali, juga orang-orang yang ikut dalam Perang Unta,
dipandang telah berdosa.
b. Dosa dalam pandangan mereka sama dengan
kekufuran. Mereka mengkafirkan setiap pelaku dosa besar apabila ia tidak
bertobat. Dari sinilah muncul istilah kafir
dalam faham kaum Khawarij.
c. Khalifah tidak sah, kecuali melalui
pemilihan bebas diantara kaum muslimin. Oleh karenanya, mereka menolak
pandangan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy.
d. Ketaatan kepada khalifah adalah wajib,
selama berada pada jalan keadilan dan kebaikan. Jika menyimpang, wajib
diperangi dan bahkan dibunuhnya.
e. Mereka menerima Al Qur’an sebagai salah satu sumber diantara
sumber-sumber hukum Islam.
f. Khalifah sebelum Ali (Abu Bakar, Umar, dan
Ustman) adalah sah, tetapi setelah tahun ke-7 kekhalifahannya Utsman r.a.
dianggap telah menyeleweng.
g. Khalifah Ali adalah sah, tetapi setelah
terjadi arbitras (tahkim) ia dianggap telah menyeleweng.
h. Mu’awiyah dan Amr bin Al-Asy dan Abu Musa
Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah kafir.
Tokoh
aliran ini adalah 'Abdullah bin Wahhab
Ar Rasyidi, Urwah bin Hudair,
Mustarid bin Sa'ad,
Hausarah Al Asadi,
Quraib bin Maruah,
Nafi' bin Al Azraq,
Abdullah bin Basyir,
Najdah bin Amir Al
Hanafi.
4.
Sekte
a.
Sekte
Al Azariqoh
Nama ini diambil dari Nafi Ibnu Al Azraq, pemimpin utamanya. Dalam
pandangan teologisnya, Al Azariqoh tidak menggunakan istilah kafir, tetapi
menggunakan istilah musyrik atau politheis. Istilah musyrik bagi sekte
Al Azariqoh adalah semua orang yang tidak sepaham dengan ajaran mereka. Bahkan,
orang Islam yang tidak ikut hijrah kedalam lingkungannya, dihukumkan musyrik.
Karena kemusyrikannya itu, kaum ini membolehkan membunuh anak-anak
dan istri yang bukan golongan Al Azariqoh.
b.
Sekte
Al Ibadiah
Nama golongan ini diambnil dari Abdullah Ibnu Ibad, yang pada tahun
686 M. memisahkan diri dari golongan Al Azariqoh. Adapun faham-fahamnya yang
dianggap moderat itu, antara lain :
1) Orang Islam yang tidak sepaham dengan
mereka bukanlah mukmin dan bukan pula musyrik, tetapi kafir. Orang Islam
demikian, boleh mengadakan hubungan perkawinan dan hukum waris. Syahadat mereka
diterima, dan membunuh mereka yang tidak sefaham dihukumkan haram.
2) Muslim yang melakukan dosa besar masih
dihukumkan ‘muwahid’, meng-esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin. Dan yang
dikatakan kafir, bukanlah kafir agama, tetapi kafir akan nikmat. Oleh
karenanya, orang Islam yang melakukan dosa besar tidak berarti sudah keluar
dari Islam.
3) Harta kekayaan hasil rampasan perang yang
boleh diambil hanyalah kuda dan senjata. Sedangkan harta kekayaan lainnya,
seperti emas dan perak, harus dikembalikan kepada pemiliknya.
4) Daerah orang Islam yang tidak sefaham
dengan mereka, masih merupakan “dar
at-tauhid”, dan tidak boleh diperangi.
B.
Aliran Murji’ah
1. Pengertian
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a,
yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Aliran ini
disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan
konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan
Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena
itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa
yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut.
Alasannya,
keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan
perkataan ataupun perbuatan. Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam
hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut
seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi
SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin
yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin
Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
Menurut Syahristani orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad
Dimasyqi.
Tokoh
aliran ini adalah Abu Hasan Ash Shalihi, Yunus bin An Namiri, Ubaid Al Muktaib,
Ghailan Ad-Dimasyqi.
2.
Doktrin Ajaran
Menurut Harun Nasution menyebutkan, bahwa Murji’ah
memiliki empat ajaran pokok, yaitu :
a.
Menunda
hukuman atas Ali, Mu’awiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat
tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari kiamat kelak.
b.
Menyerahkan
keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
c.
Meletakkan
(pentingnya) iman dari amal.
d.
Memberikan
pengharapan kepada muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan
rahmat Allah.
3.
Sekte
Menurut
Harun Nasutuion, aliran Murji’ah,
terbagi menjadi 2, yakni “golongan
moderat” dan “golongan ekstrim”.
a. Golongan
Murji’ah moderat berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan
tidak kekal dalam neraka, tetapi akan di hukum sesuai dengan besar kecilnya
dosa yang dilakukan.
b. Golongan
Murji’ah ekstrim, yaitu pengikut Jaham Ibnu Sofwan, berpendapat bahwa orang
Islam yang percaya kepada Tuhan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan,
tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya dalam hati.
Golongan ekstrim dalam Murji’ah terbagi menjadi empat kelompok,
yaitu :
Al-Jahmiyah, kelompok Jahm bin Syafwan dan para pengikutnya,
berpandangan bahwa orang yang percaya kepada tuhan kemudian menyatakan
kekufuran secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan kufur itu
bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain dalam tubuh manusia.
1) Shalihiyah,
kelompok Abu Hasan Ash Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui tuhan,
sedangkan kufur tidak tahu tuhan. Sholat bukan merupakan ibadah kepada Allah,
demikian pula zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar
menggambarkan kepatuhan.
2) Yumusiah
dan Ubaidiyah, melontarkan pernyataan bahwa melakukan maksiat atau
perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati dalam iman, dosa-dosa dan
perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah merugikan orang yang bersangkutan.
Dalam hal ini Muqatil bin Sulaiman berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak
atau sedikit tidak merusak iman seseorang sebagai musyrik.
3) Hasaniyah,
jika seseorang mengatakan “saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi saya
tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini”, maka orang
tersebut tetap mukmin, bukan kafir.
C.
Aliran Syi’ah
1. Pengertian
Istilah
Syi'ah berasal dari kata Bahasa Arab
Syī`ah. Syi'ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna: pembela
dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: kaum yang berkumpul di
atas suatu perkara. Syi'ah adalah bentuk pendek dari kalimat
bersejarah Syi`ah `Ali artinya "pengikut
Ali".
Muslim
Syi'ah percaya bahwa Keluarga Muhammad (yaitu para Imam Syi'ah)
adalah sumber pengetahuan terbaik tentang Qur'an
dan Islam,
guru terbaik tentang Islam setelah Nabi SAW
dan pembawa serta penjaga tepercaya dari tradisi Sunnah. Muslim
Syi'ah berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib (sepupu, menantu Muhammad
dan kepala keluarga Ahlul Bait),
adalah penerus kekhalifahan setelah Nabi Muhammad.Muslim Syi'ah percaya bahwa
Ali dipilih melalui perintah langsung oleh Nabi Muhammad, dan perintah Nabi
berarti wahyu dari Allah.
Perbedaan
antara pengikut Ahlul Bait dan Abu Bakar
menjadikan perbedaan pandangan yang tajam antara Syi'ah dan Sunni dalam penafsiran Al Qur’an ,
Hadits,
mengenai Sahabat,
dan hal-hal lainnya. Sebagai contoh perawi Hadits dari
Muslim Syi'ah berpusat pada perawi dari Ahlul Bait, sementara yang lainnya
seperti Abu Hurairah
tidak dipergunakan.
Menurut
Abu Zahrah Aliran Syi’ah mulai muncul pada akhir dari masa jabatan Usman bin
Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Sedangkan menurut Mongomary Watt Aliran Syi’ah mulai muncul ketika berlangsung
peperangan antara Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi
Sofyan yang dikenal dengan Perang Siffin. Dalam peperangan ini, sebagai respon
atas penerimaan ali terhadap (tafkim) arbitrase yang diatwarkan
Mu’awiyah, pasukan Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua,
satu kelompok mendukung sikap Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal
dengan istilah Syi’ah dan kelompok lain menolak sikap Ali bin Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan istilah Khawarij.
Diantara
tokoh Aliran Syiah adalah Abu Dzar al Ghiffari, Miqad bin Al aswad, Ammar bin
Yasir dan sejumlah ulama yang menyatakan diri sebagai keluarga Nabi SAW (Ahlul
Bait)
2.
Doktrin Ajaran
b. Al ‘Adl,
bahwa Allah SWT adalah Maha Adil.
c. An Nubuwwah,
bahwa kepercayaan Syi'ah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita
dari Tuhan kepada umat manusia.
1) Jumlah nabi dan rasul Allah ada 124.000.
2) Nabi dan rasul terakhir ialah Nabi
Muhammad SAW.
3) Nabi Muhammad SAW suci dari segala aib dan
tiada cacat apa pun. Ialah nabi paling utama dari seluruh Nabi yang ada.
4) Ahlul Baitnya, yaitu Ali, Fatimah, Hasan,
Husain dan 9 Imam dari keturunan Husain adalah manusia-manusia suci.
d. Al Imamah,
bahwa Syiah meyakini adanya imam-imam yang senantiasa memimpin umat sebagai
penerus risalah kenabian.
e. Al Ma'ad,
bahwa akan terjadinya hari kebangkitan.
3.
Sekte
Syi'ah
terpecah menjadi 22 sekte. Dari 22 sekte itu, hanya tiga sekte yang masih ada
sampai sekarang, yakni:
a. Dua Belas Imam
Disebut
juga Imamiah atau Itsna 'Asyariah (12 Imam). dinamakan demikian sebab
mereka percaya yang berhak memimpin muslimin hanya imam, dan mereka yakin ada
dua belas imam. Aliran ini adalah yang terbesar di dalam Syiah. Urutan imam
mereka yaitu:
b. Ismailiyah
Disebut
juga 7 Imam. Dinamakan demikian sebab mereka percaya bahwa imam hanya 7 orang
dari 'Ali bin Abi Thalib, dan mereka percaya bahwa imam ketujuh ialah Isma'il.
Urutan imam mereka yaitu:
c. Zaidiyah
Disebut
5 Imam. Mereka merupakan pengikut Zaid bin 'Ali bin Husain bin 'Ali bin Abi
Thalib. Urutan imam mereka yaitu:
5) Zaid bin Ali
(658–740),
juga dikenal dengan Zaid bin Ali asy-Syahid, adalah anak Ali bin Husain
dan saudara tiri Muhammad al-Baq
D.
Aliran Jabariyah
1. Pengertian
Secara
bahasa jabariyah (fatalism) berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu. Menurut Harun Nasution jabariyah
adalah paham yang menyebutkan bahwa segala perbuatan manusia telah ditentukan
dari semula oleh Qadha dan Qadar Allah. Maksudnya, setiap perbuatan yang
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh
Tuhan dan dengan kehendak-Nya, manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berbuat,
manusia mengerjakan perbuatan dalam keadaan terpaksa (majbur).
Sejarawan
Abu Zahra menuturkan bahwa paham ini muncul sejak zaman sahabat dan masa Bani
Umayyah. Ketika itu para ulama membicarakan tentang masalah Qadar dan
kekuasaan manusia ketika berhadapan dengan kekuasaan mutlak Tuhan. Tokoh yang mendirikan aliran ini
adalah Jahm bin Safwan, Al-Ja’ad Bin Dirham, Husain Bin Muhammad Al Najjar,
Dirar Ibn ‘Amr.
2.
Dasar Ajaran
Dasar
pemahaman pada aliran jabariyah ini dijelaskan Al Qur’an diantaranya :
QS.
al Shaffat [37]: 96 dan QS. al
Insan[76]: 30
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{
$tBur tbqè=yJ÷ès?
ÇÒÏÈ
“Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
$tBur tbrâä!$t±n@
HwÎ)
br& uä!$t±o ª!$#
“Dan
kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah”.
Disamping itu, fakta sejarah menyatakan bahwa:
1) Suatu ketika Nabi
menjumpai sabahatnya yang sedang bertengkar dalam masalah Takdir Tuhan, Nabi melarang
mereka untuk memperdebatkan persoalan tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
2)
Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah
menangkap seorang pencuri. Ketika ditntrogasi, pencuri itu berkata "Tuhan
telah menentukan aku mencuri". Mendengar itu Umar kemudian marah sekali
dan menganggap orang itu telah berdusta. Oleh karena itu Umar memberikan dua
jenis hukuman kepada orang itu, yaitu: hukuman potongan tangan karena mencuri
dan hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
3)
Ketika Khalifah Ali bin Abu Thalib
ditanya tentang qadar Tuhan dalam
kaitannya dengan siksa dan pahala. Orang tua itu bertanya,"apabila perjalanan
(menuju perang siffin) itu terjadi dengan qadha dan qadar Tuhan, tidak ada
pahala sebagai balasannya”. Kemudian
Ali menjelaskannya bahwa Qadha dan Qadha Tuhan bukanlah sebuah paksaan. Pahala
dan siksa akan didapat berdasarkan atas amal perbuatan manusia. Kalau itu
sebuah paksaan, maka tidak ada pahala dan siksa, gugur pula janji dan ancaman
Allah, dan tidak pujian bagi orang yang baik dan tidak ada celaan bagi orang
berbuat dosa.
3. Doktrin Ajaran
a. Aliran Ekstrim.
Aliran
ini dikenal juga dengan nama Jahmiyyah karena mendasarkan pemikiran
kepada tokoh
utamanya yakni, Jahm bin Shofwan.
Doktrin ajaran Jabariyah yang ekstrim mengatakan bahwa manusia lemah, tidak
berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak Tuhan, tidak mempunyai kehendak
dan kemauan bebas sebagaimana dimilki oleh paham Qadariyah. Seluruh tindakan
dan perbuatan manusia tidak boleh lepas dari scenario dan kehendak Allah.
Segala akibat, baik dan buruk yang diterima oleh manusia dalam perjalanan
hidupnya adalah merupakan ketentuan Allah.
Diantara
ajaran kelompok ini adalah:
a)
Manusia tidak mampu untuk berbuat
apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak
mempunyai pilihan.
b)
Surga dan neraka tidak kekal, dan yang
kekal hanya Allah.
c)
Kalam Tuhan adalah makhluk. Allah
tidak mempunyai keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar, dan
melihat, dan Tuhan juga tidak dapat dilihat dengan indera mata di akherat
kelak.
b. Aliran Moderat
Tokoh
yang berpaham seperti ini adalah Husain bin Muhammad An Najjar. Ia menjadi
pelopor aliran moderat yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan segala perbuatan
manusia, tetapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu. Menurut aliran Jabaroyah moderat, Tuhan tidak dapat
dilihat di akherat.
E.
Aliran Qadariyah
1. Pengertian
Pengertian
Qadariyah secara etomologi, berasal
dari bahasa Arab, yaitu qadara yang bemakna kemampuan dan kekuatan.
Adapun secara terminologi adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala
tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini lebih menekankan
atas kebebasan dan kekuatan manusia dalam mewujudkan perbutan-perbutannya.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa
tiap-tiap orang adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat
sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri.
Menurut
Ahmad Amin, orang-orang yang berpaham Qadariyah
adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak dan
memiliki kemampuan dalam melakukan perbuatan. Manusia mampu melakukan
perbuatan, mencakup semua perbuatan, yakni baik dan buruk.
Menurut
Ahmad Amin, ada sebagian pakar teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama
kali dimunculkan oleh Ma’bad al Jauhani dan Ghilan ad Dimasyqi sekitar tahun 70
H/ 689M. Ditinjau dari segi politik kehadiran mazhab Qadariyah sebagai isyarat menentang
politik Bani Umayyah, karena itu kehadiran Qadariyah
dalam wilayah kekuasaanya selalu mendapat tekanan, bahkan pada zaman Abdul
Malik bin Marwan pengaruh Qadariyah
dapat dikatakan lenyap tapi hanya untuk sementara saja, sebab dalam
perkembangan selanjutnya ajaran Qadariyah
itu tertampung dalam aliran Muktazilah.
2.
Dasar Ajaran
Dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat yang dijadikan dasar paham qadariyah, seperti QS. ar Ra’ad [13]:
11,
cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan diri mereka sendiri”
3. Doktrin Ajaran
Menurut Dr. Ahmad Amin dalam kitabnya Fajrul
Islam, menyebut pokok-pokok ajaran qadariyah
sebagai berikut :
a. Orang yang berdosa besar itu bukanlah
kafir, dan bukanlahmukmin, tapi fasik dan orang fasikk itu masuk neraka secara
kekal.
b. Allah SWT. Tidak menciptakan amal
perbuatan manusia, melainkan manusia lah yang menciptakannyadan karena itulah
maka manusia akan menerima pembalasan baik (surga) atas segala amal baiknya,
dan menerima balasan buruk (siksa Neraka) atas segala amal perbuatannya yang
salah dan dosakarena itu pula, maka Allah berhak disebut adil.
c. Kaum Qadariyah mengatakan bahwa Allah itu
maha esa atau satu dalam ati bahwa Allah tidak memiliki sifat-sifat azali,
seprti ilmu, Kudrat, hayat, mendengar dan melihat yang bukan dengan zat nya
sendiri. Menurut mereka Allah SWT, itu mengetahui, berkuasa, hidup, mendengar,
dan meilahat dengan zatnya sendiri.
d. Kaum Qadariyah berpendapat bahwa akal
manusia mampu mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, walaupun Allah
tidak menurunkan agama. Sebab, katanya segala sesuatu ada yang memiliki sifat
yang menyebabkan baik atau buruk.
F.
Aliran Mu’tazilah
1. Pengertian
Perkataan Mu’tazilah
berasal dari kata “i’tizal” yang
artinya “memisahkan diri”. Mu'tazilah
adalah salah satu aliran pemikiran dalam Islam yang banyak terpengauruh dengan
filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar
argumentasi.
Latar belakang munculnya
Aliran Mu’tazilah adalah sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan
ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah
tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Pada mulanya nama ini di berikan oleh
orang dari luar mu’tazilah karena pendirinya, Washil bin Atha’, tidak
sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Hasan Al Bashri. Dalam
perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian di setujui oleh pengikut Mu’tazilah
dan di gunakan sebagai nama dari bagi aliran teologi mereka.
Tokoh aliran Mu’tazilah diantaranya adalah Washil bin Atha’ ,
Abu Huzail Al Allaf, Al Nazzam, Abu Hasyim Al Jubba’i
2.
Doktrin Ajaran
a. Al
Tauhid (keesaan Allah)
Ini
merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang
mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah
substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluq.
Dalam
buku Ahmad Hanafi M.A., Theology Islam (Ilmu Kalam) dikutip pandangan
al-Asy’ari yang menyebutkan bahwa kaum Mu’tazilah menafsirkan Tauhid sebagai
berikut:
“Tuhan
itu Esa, tidak ada yang menyamainya, bukan benda (jisim), bukan orang (syakhs),
bukan jauhar, bukan pula aradh…tidak berlaku padanya…tidak mungkin mengambil
tempat (ruang), tidak bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluq
yang menunjukkan ketidak azalianNya. Tidak dibatas, tidak melahirkan dan tidak
pula dilahirkan, tidak dapat dicapai pancaindera…tidak dapat dilihat mata
kepala dan tidak bisa digambarkan akal pikiran. Ia Maha Mengetahui, berkuasa
dan hidup, tetapi tidak seperti orang yang mengetahui, orang yang berkuasa dan
orang yang hidup…hanya Ia sendiri yang Qadim, dan tidak ada lainnya yang
Qadim…Tidak ada yang menolongNya dalam menciptakan apa yang diciptakanNya dan
tidak membikin makhluq karena contoh yang telah ada terlebih dahulu.”
b. Al
‘Adl (keadlilan tuhan)
Paham
keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah bahwa Tuhan tidak menghendaki
keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia dan manusia dapat mengerjakan perintah-perintahNya
dan meninggalkan larangan-laranganNya dengan qudrah (kekuasaan) yang ditetapkan
Tuhan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut
apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya
dan tidak tahu menahu (bebas) dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
Dengan
pemahaman demikian, maka tidaklah adil bagi Tuhan seandainya Ia menyiksa
manusia karena perbuatan dosanya, sementara perbuatan dosanya itu dilakukan
karena diperintah Tuhan. Tuhan dikatakan adil jika menghukum orang yang berbuat
buruk atas kemauannya sendiri.
c. Al
Wa’d wa al wa’id (janji dan ancaman)
Al-Wa’du Wal-Wa’id
(janji dan ancaman), bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar
dimasukkan ke dalam surga, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar
dimasukkan ke dalam neraka, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah
untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah
d. Al
Manzilah bain al Manzilatain
(posisi diantara posisi)
Secara
harfiah, berarti posisi diantara dua posisi. Menurut Mu’tazilah maksudnya
adalah suatu tempat antara surga dan neraka sebagai konsekwensi dari pemahaman
yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah Fasiq; tidak dikatakan beriman
dan tidak pula dikatakan kafir, dia tidak berhak dihukumkan Mu’min dan tidak
pula dihukumkan Kafir, begitu pula dihukum munafiq, karena sesungguhnya munafiq
berhak dihukumkan kafir seandainya telah diketahui kenifaqkannya. Dan tidaklah
yang demikian itu dihukumkan kepada pelaku dosa besar.
e. Amar
ma’ruf nahi mungkar
Dengan
berpegang kepada QS. Ali Imran; 104 dan QS. Luqman ; 17, seperti halnya
golongan lain bahwa perintah untuk berbuat baik dan larangan untuk berbuat
jahat adalah wajib ditegakkan. Dalam pandangan Mu’tazilah; dalam keadaan normal
pelaksanaan al-amru bil ma’rûf wan nahyu
‘anil munkar itu cukup dengan seruan saja, tetapi dalam keadaan tertentu
perlu kekerasan.
G.
Aliran Ahu Sunnah Wal Jamaah/ Sunni
Ahlussunnah berarti
penganut atau pengikut sunnah Nabi Muhammad SAW, dan jamaah berarti sahabat
nabi. Jadi Ahlussunnah wal jama’ah
mengandung arti “penganut Sunnah
(ittikad) nabi dan para sahabat.
1. Aliran
Asy’ariyah
a.
Pengertian
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul
Hasan Al Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi
Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi
Burdah Amir bin Abi Musa Al Asy’ari. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada
namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abu Hasan Al Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M
di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru
kepada Abu Ishaq Al Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al
Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah.
Al Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya
berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama
bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan
keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya
ialah perdebatan antara dirinya dengan Al Jubba’i seputar masalah ash-shalah
dan ashlah (kemaslahatan).
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai
pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase
ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al Ibanah,
ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian
Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia
berpegang pada Al Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada
saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka
begitu mempertahankan hubungan Tuhan-manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuk dan
seolah menjadi akidah resmi negara.
Paham
Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An Nidzamiyah,
baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di
Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan
Shalahuddin Al Ayyubi. Pandangan Asy’ariyah juga didukung fuqaha mazhab Asy Syafi'i dan mazhab Al
Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa
akidah Asy'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh
dunia.
Diantara
tokoh aliran Asy’ariyah adalah, Abu
Hasan Al Asy’ary, Imam Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M), Imam Fakhrurrazi
(544-606H/ 1150-1210), Abu Ishaq Al Isfirayini (w 418/1027), Abu Bakar Al Baqilani (328-402 H/950-1013 M),
dan Abu Ishaq Asy Syirazi (293-476 H/
1003-1083 M.
b.
Doktrin Ajaran
1) Sifat-sifat Tuhan.
Menurutnya,
Tuhan memiliki sifat sebagaiman di sebut di dalam Al Qur’an, yang di sebut
sebagai sifat-sifat yang azali, Qadim, dan berdiri diatas zat tuhan.
Sifat-sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
2) Al Qur’an.
Menurutnya,
Al Quran adalah qadim dan bukan
makhluk diciptakan.
3) Melihat Tuhan.
Menurutnya,
Tuhan dapat dilihat dengan mata oleh manusia di akhirat nanti.
4) Perbuatan Manusia.
Menurutnya,
perbuatan manusia di ciptakan tuhan, bukan di ciptakan oleh manusia itu
sendiri.
5) Keadlian Tuhan
Menurutnya,
tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun untuk menentukan tempat manusia di
akhirat. Sebab semua itu marupakan kehendak mutlak tuhan sebab Tuhan Maha Kuasa
atas segalanya.
6)
Muslim yang berbuat dosa.
Menurutnya,
yang berbuat dosa dan tidak sempat bertobat diakhir hidupnya tidaklah kafir dan
tetap mukmin.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya
pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al
Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al
Ghazali meyakini bahwa:
1) Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik
dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2) Al Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3) Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan
daya dan perbuatan
4) Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud
pasti dapat dilihat.
5) Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah
wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan
Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia.
2. Aliran
Maturidiyah
a.
Pengertian
Maturidiyah
adalah akiran pemikiran kalam yang berpegang pada keputusan akal pikiran dalam
hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.
Al
Maturidy mendasarkan pikiran-pikiran dalam soal-soal kepercayaan kepada
pikiran-pikiran Imam Abu Hanifah yang tercantum dalam kitabnya fiqh-ul Akbar
dan fiqh-ul Absath dan memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua
kitab-kitab tersebut. Maturidiyah lebih mendekati golongan Muktazillah.
Berdasarkan
prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al Qur’an yaitu
kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al
Qur’an. Dalam menfsirkan Al Qur’an Al Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih
(samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas
pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan
pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin
tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah
lebih selamat.
Aliran Maturidiyah
lahir di samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu
Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al Maturidi, di daerah Maturid
Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu
Manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih.
Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi. Al Maturidi dalam pemikiran teologinya banyak
menggunakan rasio. Hal ini mungkin banyak dipengaruhi oleh Abu Hanifa karena Al
Maturidi sebagai pengikat Abu Hanifa. Dan timbulnya aliran ini sebagai reaksi
terhadap mu’tazilah.
Dalam
Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, disebutkan, pada
pertengahan abad ke-3 H terjadi pertentangan yang hebat antara golongan
Muktazilah dan para ulama. Sebab, pendapat Muktazilah dianggap menyesatkan umat
Islam. Al Maturidi yang hidup pada masa itu melibatkan diri dalam pertentangan
tersebut dengan mengajukan pemikirannya. Pemikiran-pemikiran Al Maturidi
dinilai bertujuan untuk membendung tidak hanya paham Muktazilah, tetapi juga
aliran Asy'ariyah. Banyak kalangan yang menilai, pemikirannya itu merupakan
jalan tengah antara aliran Muktazilah dan Asy'ariyah. Karena itu, aliran
Maturidiyah sering disebut “berada
antara teolog Muktazilah dan Asy'ariyah”. Namun, keduanya (Maturidi dan
Asy'ari) secara tegas menentang aliran Muktazilah.
b. Doktrin Ajaran
1)
Akal dan Wahyu
Al
Maturidi dalam pemikiran teologinya berdasarkan pada Al Qur’an dan akal, akal
banyak digunakan diantaranya karena dipengaruhi oleh Mazhab Imam Abu Hanifah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Allah dan kewajiban mengetahui Allah dapat
diketahui dengan akal. Jika akal tidak
memiliki kemampuan tersebut, maka tentunya Allah tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti ia telah meninggalkan
kewajiban yang diperintahkan Allah.
2)
Perbuatan Manusia
Perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah, karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak
Allah mengharuskan manusia untuk memiliki kemampuan untuk berbuat (ikhtiar)
agar kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakan. Dalam hal ini Al
Maturidi mempertemukan antara ikhtiar manusia dengan qudrat Allah sebagai
pencipta perbuatan manusia. Allah mencipta daya (kasb) dalam setiap diri
manusia dan manusia bebas memakainya, dengan demikian tidak ada pertentangan
sama sekali antara qudrat Allah dan ikhtiar manusia.
3)
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Allah
memiliki kehendak dalam sesuatu yang baik atau buruk. Tetapi, pernyataan ini
tidak berarti bahwa Allah berbuat dengan sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah
ditetapkan-Nya sendiri.
4)
Sifat Tuhan
Sifat-sifat
Allah itu mulzamah (ada bersama) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya
ghairuhu). Sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat, sehingga berbilangnya
sifat tidak akan membawa kepada bilangannya Dzat Allah.
5)
Melihat Tuhan
Menurut
Al Maturidi, manusia dapat melihat Tuhan, sebagaimana firman Allah QS. Al
Qiyamah: 22-23.
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari
itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
Lebih
lanjut beliau mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan
mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun ia immaterial. Namun melihat Tuhan,
kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di sana beda dengan
dunia.
6)
Kalam Tuhan
Al
Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya
atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam
yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadits). Kalam nafsi
tidak dapat kita ketahui hakikatnya dari bagaimana Allah bersifat dengannya,
kecuali dengan suatu perantara. Maturidiyah menerima pendapat Mu’tazilah
mengenai Al Qur’an sebagai makhluk Allah, tapi Al Maturidi lebih suka
menyebutnya hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan Al Qur’an.
7)
Perbuatan Tuhan
Semua
yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh
kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan
keadilan yang dikehendaki-Nya.
Tuhan
tidak akan membebankan kewajiban di luar kemampuan manusia, karena hal tersebut
tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia diberikan kebebasan oleh Allah dalam
kemampuan dan perbuatannya, Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena
merupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
8)
Pengutusan Rasul
Pengutusan
Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di
luar kemampuan akalnya. Pandangan ini tidak jauh dengan pandangan Mu’tazilah,
yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
9)
Pelaku Dosa Besar
Al
Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di
dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Menurut Al Maturidi,
iman itu cukup dengan membenarkan (tashdiq) dan dinyatakan (iqrar),
sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu amal tidak menambah
atau mengurangi esensi iman, hanya menambah atau mengurangi sifatnya.
10)
Iman
Dalam
masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq
bi al qalb, bukan semata iqrar bi
al-lisan.:
ÏMs9$s% Ü>#{ôãF{$# $¨YtB#uä ( @è% öN©9 (#qãZÏB÷sè? `Å3»s9ur (#þqä9qè% $oYôJn=ór& $£Js9ur È@äzôt ß`»yJM}$# Îû öNä3Î/qè=è% ( bÎ)ur (#qãèÏÜè? ©!$# ¼ã&s!qßuur w Nä3÷GÎ=t ô`ÏiB öNä3Î=»yJôãr& $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# Öqàÿxî îLìÏm§
“Orang-orang
Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman,
tapi Katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam
hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan
mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang’." (QS. Al
Hujurat [49]: 14
c. Madzhab Aliran
Maturidiyah
1) Golongan Samarkand.
Golongan
ini dalah pengikut Al Maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham
mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat tuhan, maturidi dan
asy’ary terdapat kesamaan pandangan, menurut maturidi, tuhan mempunyai
sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan
pengetahuannya. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan
ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
2) Golongan Buhara
Golongan Maturidiyah
Bukhara adalah pengikut-pengikut Al Bazdawi dalam aliran Al
Maturidiyah, yang mempunyai pendapat
lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al Asy’ary.Golongan Bukhara ini dipimpin
oleh Abu Al Yusr Muhammad Al Bazdawi. Dia merupakan pengikut maturidi yang
penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Al Bazdawi dapat menerima
ajaran Al Maturidi dari orang tuanya. Al Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan
Al Maturidi. Ajaran-ajaran teologinya banyak dianut oleh sebagin umat Islam
yang bermazab Hanafi. Dan pemikiran-pemikiran Maturidiya sampai sekarang masih
hidup dan berkembang dikalangan umat Islam.
H.
Perbandingan Pemikiran Aliran Kalam
1. Akal dan Wahyu
a.
Menurut
aliran Mu’tazilah
Bahwa sebelum datang wahyu, akal dapat dijadikan
pedoman dalam menentukan apa yang baik dan apa yang buruk, sehingga melakukan
penalaran adalah wajib, karena dengan penalaran yang mendalam dapat mengetahui
kewajiban-kewajiban. Dari empat masalah tersebut di atas, bagi aliran
Mu’tazilah dapat diketahui melalui akal.
b.
Menurut Aliran
Asy’ariyah
Imam Asy’ari menjelaskan bahwa, wahyu lah yang
menentukan baik dan buruk , menentukan kewajiban terhadap Tuhan dan kewajiban
melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk. Akal tidak berperan dalam hal
tersebut, sehingga kalau dikatakan bohong itu adalah buruk karena wahyulah yang
menetapkannya.
c. Aliran Maturidiyah
Antara Abu Mansur dengan al Bazdawi berbeda. Abu
Mansur menjelaskan bahwa, Akal dapat mengetahui Tuhan, baik dan buruk serta
mengetahui kewajiban terhadap Tuhan, akan tetapi wahyulah yang menetapkannya. Begitu
pula tidak semua yang baik dan buruk diketahui akal sehingga sangat diperlukan
wahyu. Termasuk menjelaskan kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang
buruk. Sedangkan al Bazdawi berpendapat bahwa, semua pengetahuan dapat dicapai
oleh akal sedang kewajiban-kewajiban diketahui melalui wahyu.
2. Iman dan Kufur
a. Menurut Aliran Khawarij
Iman dan kufr mulai dipersoalkan ketika aliran
Khawarij memandang semua yang menerima tahkim adalah kafir. Bagi
aliran Khawarij, iman tidak cukup hanya diucapkan atau dibenarkan melainkan
harus dibuktikan dengan perbuatan, karena itulah yang merupakan penentu iman.
Maka dari itu bagi yang melakukan dosa besar adalah kafir.
b. Menurut Aliran Murjiah
Iman adalah ma’rifah sama
dengan ikrar dan tashdiq, amal tidak termasuk unsur iman. Sedang kufr adalah
mengingkari. Oleh karena
itu, apapun yang dilakukan oleh seseorang tidak mempengaruhi imannya, sekalipun
berbuat dosa.
c. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah mengemukakan
bahwa, iman adalah ketaatan kepada apa yang diwajibkan dan disunatkan. Ini
berarti bahwa unsur iman bagi Mu’tazilah tidak hanya ikrar dan tashdiq, tetapi
juga pengamalan sangat berpengaruh terhadap iman, sehingga seseorang yang
beriman melakukan dosa besar tidak dapat dikatakan kafir, karena masih ada
unsur lain yang dimiliki, yaitu : pengakuan atau ikrar dan tashdiq. Pelaku dosa
besar hanya dikatakan sebagai fasiq, bukan mukmin secara mutlak dan
bukan kafir secara mutlak. Manusia
dikataakan kafir manakala unsur-unsur iman tidak dimiliki.
d. Menurut aliran Asy’ariyah
Aliran Asy’ariyah membedakan
antara iman dan islam. Iman bersifat khusus, berhubungan dengan hati yakni ikrar
dan tashdiq. Sementara Islam mempunyai ruang lingkup yang luas meliputi
syari’at atau pengamalan, sehingga tidak dapat digolongkan kafir karena
melakukan dosa besar. Hanya saja dalam kehidupan sebagai seorang yang beriman
tidak cukup dengan iman atau islam saja, melainkan keduanya harus dipadukan,
karena iman dan islam tidak dapat dipisahkan.
Tentang iman, Imam Asy’ari menjelaskan
bahwa, perbuatan manusia dapat menjadikan iman itu kuat dan lemah. Untuk
memperkokoh iman itu harus menjalankan ketaatan. Iman yang kuat menjadi
penghalang dalam berbuat dosa, sementara iman yang lemah memudahkan untuk
melakukan pelanggaran.
3. Perbuatan Manusia
a. Menurut Aliran Jabariyah
Aliran jabariyah memandang bahwa manusia tidak merdeka
dari mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa
(fatalism).
Aliran jabariyah memandang manusia tidak mempunyai pilihan. Manusia dalam
perbuatannya adalah majbur (terpaksa). Manusia digerakkan
Allah, sebagaimana benda-benda yang mati dan tak bernyawa dapat bergerak hanya
karena digerakkan oleh Tuhan.
b. Menurut Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang bahwa manusia sendirilah
sebenarnya yang mewujudkan perbuatannya, baik perbuatan jahat maupun perbuatan
baik, begitu pula iman dan kufur. Paham ini diperkenalkan pertama kali oleh
Ma’bad ibn al Juwaini dan Ghailan al Dimasyqi. Keduanya merupakan orang yang
paling awal memperkenalkan pembicaraan tentang al qadr, yaitu
kemampuan manusia untuk melakukan perbuatannya. Manusia tidak dikendalikan
tetapi dapat memilih.
Kebebasan manusia dalam mewujudkan perbuatannya erat
kaitannya dengan kewajibannya untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Sedangkan tanggung jawab menghendaki kebebasan. Pemberian siksaaan dan pahala
tidak relevan kalau manusia tidak aktif. Jadi nampaknya bahwa manusia
merdeka dalam tingkah lakunya. Ia berbuat baik atas kemauannya sendiri, begitu
pula sebaliknya. Keterlibatan Tuhan sama sekali tidak ada dalam mewujudkan
perbuatan manusia.
c. Menurut Aliran
Asy’ariyah
Menurut
Asy’ariyah manusia lemah, banyak bergantung kepada kehendak dan kemauan
Tuhan. Dalam
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Al Asy’ari memakai istilah kasb (perolehan). Menurut al
Asy’ari, inti dari kasb itu adalah bahwa sesuatu itu timbul dari yang
memperoleh dengan perantaraan daya yang diciptakan Allah. Perbuatan-perbuatan
manusia oleh Asy’ari pada hakikatnya diadakan oleh Allah. Semua itu mencakup
perbuatan-perbuatan gerakan refleks dan perbuatan-perbuatan manusia.
d. Menurut Aliran Maturidiyah
Dalam perwujudan perbuatan terdapat dua perbuatan,
perbuatan Allah dan perbuatan manusia. Perbuatan bahwa perbuatan manusia adalah
perbuatan Allah karena perbuatan Allah adalah Pencipta perbuatan, sehingga
dapat dikatakan.
4. Kehendak
Mutlak dan Keadilan Tuhan
a. Menurut Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah memandang bahwa Allah itu tidak
berkuasa mutlak. Kemutlakan kekuasaan Allah dibatasi oleh beberapa hal yang
telah ditetapkan oleh Allah sendiri, yang mana Tuhan tidak akan melanggarnya
berdasarkan kemauannya sendiri. Aliran Mu’tazilah sepakat bahwa manusia mampu
menciptakan perbuatannya baik dan buruk. Washil bin ‘Atha berpendapat bahwa
manusia bebas dalam perbuatannya, dia tidak dipaksa, agar dengan demikian maka
keadilan Tuhan terwujud.
Paham ini didasari oleh paham mereka tentang keadilan
Allah. Sebab tidak benar manusia diberi beban kemudian dibatasi kebebasannya
atau tidak diberikan kemampuan untuk mewujudkan apa yang dibebankan kepadanya.
Tuhan itu adil kalau manusia diberi kehendak untuk memilih perbuatan yang
diinginkannya dan diberi kemampuan untuk melaksanakan apa yang dikehendakinya.
Dan atas perbuatannya itulah maka Tuhan memberikannya imbalan pahala atau siksa
sesuai dan ancamannya.
b. Menurut Aliran Asy’ariyah
Aliaran Asy’ariyah menyatakan bahwa Allah mempunyai
kekuasaan mutlak dan tidak tunduk kepada siapapun. Kekuasaan mutlak Allah tidak
dapat dibatasi oleh kebebasan manusia. Hal ini dapat dipahami dari pandangan
kaum Asy’ariah yang memahami bahwa manusia tidak bebas berbuat dan berkehendak.
Sebab sekiranya sesuatu terjadi di luar kehendak Allah, atau sekiranya dalam
kekuasaanNya terjadi apa yang tidak dikehendakiNya, maka hal ini akan berarti
bahwa Allah itu lemah atau lupa, sedangkan sifat lemah atau lupa adalah
mustahil bagi Allah. Dengan demikian, Allah lah yang menghendaki segala sesuatu
yang terjadi di alam ini, termasuk perbuatan baik atau perbuatan buruk.
I.
Kesimpulan
- Setelah terjadinya peristiwa
tafkhim, umat islam terbagi kepada beberapa aliran dalam bidang Teologi
yang semulanya hanya dilator belakangi oleh persoalan politik, seperti :
Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah.
- Masing-masing aliran berbeda
pendapat dalam mengemukakan konsep mereka dalam bidang teologi, di samping
disebabkan karena mamang munculnya perbedaan itu terkait langsung dengan
perbedaan kecenderungan, tingkat pengetahuan dan pengalaman, juga
disebabkan karena di antara dasar-dasar agama, baik yang terdapat dalam
al-Qur’an maupun hadis Nabi SAW
- Masing-masing aliran ilmu kalam
mengalami perbedaan persepsi dalam memberikan interpretasi, khususnya
dalam lapangan teologi seperti masalah sifat-sifat tuhan, perbuatan
manusia dan perbuatan Tuhan, keadilan, kehendak muthlak Tuhan, akal dan
wahyu.
Comments
Post a Comment