A.
Pengertian Tasawwuf
1. Pengertian
Etimologi
Istilah tasawuf, menurut Amin
Syukur adalah istilah yang baru di dunia Islam. Istilah tersebut belum ada pada
zaman Rasulullah saw, juga pada zaman para sahabat. Bahkan, tasawuf sendiri
tidak ditemukan dalam dalam al-Qur’an. Tasawuf
adalah sebutan untuk mistisisme Islam. Dalam pandangan etimologi kata sufi mempunyai pengertian yang berbeda.
Menurut Haidar
Bagir, kata sufi
berasal bahasa Arab yang merujuk pada beberapa kata dasar. Di antaranya adalah:
1. Kata shaff (baris, dalam shalat), karena dianggap
kaum sufi berada dalam shaff pertama. 2. Kata Shuf, yakni
bahan wol atau bulu domba kasar yang biasa mencirikan pakaian kaum sufi. 3.
Kata Ahlu as-Shuffah, yakni parazahid (pezuhud),
dan abid (ahli ibadah) yang tak punya rumah dan tinggal di
serambi masjid Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dzar al-Ghifary, Imran ibn
Husein, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah ibn Mas’ud, Abdullah ibn Abbas, dan
Hudzifah bin Yaman. 4. Ada juga yang mengaitkannya dengan nama sebuah suku
Badui yang memiliki gaya hidup sederhana, yakni Bani Shufah. Dan yang paling tepat pengertian tasawuf berasal
dari kata suf (bulu domba), baik dilihat dari konteks kebahasaan, sikap
sederhana para sufi maupun aspek kesejarahan.
2. Pengertian
Terminologi
a.
Imam
Junaid dari Baghdad (w. 910) mendefinisikan tasawuf sebagai mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah. Atau keluar dari budi
perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.
b.
Syekh Abul Hasan Asy Syadzili (w.1258), syekh sufi
besar dari Arika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk
mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.
c.
Ibn
Khaldun mendifinisaikan tasawuf adalah semacam ilmu syar’iyah yang
timbul kemudian dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan
pertalian dengan segala selain Allah, hanya menghadap kepada Allah semata.
Menolak hiasan-hiasan dunia, serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya
orang banyak, kelezatan harta-benda, dan kemegahan. Dan menyendiri menuju jalan
Tuhan dalam khalwat dan ibadah”.
d.
Ibnu Maskawayh mengatakan akhlak ialah suatu
keadaan bagi diri atau jiwa yang mendorong (diri atau jiwa itu) untuk melakukan
perbuatan dengan senang tanpa didahului oleh daya pemikiran kerana sudah
menjadi kebiasaan.
e.
Harun Nasution dalam bukunya falsafat dan
Mistisme dalam islam menjelaskan bahwa, tasawuf merupakan suatu ilmu
pengetahuan yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang islam bisa
sedekat mungkin dengan tuhan.
f.
Amin syukur mendefinisikan tasawuf sebagai sistem latihan
dengan kesungguhan (riyadhah mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi dan
memeperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
(taqarrub) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepada Nya.
Jafi, tasawuf
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernihkan
akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi.
Dari definisi tentang tasawuf di atas diperhatikan dan dipahami secara utuh,
maka akan tampak selain berorientasi spiritual, tasawuf juga berorientasi
moral. Dan dapat disimpulkan bahwa basis tasawuf
ialah penyucian hati dan penjagaannya dari setiap cedera, dan bahwa
produk akhirnya
ialah hubungan yang benar dan harmonis antara manusia dan Allah.
Dengan
demikian, sufi adalah orang yang telah dimampukan Allah untuk
menyucikan hati dan menegakkan hubungannya dengan Dia dan ciptaan-Nya dengan
melangkah pada jalan yang benar, sebagaimana dicontohkan dengan sebaik-baiknya
oleh Nabi Muhammad SAW SAW.
B. Dasar-dasar Tasawwuf
Diantara
ayat-ayat Al Qur’an yang menjadi landasan munculnya kezuhudan dan menjadi jalan
kesufian adalah ayat-ayat yang berbicara tentang rasa takut kepadan Allah dan
hanya berharap kepada-Nya dan berusaha mensucikan jiwa (QS. As Sajadah [32]:
16, QS. Asy Syams [91]: 7-10), ayat yang berkenaan dengan kewajiban seorang
mu’min untuk senantiasa bertawakkal dan berserah diri hanya kepada Allah swt
semata serta mencukupkan bagi dirinya cukup Allah sebagai tempat menggantungkan
segala urusan. (QS. At Thalaq [65]: 2-3). ayat yang berkenaan dengan urgensi
kezuhudan dalam kehidupan dunia (QS. Asy Syuraa [42]: 20) dan ayat-ayat yang
mememerintahkan orang-orang beriman agar senantiasa berbekal untuk akhirat
4nû$yftFs? öNßgç/qãZã_ Ç`tã ÆìÅ_$ÒyJø9$# tbqããôt öNåk®5u $]ùöqyz $YèyJsÛur $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÊÏÈ
“lambung mereka jauh dari tempat tidurnya
dan mereka selalu berdoa kepada Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap,
serta mereka menafkahkan apa apa rezki yang Kami berikan.”
(QS. As Sajadah [32]: 16)
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB $yg8©.y ÇÒÈ ôs%ur z>%s{ `tB $yg9¢y ÇÊÉÈ
7. dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), 8. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. 9. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, 10.
dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.(QS.
Asy Syams [91]: 7-10)
`tB tb%x. ÚÆÏB÷sã «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ÌÅzFy$# 4 `tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC ÇËÈ çmø%ãötur ô`ÏB ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾ÍnÌøBr& 4 ôs% @yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs%
2. apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah
kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan
itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. 3. dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.
Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya
Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
`tB c%x. ßÌã y^öym ÍotÅzFy$# ÷ÌtR ¼çms9 Îû ¾ÏmÏOöym ( `tBur c%x. ßÌã y^öym $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB $tBur ¼çms9 Îû ÍotÅzFy$# `ÏB A=ÅÁ¯R ÇËÉÈ
“ barang siapa yang menghendaki Keuntungan
di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang
menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan
dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.”
(QS. Asy Syuraa [42]: 20)
(#þqßJn=ôã$# $yJ¯Rr& äo4quysø9$# $u÷R9$# Ò=Ïès9 ×qølm;ur ×puZÎur 7äz$xÿs?ur öNä3oY÷t/ ÖèO%s3s?ur Îû ÉAºuqøBF{$# Ï»s9÷rF{$#ur ( È@sVyJx. B]øxî |=yfôãr& u$¤ÿä3ø9$# ¼çmè?$t7tR §NèO ßkÍku çm1utIsù #vxÿóÁãB §NèO ãbqä3t $VJ»sÜãm ( Îûur ÍotÅzFy$# Ò>#xtã ÓÏx© ×otÏÿøótBur z`ÏiB «!$# ×bºuqôÊÍur 4 $tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$# ÇËÉÈ
“ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kehidupan
dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-
megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak,
seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para petani; kemudian tanaman
itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan
di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta
keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.” (QS. Al Hadid [57]: 20)
C.
Pandangan
tentang Asal Usul Tasawwuf
1. Sufisme berasal dari bahasa Arab suf,
yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada kaum asketen (yaitu orang yang
hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India
ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran Islam
2. Sufisme yaitu ajaran mistik yang dianut
sekelompok kepercayaan di Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa
semua yang muncul di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish
verschijnt), manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan
selalu berusaha untuk kembali bersatu dengan Dia.
3. Paham
tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu (1) Perasaan kebatinan yang ada pada
sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam,(2) Adat atau
kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama non-Islam dan
berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu bukan ajaran Islam
walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran Islam, dengan kata lain
dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf walaupun tidak sedikit jumah orang
Islam yang menganutnya.
4. Tasawuf
dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka mengenakan
pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf),
maka mereka disebut dengan Sufi. Soal
hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran Rasulullah dan bukan pula ilmu warisan
dari Ali bin Abi Thalib
ra.
Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan
juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang
terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda
dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul
ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad SAW, dan juga
dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah
Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi
ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha"
D.
Sejarah Perkembangan Tasawuf
1. Abad
I dan II Hijriyah
Fase
abad pertama dan kedua Hijriyah belum bisa sepenuhnya disebut sebagai fase
tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai fase kezuhudan. Tasawuf pada fase ini
lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk amaliah itu seperti
memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan minum, menyedikitkan tidur dan lain
sebagainya.
Kesederhanaan
kehidupan Nabi diklaim sebagai panutan jalan para zahid. Banyak ucapan dan
tindakan Nabi s..a.w. yang mencerminkan kehidupan zuhud dan kesederhanaan baik
dari segi pakaian maupun makanan, meskipun sebenarnya makanan yang enak dan
pakaian yang bagus dapat dipenuhi. Pada masa ini, terdapat fenomena kehidupan
spiritual yang cukup menonjol yang dilakukan oleh sekelompok sahabat Rasul
s.a.w yang di sebut dengan ahl al- Shuffah.
Kelompok ini
dikemudian hari dijadikan sebagai tipe dan panutan para shufi. Dengan
anggapan mereka adalah para sahabat Rasul s.a.w. dan kehidupan mereka adalah
corak Islam. Di antara mereka adalah Abu Dzar al-Ghifari, Salman
al-Fartsi, Abu Hurairah, Muadz Ibn Jabal, Abd Allah Ibn Mas’ud, Abd Allah
ibn umar, Khudzaifah ibn al-Yaman, Anas ibn Malik, Bilal ibn Rabah, Ammar ibn
Yasar, Shuhaib al-Rumy, Ibn Ummu Maktum dan Khibab ibn al-Arut.
2. Fase
Abad III dan IV Hijriyah
Abad
ketiga dan keempat disebut sebagai fase tasawuf. pada permulaan abad ketiga
hijriyah mendapat sebutan shufi. Hal itu dikarenakan tujuan utama kegiatan
ruhani mereka tidak semata-mata kebahagian akhirat yang ditandai dengan
pencapaian pahala dan penghindaran siksa, akan tetapi untuk menikmati hubungan
langsung dengan Tuhan yang didasari dengan cinta. Cinta Tuhan membawa
konsekuensi pada kondisi tenggelam dan mabuk kedalam yang dicintai ( fana fi al-mahbub ). Kondisi ini tentu akan
mendorong ke persatuan dengan yang dicintai ( al-ittihad ). Di sini telah terjadi
perbedaan tujuan ibadah orang-orang syariat dan ahli hakikat.
Pada
fase ini muncul istilah fana`, ittihad dan hulul. Fana adalah suatu kondisi
dimana seorang shufi kehilangan kesadaran terhadap hal-hal fisik ( al-hissiyat). Ittihad adalah kondisi
dimana seorang shufi merasa bersatu dengan Allah sehingga masing-masing bisa
memanggil dengan kata aku ( ana ). Hulul adalah masuknya Allah kedalam tubuh manusia yang dipilih.
Di
antara tokoh pada fase ini adalah Abu yazid al-Busthami (w.263 H.) dengan
konsep ittihadnya, Abu al-Mughits al-Husain Abu Manshur al-Hallaj ( 244 –
309 H. ) yang lebih dikenal dengan al-Hallaj dengan ajaran hululnya.
3. Fase Abad V Hihriyah
Fase ini disebut sebagai fase
konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an
dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni
tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Fase ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap fase sebelumnya dimana tasawuf
sudah mulai melenceng dari koridor syariah atau tradisi (sunnah) Nabi dan
sahabatnya.
Tokoh tasawuf pada fase ini
adalah Abu Hamid al-Ghazali (w.505 H) atau yang lebih dikenal dengan al-Ghzali.
Tokoh
lainnya adalah Abu al-Qasim Abd al-Karim bin Hawazin Bin Abd al-Malik Bin
Thalhah al-Qusyairi atau yang lebih dikenal dengan al-Qusyairi ( 471 H.),
al-Qusyairi menulis al-Risalah al-Qusyairiyah terdiri
dari dua jilid.
4. Fase Abad VI Hijriyah
Tokoh-tokoh
pada fase ini adalah Muhyiddin Ibn Arabi atau yang lebih dikenal dengan Ibnu
Arabi (560 -638 H.) dengan konsep wahdah al-Wujudnya. Ibnu Arabi
yang dilahirkan pada tahun 560 H. dikenal dengan sebutan as-Syaikh
al-Akbar (Syekh Besar). Tokoh lain adalah al-Syuhrawardi (549-587 H.) dengan konsep Isyraqiyahnya. Ia dihukum bunuh dengan tuduhan telah melakukan
kekufuran dan kezindikan pada masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayubi. Diantara
kitabnya adalah Hikmat al-Israq. Tokoh berikutnya adalah Ibnu Sab’in (667 H.) dan
Ibn al-Faridl (632 H.)
E.
Pembagian Ilmu Tasawuf
1. Tasawuf Ahlaki
Tasawuf akhlaki adalah
tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral) atau taswuf yang
berkonsentrasi pada perbaikan akhlak.
Ajaran tasawuf akhlaki membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa
yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah
laku yang ketat, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Dengan metode-metode
tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada
upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus
mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para sufi.
Dalam diri manusia ada potensi untuk
menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk. Potensi untuk menjadi baik
adalah al-‘Aql dan al-Qalb. Sementara potensi
untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh
syaithan. Sebagaimana digambarkan dalam QS. As-Syams : 7-8 sebagai berikut :
<§øÿtRur
$tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
ÇÑÈ
Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya.
Tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:
a. Takhalli
Takhalli adalah usaha mengosongkan
diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang
paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang
berlebihan kepada urusan duniawi.
b. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan
menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak
terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari
akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal
(luar) seperti sholat, puasa, haji, maupun internal (dalam) seperti keimanan,
ketaatan dan kecintaan kepada Allah.
c. Tajalli
Kata tajalli bermakna terungkapnya
nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa yang telah membiasakan
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur, maka rasa ketuhanan perlu dihayati
lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa
kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.
Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain :
Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H
– 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H),
Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari
dan lain-lain.
2. Tasawuf
Amali
Tasawuf amali adalah tasawuf
yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh
penghayatan spiritual dalam setiap melakukan ibadah. Keseluruhan rangkaian amalan
lahiriah dan latihan olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada
Allah, yaitu dengan melakukan macam-macam amalan yang terbaik serta cara-cara
beramal yang paling sempurna. Tasawuf
Amali berkonotasi dengan tarekat. Tokoh tasawuf ini antara lain, Rabiah Al
Adawiyah dan Dzun Nun Al Misri.
Pengalaman tasawuf amali dibagi kedalam empat bidang sebagai berikut:
a. Syari’at
Syari’at adalah hukum-hukum formal
yang dijadikan sandaran amalan lahir
yang ditetapkan dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah. Sehingga
seorang pengamal sufi tidak mungkin memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan
secara sempurna amalan lahiriahnya.
b. Thariqot
Kalangan sufi mengartikan thariqat
sebagai seperangkat serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan
dijadikan metoda pengarahan jiwa dan moral.
c. Hakikat
Dalam dunia sufi hakikat diartikan
sebagai aspek bathin yang paling dalam dari setiap amal atau inti dan rahasia
dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan menuju Allah.
d. Ma’rifat
berarti pengetahuan atau pengalaman.
Dalam istilah tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang
diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
3. Tasawuf Falsafi
Tasawuf Falsafi yaitu
tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah pemikiran mendalam/ metafisik.
Dalam upaya mengungkapkan penglaman rohaninya, para para sufi falsafi sering
menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar-samar yang dikenal dengan syathahat
yaitu suatu ungkapan yang sulit di pahami, yang sering mengakibatkan
kesalhpahaman. Tokoh tasawuf ini antara lain, Abu Yazid Al Bustami, Al Hallaj,
Ibnu Arabi, Suhrawardi.
Dalam
tasawuf falsafi, tentang bersatunya Tuhan dengan makhluknya,setidaknya terdapat
beberapa term yang telah masyhur beserta para tokohnya yaitu ; hulul,wadah
al~wujud, insan kamil, Wujud Mutlak.
a. Hulul
Hulul
merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang meyakini terjadinya
kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Paham hululini disusun oleh Al-hallaj
Kata
hulul berimplikasi kepada bahwa tuhan akan menempati dan memilih tubuh manusia
untuk ditempati, bila manusia dapat menghilangkan sifat nasut(
kemanusiaannya) dengan cara fana (menghilangkan sifat-sifat tercela melalui
meniadakan alam duniawi menuju kesadaran ketuhanan).
b. Wahdah
Al-Wujud
Istilah
wahdah Al-wujud adalah paham yang mengatakan bahwa manusia dapat bersatu padu
dengan tuhan, akan tetapi tuhan disini bukanlah tapi yang dimkasud tuahn
bersatu padu disini bukanalh Dzat yang tuhan yang sesungguhnya, melainkan
sifat-sifat tuhan yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan
proses fana’
c. Ittihad
Pembawa
faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran
Nur Ilahi,oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia] maka
padadasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahiatau
dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan.
F.
Sumber-sumber
Tasawwuf
Sebagaimana
layaknya ilmu tauhid, ilmu fiqih, ilmu akhlaq, ilmu kalam, ulumul qur’an,
ulumul hadits dan ilmu-ilmu lain dalam Islam yang penamaannya baru muncul
setelah Rasul wafat, demikian juga dengan ilmu tasawuf, exixtensi namanya baru
dikenal jauh setelah Rasul wafat. Namun esensi ilmu tasawuf sesungguhnya
bersumber dari Allah, Rasul, ijma’ sufi, ijtihad sufi dan qiyas sufi.
1. Allah
Allah merupakan Zat sumber ilmu
tasawuf, tidak ada seorangpun yang mampu menciptakan ilmu tasawuf dari selain
Zat Allah. Namun Allah mengajarkan secercah ilmuNya kepada para sufi lewat
hidayah (ilham) baik langsung maupun dengan perantaraan lain selain Allah yang
Allah kehendaki.
Ada kalanya lewat Al Qur’an dengan
metode iqro’ul Qur’an (membaca,
menyimak, menganalisa isi kandungan Al Qur’an), ada pula melalui alam dengan
cara perenungan sufi dan lain sebagainya yang pada intinya merupakan hidayah
dari Allah, kemudian berwujud menjadi ide tercerahkan dalam nuansa pemikiran
dan keyaqinan terunjam di hati untuk dimanifestasikan dalam realita kehidupan
nyata sebagai bentuk pengabdian diri kepada Allah.
2. Rasulullah
SAW
Rasul merupakan sumber kedua setelah
Allah bagi para sufi dalam mendalami dan pengambangkan ilmunya, karena hanya
kepada Rasul sajalah Allah menitipkan wahyuNya, tentulah Rasul pula yang lebih
banyak tahu tentang sesuatu yang tersirat di balik yang tersurat dalam Al
Qur’an. Semua keterangan tersebut hanya ada di hadits Rasulullah, maka sumber
yang kedua ilmu tasawuf adalah Hadits (Sunnah Rasul).
3. Pengalaman
Sahabat
Setelah merujuk pada referensi Al
Qur’an dan Hadis, referensi selanjutnya bagi aktivitas tasawuf adalah
pengetahuan dan tindakan para pengikut setia Rasulullah Muhammad SAW SAW.
Pengalaman spiritual yang diperolehnya sebagai penunjang semuanya itu.
4. Ijma’
Sufi
Ijma’ Sufi (kesepakatan para ‘ulama
tasawuf) merupakan esensi yang sangat penting dalam ilmu tasawuf, karenanya
mereka dijadikan sebagai sumber yang ke tiga dalam ilmu tasawuf setelah Al
Qur’an dan Hadits.
5. Ijtihad
Sufi
Dalam kesendiriannya, para sufi
banyak menghadapi pengalaman aneh, pengalaman itu merupakan guru terbaik, namun
Allah memberi aqal untuk berfikir semaksimal mungkin sebagai alat pembeda
antara kepositifan dengan kenegatifan dalam pengalaman.
6. Qiyas
Sufi
Qiyas merupakan penghantar sufi untuk
dapat berijtihad secara mandiri jika sedang terpisah dari jama’ahnya.
7. Nurani
Sufi
Setiap sufi positif, memiliki nurani
yang tajam di hatinya, ada yang menyebutnya dengan istilah firasat, rasa, radar
batin dan sebagainya merupakan anugerah Allah terhadap kaum sufi, bias dari
keikhlashan, kesabaran dan ketawakkalannya dalam beribadah kepada Allah tanpa
kenal lelah.
8. Amalan
Sufi
Kaum
sufi memegang teguh tradisi rahasia (menyembunyikan) nurani dan amalinya,
karena jika dua hal tersebut diketahui umum dapat menimbulkan kesalah fahaman,
hal ini disebabkan dimensi tariqat (perjalanan) sufi merupakan dimensi batin
(roh, rohani, jiwa, sesuatu esensi tersembunyi, gaib) yang tidak semua orang
mampu menjalaninya, namun para sufi amat merindukannya disebabkan semata karena
cinta kepadaNya.
G.
Istilah-istilah Tasawuf
1. Al Maqamat
a.
Pengertian
Definisi
Al maqamat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata maqam, yang berarti kedudukan spiritual
(English : Station). Maqam arti
dasarnya adalah tempat berdiri, dalam
terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seseorang hamba di hadapan
Allah pada saat dia berdiri menghadap kepada-Nya.
Menurut
Al Qusyairi (w. 465 H) maqam adalah tahapan adab (etika) seorang
hamba dalam rangka wushul (sampai) kepadaNya dengan berbagai upaya, diwujudkan
dengan suatu tujuan pencarian dan ukuran tugas. Dalam pandangan Abu Nashr Al
Sarraj (w. 378 H) yaitu kedudukan atau tingkatan seorang hamba dihadapan Allah
yang diperoleh melalui serangkaian pengabdian (‘ibadah), kesungguhan melawan hawa nafsu dan penyakit-penyakit
hati (mujahadah), latihan-latihan
spiritual (riyadhah) dan mengarahkan
segenap jiwa raga semata-mata kepada Allah.
b.
Tingkatan Al
Maqamat
Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumudin
membuat sistematika maqamat dengan taubat, sabar, faqir,
zuhud, tawakal, mahabah,
ma’rifat dan ridha.
1) Taubah
Dalam
ajaran tasawuf konsep taubat dikembangkan dan memiliki berbagai macam
pengertian. Secara literal taubat berarti kembali.
Dalam perspektif tasawuf, taubat berarti kembali
dari perbuatan-perbuatan yang menyimpang, berjanji untuk tidak mengulanginya lagi dan kembali kepada Allah.
Menurut
Abu Nashr Al Sarraj taubah terbagi
pada beberapa bagian. Pertama,
taubatnya orang-orang yang berkehendak (muridin),
muta’arridhin, thalibin dan qashidin. Kedua, taubatnya ahli
haqiqat (kaum khawwas). Pada bagian ini para ahli haqiqat tidak ingat lagi akan dosa-dosa mereka karena
keagungan Allah telah memenuhi hati mereka dan mereka senantiasa berzikir
kepadaNya. Ketiga, taubat ahli ma’rifat (khusus al-khusus).
Adapun taubatnya ahli ma’rifat yaitu
berpaling dari segala sesuatu selain Allah.
!$tBur äÌht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ wÎ) $tB zOÏmu þÎn1u 4 ¨bÎ) În1u Öqàÿxî ×LìÏm§
“ dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS. Yusuf [12]:
53)
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#þqç/qè? n<Î) «!$# Zpt/öqs? %·nqÝÁ¯R 4Ó|¤tã öNä3/u br& tÏeÿs3ã öNä3Ytã öNä3Ï?$t«Íhy öNà6n=Åzôãur ;M»¨Zy_
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah
kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).
Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke
dalam jannah …” (QS. At Tahrim [66]: 8).
2) Wara’
Kata
wara’ secara etimologi berarti menghindari atau menjauhkan diri. Dalam perspektif tasawuf bermakna menahan diri hal-hal yang sia-sia, yang haram dan hal-hal yang
meragukan (syubhat). Hal
ini sejalan dengan hadits nabi, “Diantara (tanda) kebaikan ke-Islaman
seseorang ialah meninggalkan sesuatu yang tidak penting baginya”.
Adapun
2 perkara yang wajib ditinggalkan dalam wara’ adalah :
a) Meninggalkan
apa yang dilarang oleh Allah dan terkait dengan hati (kesesatan, bid’ah,
kefanatikan dan berlebih-lebihan)
b) Meninggalkan
segala sesuatu yang terkait dengan syubhat, yang dikhawatirkan akan jatuh pada
keharaman, dan meninggalkan kelebihan meskupun berupa bagian dari kehalalan.
3)
Zuhud
Menurut
Imam Ghazali, makna kata zuhud adalah
mengurangi keinginan kepada dunia dan
menjauh darinya dengan penuh kesadaran. Menurut Abu Bakr Muhammad SAW
Al Warraq (w. 290/903 M ) kata zuhud mengandung tiga hal yang mesti
ditinggalkan yaitu huruf z berarti zinah (perhiasan atau kehormatan), huruf h berarti hawa (keinginan), dan d menunjuk
kepada dunya (materi). Dalam perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati
terhadap hal ihwal keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya
karena semata-mata taat dan mengharapkan ridha Allah SWT. Inti dari zuhd adalah keteguhan jiwa, yaitu tidak
merasa bahagia dengan kenikmatan dunia yang didapat, dan tidak bersedih dan
putus asa atas kenikmatan dunia yang tidak didapat.
Menurut
Syaikh Syihabuddin ada tiga jenis kezuhudan yaitu : pertama, Kezuhudan
orang-orang awam dalam peringkat pertama. Kedua, kezuhudan orang-orang
khusus (kezuhudan dalam kezuhudan). Hal ini berarti berubahnya kegembiraan yang
merupakan hasil daripada zuhud hanyalah kegembiraan akhirat, sehingga nafsunya
benar-benar hanya dipenuhi dengan akhirat. Ketiga, Kezuhudan orang-orang
khusus dikalangan kaum khusus. Dalam peringkat ketiga ini adalah kezuhudan
bersama Allah. Hal ini hanyalah dikhususkan bagi para Nabi dan manusia suci.
Mereka telah merasa fana’ sehingga kehendaknya adalah kehendak Allah. Sedangkan
menurut Abu Nashr Al Sarraj ada tiga kelompok zuhud :
a) Kelompok pemula (mubtadiin), mereka
adalah orang-orang yang kosong tangannya dari harta milik, dan juga kosong
kalbunya.
b) Kelompok para ahli hakikat tentang zuhud (mutahaqqiqun
fi Al zuhd). Kelompok ini dinyatakan sebagai orang-orang yang meninggalkan
kesenangan-kesenangan jiwa dari apa-apa yang ada di dunia ini, baik itu berupa
pujian dan penghormatan dari manusia.
c) Kelompok yang mengetahui dan meyakini
bahwa apapun yang ada di dunia ini adalah halal bagi mereka, namun yakin bahwa
harta milik tidak membuat mereka jauh dari Allah dan tidak mengurangi
sedikitpun kedudukan mereka, semuanya semata-mata karena Allah.
óßì»tFtB $u÷R9$# ×@Î=s% äotÅzFy$#ur ×öyz Ç`yJÏj9 4s+¨?$#
”… Kesenangan di dunia ini hanya sebentar
dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa…”
(QS. An Nisa [4]: 77)
wur tbrßÅgs Îû öNÏdÍrßß¹ Zpy_%tn !$£JÏiB (#qè?ré& crãÏO÷sãur #n?tã öNÍkŦàÿRr& öqs9ur tb%x. öNÍkÍ5 ×p|¹$|Áyz 4 `tBur s-qã £xä© ¾ÏmÅ¡øÿtR Í´¯»s9'ré'sù ãNèd cqßsÎ=øÿßJø9$# ÇÒÈ
“ …dan mereka (Anshor) tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka
(Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, Sekalipun mereka dalam kesusahan. dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka Itulah orang orang yang beruntung”.
(QS. Al Hasyr [59]: 9)
4) Al Sabr
Al Sabr
secara etimologi berarti tabah hati. Dalam Mu’jam
Maqayis Al Lughah disebutkan bahwa kata sabar memiliki tiga arti yaitu
menahan, sesuatu yang paling tinggi dan jenis bebatuan. Menurut terminologi
adalah menahan jiwa dari segala apa tidak
disukai baik itu berupa kesenangan dan larangan untuk mendapatkan ridha Allah.
Dalam perspektif tasawuf Al sabr
berarti menjaga menjaga adab pada musibah
yang menimpanya, selalu tabah dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi
segala laranganNya serta tabah menghadapi segala peristiwa. Sabar merupakan
kunci sukses orang beriman. Sabar itu seperdua dari iman karena iman terdiri
dari dua bagian. Setengahnya adalah sabar dan setengahnya lagi syukur baik itu
ketika bahagia maupun dalam keadaan susah. Makna Al Sabr menurut ahli sufi pada dasarnya sama yaitu sikap menahan diri terhadap apa yang
menimpanya.
Ibn
‘Ata’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar terhadap perkara haram, sabar
terhadap kewajiban, dan sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan
usaha.
Sabar
terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. Sabar terhadap
kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan keharusan untuk menyembah kepada
Allah. Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah akan
melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu sabar yang menuntut salik untuk
meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya.
Sabar
bukanlah suatu maqam yang diperoleh melalui usaha manusia sendiri. Namun, sabar
adalah suatu anugerah yang diberikan Allah kepada salik dan orang-orang yang
dipilih-Nya. Maqam sabar itu dilandasi oleh keimanan yang sempurna terhadap
kepastian dan ketentuan Allah, serta menanggalkan segala bentuk perencanaan
(angan-angan) dan usaha.
÷É9ô¹$#ur $tBur x8çö9|¹ wÎ) «!$$Î/ 4 wur ÷btøtrB óOÎgøn=tæ wur Ûs? Îû 9,ø|Ê $£JÏiB crãà6ôJt
“ bersabarlah (hai Muhammad SAW) dan
Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu
bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada
terhadap apa yang mereka tipu dayakan.” (QS. An
Nahl [16]: 127)
Untuk
lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Shabr
a) Sabar
dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan seperti musibah, bencana, atau
kesusahan.
Adapun
contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan oleh istri dan
anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah lagi dengan harta
bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
b) Sabar
dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Adapun
contohnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah SWT menguji
kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan Siti Zulaikha,
seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan kesabaran dan keteguhan
iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini dengan selamat. Padahal, saat itu
Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana pun sangat mendukung untuk melakukan
maksiat.
c) Sabar
dalam menjalankan ketaatan.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi
Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas
perintah Allah, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya sendiri.
Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas perintah-Nya.
5)
Syukur
Syukur secara terminology
berasal dari kata bahasa Arab, syakara
yang berarti membuka segala nikmat,
yakni gambaran dalam benak tetang nikmat
dan menampakkannya ke permukaan. Syukur berarti rasa terima kasih atas
nikmat yang telah diberikan, sembari menggunakan nikmat tersebut di jalan yang
diridhai Allah SWT. Syukur tersusun dari ilmu, hal, dan amal perbuatan. Ilmu
berarti mengetahui nikmat yang diberikan dan pemberi nikmat. Hal berarti
gembira atas nikmat yang telah diberikan.
Syukur dalam
pandangan Ibn ‘Ata’illah terbagi menjadi 3 macam; pertama shukur dengan lisan,
yaitu mengungkapkan secara lisan, menceritakan nikmat yang didapat. Kedua,
shukur dengan anggota tubuh, yaitu shukur yang diimplementasikan dalam bentuk
ketaatan. Ketiga, shukur dengan hati, yaitu dengan mengakui bahwa hanya Allah
Sang Pemberi Nikmat, segala bentuk kenikmatan yang diperoleh dari manusia
semata-mata dari-Nya.
Dengan
akal ini manusia dapat berpikir, berangan-angan, dan berkehendak. Sehingga
manusia memiliki potensi untuk mengangan-angankan dan menginginkan suatu bentuk
kenikmatan yang akan diberikan oleh Allah. Hal inilah yang harus ditiadakan
dalam pengejawantahan syukur.
øÎ)ur c©r's? öNä3/u ûÈõs9 óOè?öx6x© öNä3¯RyÎV{ (
ûÈõs9ur ÷Länöxÿ2 ¨bÎ) Î1#xtã ÓÏt±s9
“dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu
memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya
azab-Ku sangat pedih".(QS. Ibrahim : 7)
6)
Tawakkal
Tawakkal
bermakna berserah diri. Tawakkal dalam tasawuf dijadikan washilah untuk memalingkan dan
menyucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan
keduniaan serta apa saja selain Allah. Pada dasarnya makna atau konsep tawakkal
dalam dunia tasawuf berbeda dengan konsep agama. Tawakkal menurut para sufi bersifat fatalis/majbur yakni menggantungkan segala sesuatu pada takdir dan
kehendak Allah. Syekh Abdul Qadir Jailany menyebut dalam kitabnya bahwa semua
yang menjadi ketentuan Tuhan sempurna adanya, sungguh tidak berakhlak seorang
jika ia meminta lebih dari yang telah ditentukan Allah.
`tBur È,Gt ©!$# @yèøgs ¼ã&©! %[`tøxC ÇËÈ çmø%ãötur ô`ÏB ß]øym w Ü=Å¡tFøts 4 `tBur ö@©.uqtGt n?tã «!$# uqßgsù ÿ¼çmç7ó¡ym 4 ¨bÎ) ©!$# à÷Î=»t/ ¾ÍnÌøBr& 4 ôs% @yèy_ ª!$# Èe@ä3Ï9 &äóÓx« #Yôs% ÇÌÈ
“… Barangsiapa bertakwa kepada Allah
niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari
arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada
Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah
melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. At Thalaaq
[65]: 2-3)
@è% `©9 !$uZu;ÅÁã wÎ) $tB |=tF2 ª!$# $uZs9 uqèd $uZ9s9öqtB 4 n?tãur «!$# È@2uqtGuù=sù cqãZÏB÷sßJø9$#
“ Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan
menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah
pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus
bertawakal." (QS. At Taubah [9]: 51)
7)
Ridha
Ridha
berarti sebuah sikap menerima dengan lapang dada dan senang terhadap apapun
keputusan Allah kepada seorang hamba, meskipun hal tersebut menyenangkan atau
tidak. Sikap ridha merupakan buah
dari kesungguhan seseorang dalam menahan hawa nafsunya.
Imam
Gazali mengatakan bahwa hakikat ridha adalah
tatkala hati senantiasa dalam keadaan sibuk mengingatnya. Berdasarkan
pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa seluruh aktivitas kehidupan manusia
hendaknya selalu berada dalam kerangka mencari keridhaan Allah.
Orang
yang ridha terhadap ketentuan dan
kepastian Allah, dia akan menjadikan Allah sebagai penuntun dalam segala
urusannya, dia akan berpegang teguh kepada-Nya, dan yakin bahwa Dia akan
menentukan yang terbaik bagi dirinya.
tA$s% ª!$# #x»yd ãPöqt ßìxÿZt tûüÏ%Ï»¢Á9$# öNßgè%ôϹ 4 öNçlm; ×M»¨Yy_ ÌøgrB `ÏB $ygÏFøtrB ã»yg÷RF{$# tûïÏ$Î#»yz !$pkÏù #Yt/r& 4 zÓÅ̧ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊuur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºs ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÊÒÈ
“ Allah berfirman: "Ini adalah suatu
hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar kebenaran mereka. bagi mereka
surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya; Allah ridha terhadapNya. Itulah keberuntungan yang paling besar".(QS.
Al Maaidah [5]: 119)
Untuk
lebih jelasnya berikut diketengahkan contoh Ridla
Segala
sesuatu yang menimpa kita adalah kehendak-Nya. Tugas kita sebagai manusia
hanyalah berusaha dan bertawakal kepada-Nya. Kita selayaknya senantiasa
bersikap ridha kepada qadha dan qadarn-Nya walaupun terkadang pahit dan
menyakitkan. Sikap ridha adalah cerminan kepatuhan hamba kepada Penciptanya.
Apapun bentuk pemberian-Nya merupakan yang terbaik untuk kita.
2. Al Ahwal
a. Pengertian Al Ahwal
Al ahwal bentuk jamak dari kata dalam bahasa Arab hal, biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (menthal states) yang dialami
oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Ibn Arabi menyebut hal
sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu waktu dan tidak
pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’.
Eksistensinya bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi
tersebut tidak lagi ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami
dan dirasakan oleh orang yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan
dengan ungkapan kata.
b. Tingkatan Al Ahwal
Menurut Al Thusi sebagai item yang termasuk di dalam
kategori hal yaitu: Al Murâqabat (rasa selalu diawasi oleh
Tuhan), Al Qurb (perasaan dekat
kepada Tuhan), Al Mahabbat (rasa
cinta kepada Tuhan), Khauf wa Rajâ’
(rasa takut dan pengharapan kepada Tuhan), Al
Dzauq (rasa rindu), Al Uns (rasa
berteman), Al Thuma’ninah (rasa
tenteram), Al Musyâhadat (perasaan
menyaksikan Tuhan dengan mata hati), dan Al
Yaqîn (rasa yakin).
1) Muraqabah
Muraqabah dalam tradisi
sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaan
konsentrasi dan waspada. Sehingga segala daya pikir dan imajinasinya tertuju
pada satu fokus kesadaran tentang dirinya. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan
antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia.
Muraqabah
merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku
peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan kata lain muraqabah juga dapat diartikan sebagai kondisi kejiwaan, di
mana seorang individu senantiasa merasa kehadiran Allah, serta menyadari
sepenuhnya bahwa Allah selalu mengawasi segenap perilaku hambanya. Dengan
kesadaran semacam ini, seorang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk
tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.
2) Mahabbah
Mahabbah mengandung arti
keteguhan dan kemantapan. Seorang yang sedang dilanda rasa cinta pada sesuatu
tidak akan beralih atau berpaling pada sesuatu yang lain. Ia senantiasa teguh
dan mantap serta senantiasa mengingat dan memikirkan yang dicinta. Al Junaidi
ketika ditanya tentang cinta menyatakan seorang yang dilanda cinta akan
dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, hingga tak satupun yang tertinggal,
kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya
sendiri.
Dilihat dari segi orangnya, menurut Abu Nashr Al Thusi, cinta kepada
Tuhan terbagi menjadi tiga macam cinta. Pertama, cinta orang-orang awam.
Cinta seperti
ini muncul karena kebaikan dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Ciri-ciri
cinta ini adalah ketulusan dan keteringatan (zikir) yang terus-menerus.
Karena jika orang mencintai sesuatu, maka ia pun akan sering mengingat dan
menyebutnya.
Kedua, cinta orang-orang yang shadiq dan mutahaqqiq. Cinta mereka
ini timbul karena penglihatan mata hati mereka terhadap kekayaan, keagungan,
kebesaran, pengetahuan dan kekuasaan Tuhan. Ciri-ciri cinta ini adalah
“terkoyaknya tabir” dan “tersingkapnya rahasia” Tuhan. Selain itu, ciri lain
adalah lenyapnya kehendak serta hilangnya semua sifat (kemanusiaan dan
keinginan duniawi).
Ketiga, cinta orang-orang shiddiq dan arif. Cinta macam ini timbul
dari penglihatan dan pengenalan mereka terhadap ke-qadim-an Cinta Tuhan tanpa
sebab (illat) apapun.
3) Khauf
Al
Qusyairi mengemukakan bahwa khauf terkait dengan kejadian yang akan datang.
Yakni akibat datangnya sesuatu yang dibenci dan sirnanya sesuatu yang dicintai.
Takut kepada Allah berarti takut terhadap hukum-hukumnya baik di dunia maupun
di akhirat. Sebagaimana firman Allah
xsù öNèdqèù$ys? Èbqèù%s{ur bÎ) LäêZä. tûüÏZÏB÷sB
“… karena itu janganlah kamu takut kepada
mereka, tetapi takutlah kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman.”(QS Ali Imran [3]: 175)
4nû$yftFs? öNßgç/qãZã_ Ç`tã ÆìÅ_$ÒyJø9$# tbqããôt öNåk®5u $]ùöqyz $YèyJsÛur $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã
Seorang
yang diliputi perasaan takut hanya akan melakukan tindakan yang seharusnya ia
lakukan untuk kebaikan dalam jangka panjang ke depan, bukan sekedar karena
keinginan-keinginan nafsunya atau karena kepentingan sesaat. Seorang yang khauf
akan berfikiran jauh ke depan.
4) Raja’
Raja’ adalah keterikatan
hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al
Qusyairi membedakan antara harapan dengan angan-angan (tamanni). Raja’
bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seseorang yang mengharapkan
sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan
harapan-harapannya. Sementara orang yang mengangan-angankan sesuatu hanya
berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannyauntuk
mendapatkan yang diangan-angankannya.
Harapan
akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala
aktifitasnya, serta menghilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan
demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh kayakinan.
5) Syauq
Rindu
(syauq) merupakan luapan perasaan
seseorang individu yang mengharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu
yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan
segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seorang hamba yang dilanda
kerinduan kepada Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh
karenanya sebagai bukti dari perasaan rindu adalah terbebasnya diri seseorang
dari hawa nafsu.
Secara
psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala
aktifitas baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu,
sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Dan tidak
akan tergoyahkan dengan segala keinginan yang semu yang dapat mengalihkan
perhatian dan konsentrasinya. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala
hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala
tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa
keraguan atau kecemasan.
6) Uns
Perasaan
suka cita (uns) merupakan kondisi
kejiwaan, di mana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Atau dengan
pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran. Seseorang yang ada
pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan
serta suka cita yang meluap-luap. Kondisi kejiwaan seperti ini dialami oleh
seorang sufi ketika merasakan kedekatan dengan Allah. Yang mana, hati dan
perasaannya diliputi oleh cinta, kelmbutan serta kasih sayang yang luar biasa,
sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.
Keadaan
seperti ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam situasi tertentu, misalnya
ketika menikmati keindahan alam, keluasan bacaan atau merdunya alunan musik,
yang mana dalam situasi tersebut seorang sufi benar-benar merasakan keindahan
Allah. Tentu saja antara antara individu satu dengan yang lain memiliki
pengalamannya sendiri-sendiri dengan muatan dan rasa yang bersifat pribadi,
sehingga tidak dapat digambarkan dengan jelas oleh orang lain.
7) Tuma’ninah
Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketentraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT,
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (٢٧)ارْجِعِي
إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (٢٨)فَادْخُلِي فِي عِبَادِي (٢٩)وَادْخُلِي
جَنَّتِي (٣٠)
27. Hai jiwa yang tenang. 28. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. 29. Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku, 30. masuklah ke dalam syurga-Ku. (QS. Al Fajr [89]: 27-30).
Ibnu
Qayim membagi tuma’ninah dalam tiga
tingkatan: pertama, ketenangan hati dengan mengingat Allah. Kedua, ketentraman
jiwa pada kashf, ketentraman perindu
pada batas penantian. Ketiga, ketentraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan
kasihnya. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. Menurut
pandangan sejumlah sufi, fana’ adalah
gugurnya sifat-sifat tercela, sedangkan baqa’
adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
8) Musyahadah
Musyahadah adalah
kehadiran Al Haqq dengan tanpa
dibayangkan. Menurut Al Junaid, orang
yang ada pada puncak musyahadah kalbunya senantiasa dipenuhi oleh cahaya
ketuhanan, sehingga ibarat kilatan cahaya di malam hari yang tiada putus sama
sekali, sehinggga malampun laksana siang yang nikmat.
9) Yaqin
Al Yaqin dalam terminologi
sufi adalah merupakan perpaduan antara ‘ilmu
al yaqin, ’ain al yaqin dan haqq al
yaqin. ‘Ilm al Yaqin adalah
sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. sedangkan ‘Ain al Yaqin, sesuatu yang ada dengan disertai kejelasan. Haqq al Yaqin adalah sesuatu yang ada
dengan sifat-sifat yang menyertai kenyataannya. ‘Ilm al Yaqin, dibutuhkan untuk mereka yang cenderung rasional. ‘Ain al Yaqin bagi para ilmuwan.
Sedangkan haqq al Yaqin bagi
orang-orang yang ma’rifah.
Jadi,
Al Yaqin adalah sebuah kepercayaan
yang kuat dan tak tergoyahkan tentang kebenaran pengetahuan yang dimiliki,
karena penyaksiannya dengan segenap jiwanya dan dirasakan oleh seluruh
ekspresinya, serta disaksikan oleh segenap eksistensinya.
H. Peranan Tasawuf dalam Kehidupan Modern
Prof. Zakiah Darajat, dalam bukunya Peranan Agama Dalam Kesehatan
Mental, menyatakan bahwa fungsi agama
adalah :
1.
Agama memberikan bimbingan bagi
manusia dalam mengendalikan dorongan-dorongan sebagai konsekwensi dari
pertumbuhan fisik dan psikis seseorang.
2.
Agama dapat memberikan terapi mental
bagi manusia dalam menghadapi kesukaran-kesukaran dalam hidup. Seperti
pada saat menghadapi kekecewaan-kekecewaan yang kadang dapat menggelisahkan
bathin dan dapat membuat orang putus asa. Disini agama berperan
mengembalikan kesadaran kepada sang pencipta.
3.
Agama sebagai pengendali moral,
terutama pada masyarakat yang mengahadapi problematika etis, seperti prilaku
sex bebas.
Akhlak tasawuf merupakan solusi tepat dalam mengatasi krisis-krisis
akibat modernisasi untuk melepaskan dahaga dan memperoleh kesegaran dalam
mencari Tuhan. Intisari ajaran tasawuf adalah bertujuan memperoleh hubungan
langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa dengan
kesadarannya iu brrada di hadirat-Nya. Tasawuf perlu dikembangkan dan
disosialisasikan kepada masyarakat dengan beberapa tujuan, antara lain:
1.
Menyelamatkan kemanusiaan dari
kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat kurangnya
nilai-nilai spiritual.
2.
Memahami tentang aspek asoteris
islam, baik terhadap masyarakat Muslim maupun non Muslim.
3.
Menegaskan kembali bahwa aspek
asoteris islam (tasawuf) adalah jantung ajaran islam.
Tarikat atau jalan rohani (path of soul) merupakan dimensi
kedalaman dan kerahasiaan dalam islam sebagaimana syariat bersumber dari
Al-Quran dan As-Sunnah. Betapapun ia tetap menjadi sumber kehidupan yang paling
dalam, yang mengatur seluruh organisme keagamaan dalam islam. Ajaran dalam
tasawuf memberikan solusi bagi kita untuk menghadapi krisis-krisis dunia.
Seperti ajaran tawakkal pada Tuhan, menyebabkan manusia memiliki pegangan yang
kokoh, karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada
Tuhan.
Selanjutnya sikap frustasi dapat diatasi dengan sikap ridla. Yaitu
selalu pasrah dan menerima terhadap segala keputusan Tuhan. Sikap materialistik
dan hedonistik dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud. Demikan pula
ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf. Yaitu mengasingkan diri dari
terperangkap oleh tipu daya keduniaan. Ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf
perlu disuntikkan ke dalam seluruh konsep kehidupan. Ilmu pengetahuan,
teknologi, ekonomi, sosial, politik, kebudayaan dan lain sebagainya perlu
dilandasi ajaran akhlak tasawuf.
Mempelajari
tasawuf membawa manfaat yang sangat banyak dalam kehidupan ini, baik
secara individu, masyarakat, bangsa dan negara.
Para Sufi sangat menyadari betul akan siapa dirinya dan
bagaimana posisinya dihadapan Tuhan dan mereka sudah mampu menguasai hawa nafsu
mereka, sehingga dengan demikian segala apa yang mereka lakukan selalu berada
dalam koridor kepatuhan, ketaatan dan ketundukan kepada Allah swt. dengan penuh
keridhaan, kecintaan dan mereka pun diridhai dan dicintai oleh Allah, bahkan Allah
mengundang mereka kesebuah perjamuan yang sangat indah. “Wahai jiwa yang
tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka
masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
(QS. Al-Fajr [89]: 27-30). Orang-orang yang diundang oleh Allah tentunya tidak
sembarang orang tetapi yang diundang adalah mereka yang sudah sampai ketingkat
(maqam) insan kamil (manusia paripurna) yang
didalam diri mereka sudah tercermin sifat-sifat Tuhan.
Tujuan
akhir dari ajaran tasauf adalah untuk mendekatkan diri seorang hamba
kapada Allah sebagai Khaliknya melalui riyadhah melewati
stasiun-stasiun atau maqamat-maqamat tertentu, dengan selalu
mensucikan jiwa (nafs) lahir dan bathin dalam upaya mempersiapkan diri
menggapai ma’rifatullah sampai pada tingkat bertemu dan menyatu dengan
Allah menuju kehidpan yang abadi.
Apabila
seseorang mengalami kebingunagan, kebimbangan, dan kehampaan dalam mengahrungi
bahtera kehidupan ini karena mengahadapi berbagai problem dan permasalah
silakan kembali kepada agama sesegera mungkin, insyaallah agama akan memberikan
solusi yang terbaik bagi umatnya. Kehampaan spiritual yang di alami orang-orang
Barat, karena disebabkan paradigma perdaban yang mereka bangun dari awal telah
menyatakan adanya pemisahan antara sains dan agama, padahal seharunya keduanya
harus saling bersinergi. Tasauf Islam tidak menafikan sains, bahkan tasauf
Islam banyak menyumbangkan pemikiran dalam bidang filsafat, sastra, musik,
tarian, psikologi, dan sains modren. Dalam konteks ajaran Islam, untuk
mengatasi keterasingan jiwa manusia dan membebaskan dari derita keterasingan,
justru harus menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir, Tuhan yang Maha Wujud dan
Maha Absolut.
I.
Teladan Sufi Nabi dan Sahabat
1. Pengalaman Sufi
Nabi Muhamaad. SAW
Dalam sejarah Islam, Muhammad SAW SAW
dikenal sebagai pioner yang memiliki peran terpenting dalam proses tumbuh dan
berkembangnya khazanah sufisme Islam dari satu generasi ke generasi yang lain.
Kaum zuhâd atau kaum sufi sejak masa permulaan Islam dalam menjalani
aktivitas sufistik mereka selalu merujuk pada Muhammad SAW sebagai mursyid
tertinggi dalam Islam. Bahkan, kaum sufi sendiri menganggap Nabi SAW. sebagai
sosok manusia sempurna (al-insân al-kâmil) sekaligus mursyid tertinggi
yang harus dijadikan teladan (uswah hasanah) dalam perjalanan sufistik
mereka menuju kepada Yang Haq (Allah). Itulah sebabnya, dalam tulisan ini
penulis tertarik memaparkan kajian seputar pengalaman sufistik Muhammad SAW SAW
dengan beragam macamnya itu dengan pendekatan normative-historis.
Keparipurnaannya sebagai seorang nabi
telah tercermin melalui beberapa sifat luhur dan keistimewaan spiritual yang
terhimpun dalam dirinya.
Pertama, kehormatan nasabnya
dari suku Quraisy yang merupakan keturunan dari Isma’il ibn Ibrahim, tanda
kenabian yang terdapat di antara kedua pundaknya, penampakan wajah, dan
bentuknya yang memancarkan sinar kejujuran dan kenabiannya.
Kedua, sifat
dan akhlaknya yang terpuji; seperti sifat kasih sayang, sabar, rendah hati, dan
jujur. Ketiga, tanda-tanda
kenabian dan pengalaman sufistik tertinggi yang telah dialirkan oleh Allah SWT
kepadanya, seperti benda-benda padat bisa berbicara kepadanya, dapat menambah
makanan dan minuman, membelah bulan; dan yang paling agung dan abadi adalah
memperoleh wahyu serta menjalani mi’raj untuk bertemu dan berdialog dengan
Allah SWT.
Keempat,
doanya dikabulkan setiap kali Nabi memohon untuk seseorang atau umatnya.
a.
Pengalaman
Khalwat di Gua Hira
Mendekati usia 40 tahun, mulailah
tumbuh pada diri Muhammad SAW SAW kecenderungan untuk melakukan uzlah (menjauhi
pergaulan masyarakat ramai). Uzlah yang dilakukan Muhammad SAW SAW menjelang
dinobatkan sebagai rasul ini memiliki makna dan mengandung pelajaran yang
sangat besar dalam kehidupan yakni merasakan pengawasan Tuhan dan merenungkan
fenomena-fenomena atau gejala alam semesta yang menjadi bukti keagungan-Nya.
Dari aktivitas uzlah ini, dapat
diambil suatu pelajaran bahwa setiap jiwa manusia memiliki sejumlah penyakit
yang tidak dapat dibersihkan kecuali dengan cara uzlah. Sifat sombong, ujub,
hasud, riya, dan cinta dunia merupakan penyakit yang dapat menguasai
jiwa, merusak hati nurani, sekalipun secara lahiriah seseorang terlihat melakukan
amal-amal saleh. Di samping itu, dengan khalwah seseorang dapat sampai
pada mahabbah (mencintai) kepada Allah SWT. Tafakkur, perenungan, banyak
mengingat keagungan Allah, nampaknya dapat diwujudkan melalui cara khalwah.
Khalwah ini sekaligus menjadi sarana untuk menciptakan dorongan-dorongan
spiritual di dalam hati; seperti rasa takut, cinta, dan penuh harap, yang bisa
menjadi motivasi kuat dalam keimanan maupun keislaman seseorang. Tetapi khalwah
di sini bukan dipahami sebagai tindakan meninggalkan sama sekali pergaulan
sesama manusia dengan hidup secara terasing. Karena khalwah yang
dilakukan Muhammad SAW bersifat temporer, menurut kadar tertentu, dan sebagai
pencarian obat untuk memperbaiki keadaan.
b.
Kebenaran
Mimpi Nabi SAW (ar ru’yâ as sâdiqah)
Mimpi yang benar juga dipandang oleh
Nabi SAW sebagai suatu peristiwa yang dapat terjadi pada manusia muslim pada
umumnya. Bahkan, Muhammad SAW SAW sendiri memandang mimpi yang benar merupakan
bagian dari empat puluh juz kenabian. Sekaligus sebagai nikmat dari Allah SWT
kepada orang muslim yang menerimanya dan juga pengganti dari sifat kenabian
yang telah dicabut setelah Nabi Muhammad SAW.
Pengalaman sufistik ini sama halnya
dengan pengalaman mimpi yang dialami Nabi Ibrahim ketika ia mendapat perintah
dari Allah SWT untuk mengorbankan putranya, Ismail. Pengalaman sufistik ini
merupakan fenomena umum yang terjadi di kalangan para nabi terdahulu agar
hatinya tenang sebagai persiapan mental untuk mengalami pewahyuan dalam kondisi
sadar.
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi menuturkan sebuah mimpi kepada
pamannya. Nabi berkata, “Wahai paman,
orang (malaikat) yang telah saya tuturkan kemarin kepadamu memasukkan tangannya
ke dalam perutku sehingga aku merasakan hawa dinginnya”. Ibn Umar
meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bercerita, “Suatu saat saya sedang tidur, tiba-tiba saya diberi satu gelas air
susu, lalu saya meminum sebagiannya, dan sisanya saya berikan kepada Umar ibn
Khaththab”. Para sahabat lalu bertanya, “Apakah
yang kamu tafsirkan wahai Rasul?” Nabi menjawab, “ilmu”.
c. Masalah wahyu
yang turun kepada Nabi SAW
Nabi Muhammad SAW, SAW., dalam
konteks ini, telah mengalami pengalaman pewahyuan dari Allah SWT melalui dua
bentuk; langsung dari Allah SWT dan melalui perantara malaikat Jibril. Pada
cara yang pertama, Nabi SAW memperoleh pengalaman pewahyuan itu dari Tuhan
secara langsung, tidak melalui malaikat Jibril, di antaranya mimpi yang benar
di waktu tidur. Bentuk lain dari penyampaian wahyu model ini ialah kalam Allah
SWT yang diterima dari balik hijab tanpa melalui perantara dan dalam
keadaan terjaga. Wahyu model ini, menurut ulama Islam, terjadi pada Nabi SAW di
malam isrâ’-mi’râj.
Contoh wahyu Allah SWT yang
diturunkan melalui malaikat Jibril tatkala Nabi sedang bertahanuth di
gua Hira dan memperoleh wahyu Al Qur’an yang pertama kali. Dalam pengalaman
sufistik itu, ia melihat Malaikat Jibril tampil menutupi keluasan cakrawala.
Pengalaman sufistik ini dapat dilihat dan didengar. Malaikat itu memerintahkan
Muhammad SAW untuk melafalkan iqra’ yang dalam bahasa Arab adalah bentuk
kalimat perintah dari kata kerja qara’a yang artinya “membaca” (untuk
meneliti). Oleh karena itu, bab pertama (surah) dari Al Qur’an adalah Al
Alaq ayat 1-5 diwahyukan kepada umat manusia.
Selama dua puluh tiga tahun sampai
meninggal, kapan saja wahyu datang Nabi selalu merasakan tekanan yang berat.
Beliau akan berkeringat hebat dan andaikan beliau sedang naik unta atau naik
kuda, maka hewan-hewan itu akan terbungkuk di bawah tekanan firman yang turun
dari atas. Nabi Muhammad SAW pernah berkata, “Aku tidak pernah menerima wahyu dalam kesadaran yang lengkap dengan
rohku karena ia sedang dihilangkan dariku”.
d.
Pengalaman
Isra’ Mi’raj
Pengalaman spiritual penting itu
adalah perjalanan Nabi pada malam hari naik ke langit untuk menghadap kepada
Allah SWT. Nabi Muhammad SAW secara mukjizat dibawa dari Mekkah ke Jerussalem
dan dari sana melakukan mi’râj atau naik ke seluruh tingkat sampai
mencapai jagat yang paling ujung (sidrat-ul muntaha) bahkan jauh lagi di
atas itu yaitu tiba pada hadirat Allah SWT, yang digambarkan sebagai lingkungan
“berjarak dua busur panah”. Dalam perjalanan itu, ia menunggang kuda mistik; buraq
dan didampingi oleh malaikat Jibril. Al Qur’an mengungkapkan perjalanan
malam ini dengan mengatakan “Maha suci Allah
SWT, yang membawa perjalanan hamba- Nya malam hari dari Masjid Al Haram ke
Masjid Al Aqsha, yang Kami berkati sekitarnya untuk memperlihatkan kepadanya
beberapa tanda (kebesaran) Kami. Sungguh Dia itu Maha Mendengar, yang Maha
Melihat.”
Pengalaman sufistik Nabi Muhammad SAW
yang demikian penting dan terpusat pada kedalaman spiritual merupakan contoh
kualitas spiritual tertinggi dan teladan bagi kedalaman kehidupan beragama.
“Malam kenaikan” disejawatkan dengan “malam kekuasaan”, karena Al Qur’an juga diwahyukan
pada bagian penghujung akhir bulan suci Ramadhan. Pengalaman isrâ’ mi’râj itu,
secara sufistik merupakan pengalaman rohaniah tertinggi yang menunjukkan
terpilihnya Muhammad SAW oleh Allah untuk mushâhadah dengan-Nya. Bagi
para sufi, pengalaman itu merupakan pengalaman mistik paling agung dari Nabi
Muhammad SAW.
2. Pengalaman Sufi
Sahabat
a.
Abu Bakar Ash Shiddiq
Abu
Bakar r.a adalah salah seorang ahli syuga,
Nabi sendiri pernah memberi berita gembira kepada beliau tentang
kedudukan beliau di dalam syurga. Bahkan diberitahu bahawa beliau akan menjadi
ketua kepada satu kumpulan ahli syurga. Semua pintu syurga akan menyeru dan
memanggil nama beliau.
Banyak
orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi,
sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada
yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka
menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar.
Sebaliknya Abu Bakr, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak
pernah ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak,
penuh pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan.
Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang paling
mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang. Demi
kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama masalah
hidup duniawi. Apabila kebenaran itu sudah dijunjung
tinggi, maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang
teguh pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia
menghadapi semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang
deras mengalir.
Rabi'ah
Aslami r.a menceritakan, "Pernah sekali berlaku pertengkaran antara saya
dengan Hazrat Abu Bakar r.a kerana sesuatu perkara. Beliau telah mengatakan
sesuatu yang kasar terhadap saya yang saya tidak suka. Beliau segera menyedari
keadaan itu dan berkata kepada saya, "Engkau pun katakanlah perkataan itu
kepada saya supaya menjadi balasan terhadap saya.
Demikian
itulah sifat ketakutan Hazrat Abu Bakar r.a kepada Allah. Beliau begitu risau
dan mengambil berat tentang satu perkataan yang remeh sehingga pada mulanya
beliau sendiri yang meminta supaya dibalasi dan kemudian dengan perantaraan
Rasulullah s.a.w, beliau ingin supaya Rabi'ah r.a mengambil tindakan balas.
b. Umar Bin Khattab
Suatu
hari Amiril Mukminin Umar bin Khaththab r.a. dikirimi harta yang banyak. Beliau
memanggil salah seorang pembatu yang berada di dekatnya. “Ambillah harta ini
dan pergilah ke rumah Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu berikan uang tersebut.
Setelah itu berhentilah sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang ia lakukan
dengan harta tersebut,” begitu perintah Umar kepadanya.
Rupanya
Umar ingin melihat bagaimana Abu Ubaidah menggunakan hartanya. Ketika pembantu Umar
sampai di rumah Abu Ubadah, ia berkata, “Amirul Mukminin mengirimkan harta ini
untuk Anda, dan beliau juga berpesan kepada Anda, ‘Silakan pergunakan harta ini
untuk memenuhi kebutuhan hidup apa saja yang Anda kehendaki’.”
Abu
Ubaidah berkata, “Semoga Allah
mengaruniainya keselamatan dan kasih sayang. Semoga Allah membalasnya dengan
pahala yang berlipat.” Kemudian ia berdiri dan memanggil hamba sahaya
wanitanya. “Kemarilah. Bantu aku
membagi-bagikan harta ini!.” Lalu mereka mulai membagi-bagikan harta pemberian
Umar itu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan dari kaum
muslimin, sampai seluruh harta ini habis diinfakkan.
Pembantu
Umar pun kembali pulang. Umar pun memberinya uang sebesar empat ratus dirham
seraya berkata, “Berikan harta ini kepada
Muadz bin Jabal!” Umar ingin melihat apa yang dilakukan Muadz dengan harta
itu. Maka, berangkatlah si pembantu menuju rumah Muadz bin Jabal dan berhenti
sesaat di rumahnya untuk melihat apa yang dilakukan Muadz terhadap harta
tersebut.
Muadz
memanggil hamba sahayanya. “Kemarilah,
bantu aku membagi-bagikan harta ini!” Lalu Muadz pun membagi-bagikan
hartanya kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan dari kalangan kaum
muslimin hingga harta itu habis sama sekali di bagi-bagikan. Ketika itu istri
Muadz melihat dari dalam rumah, lalu berkata, “Demi Allah, aku juga miskin.” Muadz berkata, “Ambillah dua dirham saja.”
Pembantu
Umar pun pulang. Untuk ketiga kalinya Umar memberi empat ribu dirham, lalu
berkata, “Pergilah ke tempat Saad bin Abi
Waqqash!” Ternyata Saad pun melakukan apa yang dilakukan oleh dua sahabat
sebelumnya. Pulanglah sang pembantu kepada Umar. Kemudian Umar menangis dan
berkata, “Alhamdulillah, segala puji
syukur bagi Allah.”
c.
Usman Bin
Affan
Dalam
kitab Al Thabaqat, Taj-ul Subki menceritakan bahwa ada seorang
laki-laki bertamu kepada Utsman. Laki-laki tersebut baru saja bertemu dengan
seorang perempuan di tengah jalan, lalu ia menghayalkannya. Utsman berkata
kepada laki-laki itu, "Aku melihat
ada bekas zina di matamu." Laki-laki itu bertanya, "Apakah wahyu masih diturunkan sctelah
Rasulullah Saw wafat?" Utsman menjawab, "Tidak, ini adalah firasat seorang mukmin." Utsman r.a.
mengatakan hal tersebut untuk mendidik dan menegur laki-laki itu agar tidak
mengulangi apa yang telah dilakukannya.
Selanjutnya
Taj-ul Subki menjelaskan bahwa bila seseorang hatinya jernih, maka ia
akan melihat dengan nur Allah, sehingga ia bisa mengetahui apakah yang
dilihatnya itu kotor atau bersih. Maqam orang-orang seperti itu berbeda-beda.
Ada yang mengetahui bahwa yang dilihatnya itu kotor tetapi ia tidak mengetahui
sebabnya. Ada yang maqamnya lebih tinggi karena mengetahui sebab kotornya,
seperti Utsman r.a. Ketika ada seorang
laki-laki datang kepadanya, Utsman dapat
melihat bahwa hati orang itu kotor dan mengetahui sebabnya yakni karena
menghayalkan seorang perempuan.
Sekecil
apa pun kemaksiatan akan membuat hati kotor sesuai kadar kemaksiatan itu.
Kotoran itu bisa dibersihkan dengan memohon ampun (istighfar) atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menghilangkannya.
Hal tersebut hanya diketahui oleh orang yang memiliki mata batin yang tajam
seperti Utsman bin Affan, sehingga ia bisa mengetahui kotoran hati meskipun
kecil, karena menghayalkan seorang perempuan merupakan dosa yang paling ringan,
Utsman dapat melihat kotoran hati itu dan mengetahui sebabnya. Ini adalah maqam
paling tinggi di antara maqam-maqam lainnya.
d. Ali Bin Abi
Thalib
Ali
bin Abi Thalib ra, selain dalam kehidupan pribadinya, ia adalah orang yang
zuhud (sederhana dalam hidup), beliau memandang bahwa zuhud bagi penguasa
merupakan sesuatu yang penting dan wajib. Beliau berkata, “Allah menjadikanku sebagai imam dan pemimpin dan aku melihat perlunya
aku hidup seperti orang miskin dalam berpakian, makan, dan minum sehingga
orang-orang miskin mengikuti kemiskinanku dan orang-orang kaya tidak berbuat
yang berlebihan.”
Ali
bin Abi Thalib memakai pakaian yang keras, yang dibelinya seharga lima dirham.
Pakaian itu bertambal sehingga dikatakan, “Wahai
Imam Ali! Pakaian apa yang engkau kenakan?” Beliau berkata, “Pakaian yang menjadi contoh bagi Mukminin
menjadi penyebab khusyuknya hati dan tawadhu’, menyampaikan manusia kepada
tujuan, merupakan syiar orang saleh, dan tidak menyebabkan kesombongan.
Alangkah baiknya kalau Muslimin mencontohnya.
J. Kesimpulan
1.
Tasawuf ialah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa pada kesungguhan amal
untuk menjauhkan keduniaan/ zuhud untuk melakukan pendekatan dari pada Allah SWT.
2.
Posisi Tasawuf
terhadap ilmu-ilmu Islam lainnya sangat jelas dan gamblang. Tasawuf merupakan
bagian tak berpisahkan dari keseluruhan bangunan Syari’ah; bahkan ia merupakan
ruh/hakikat/inti dari syariah.
3. Perkembangan tasawuf
pada abad
pertama dan kedua hijriyah disebut sebagai fase kezuhudan. Baru pada abad
ketiga dan keempat hujriyah disebut sebagai fase tasawuf kemudian pada abad kelima hijriyah dikenal sebagai fase
konsolidasi yakni memperkuat tasawuf dengan dasarnya yang asli yaitu al-Qur`an
dan al-Hadits atau yang sering disebut dengan tasawuf sunny yakni
tasawuf yang sesuai dengan tradisi (sunnah) Nabi dan para sahabatnya.
Dan pada abad keenam hijriyah muncultasawuf falsafi yakni tasawuf yang
memadukan antara rasa (dzauq) dan rasio (akal), tasawuf bercampur dengan
filsafat.
4. Tasawuf
menurut para ahli terbagi dalam tasawuf akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf Falsafi
a. Tasawuf
akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak
yakni takhalli,
tajalli
dan tahalli
b. Pengalaman
tasawuf amali dibagi kedalam empat bidang yakni syari’at, thariqot,
hakikat,
dan ma’rifat
c. Pengalaman
tasawuf falsafi diantaranya dilakukan dengan hulul, wahdah Al-wujud dan ittihad
Comments
Post a Comment