Etika
berasal dari bahasa Yunani ethos, yang berarti tempat tinggal yang biasa,
padang rumpt, kandang; kebiasaan, adat; watak; perasaan, sikap, cara berpikir.
dalam bentuk jamak ta etha artinya adat kebiasaan. Dalam arti terakhir inilah
terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan
filsafat moral. Etika berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu
tentang adat kebiasaan. Ada juga kata moral dari bahasa Latin yang artinya sama
dengan etika.
Secara
istilah etika memunyai tiga arti: pertama, nilai-nilai dan norma-norma moral
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya. Arti ini bisa disebut sistem nilai. Misalnya etika Protestan, etika
Islam, etika suku Indoan. Kedua, etika berarti kumpulan asas atau nilai moral
(kode etik). Misalnya kode etik kedokteran, kode etik peneliti, dll. Ketiga,
etika berati ilmu tentang yang baik atau buruk. Etika menjadi ilmu bila
kemungkinan-kemungkinan etis menjadi bahan refleksi bagi suau penelitian
sistematis dan metodis. Di sini sama artinya dengan filsafat moral.
Amoral
berarti tidak berkaitan dengan moral, netral etis. Immoral berarti tidak
bermoral, tidak etis. Etika berbeda dengan etiket. Yang terakhir ini berasal
dari kata Inggris etiquette, yang berarti sopan santun. Perbedaan keduanya
cukup tajam, antara lain: etiket menyangkut cara suatu perbuatan harus
dilakukan, etika menunjukkan norma tentang perbuatan itu. Etiket hanya berlaku
dalam pergaulan, etika berlaku baik baik saat sendiri maupun dalam kaitannya
dengan lingkup sosial. etiket bersifat relatif, tergantung pada kebudayaan,
etika lebih absolut. Etiket hanya berkaitan dengan segi lahiriyah, etika
menyangkut segi batiniah.
Moralitas
merupakan suatu fenomena manusiawi yang universal, menjadi ciri yang membedakan
manusia dari binatang. Pada binatang tidak ada kesadaran tentang baik dan
buruk, yang boleh dan yang dilarang, tentang yang harus dan tidak pantas
dilakukan. Keharusan memunyai dua macam arti: keharusan alamiah (terjadi dengan
sendirinya sesuai hukum alam) dan keharusan moral (hukum yang mewajibkan
manusia melakukan atau tidak melakukan sesuatu).
Macam-macam
etika
a. Etika
deskriptif
Hanya
melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas, misalnya adat kebiasaan suatu
kelompok, tanpa memberikan penilaian. Etika deskriptif memelajari moralitas
yang terdapat pada kebudayaan tertentu, dalam periode tertentu. Etika ini
dijalankan oleh ilmu-ilmu sosial: antropologi, sosiologi, psikologi, dll, jadi
termasuk ilmu empiris, bukan filsafat.
b. Etika
normatif
Etika
yang tidak hanya melukiskan, melainkan melakukan penilaian (preskriptif:
memerintahkan). Untuk itu ia mengadakan argumentasi, alasan-alasan mengapa
sesuatu dianggap baik atau buruk. Etika normatif dibagi menjadi dua, etika umum
yang memermasalahkan tema-tema umum, dan etika khusus yang menerapkan
prinsip-prinsip etis ke dalam wilayah manusia yang khusus, misalnya masalah
kedokteran, penelitian. Etika khusus disebut juga etika terapan.
c. Meta
etika
Meta
berati melampaui atau melebihi. Yang dibahas bukanlah moralitas secara
langsung, melainkan ucapan-ucapan kita di bidang moralitas. Metaetika bergerak
pada tataran bahasa, atau memelajari logika khusus dari ucapan-ucapan etis.
Metaetika dapat ditempatkan dalam wilayah filsafat analitis, dengan pelopornya
antara lain filsuf Inggris George Moore (1873-1958). Filsafat analitis
menganggap analisis bahasa sebagai bagian terpenting, bahkan satu-satunya,
tugas filsafat.
Salah
satu masalah yang ramai dibicarakan dalam metaetika adalah the is/ought
question, yaitu apakah ucapan normatif dapat diturunkan dari ucapan faktual.
Kalau sesuatu merupakan kenyataan (is), apakah dari situ dapat disimpulkan
bahwa sesuatu harus atau boleh dilakukan (ought).
Dalam
dunia modern terdapat terutama tiga situasi etis yang menonjol. Pertama,
pluralisme moral, yang timbul berkat globalisasi dan teknologi komunikasi.
Bagaimana seseorang dari suatu kebudayaan harus berperilaku dalam kebudayaan
lain. ini menyangkut lingkup pribadi. Kedua, masalah etis baru yang dulu tidak
terduga, terutama yang dibangkitkan oleh adanya temuan-temuan dalam teknologi,
misalnya dalam biomedis. Ketiga, adanya kepedulian etis yang universal,
misalnya dengan dideklarasikannya HAM oleh PBB pada 10 Desember 1948.
Moral dan
Hukum
Hukum
dijiwai oleh moralitas. Dalam kekaisaran Roma terdapat pepatah quid leges sine
moribus (apa arti undang-undang tanpa moralitas?). Moral juga membutuhkan hukum
agar tidak mengawang-awang saja dan agar berakar kuat dalam kehidupan
masyarakat.
Sedikitnya
ada empat perbedaan antara moral dan hukum. Pertama, hukum lebih dikodifikasi
daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara sistematis disusun dalam
undang-undang. Karena itu hukum memunyai kepastian lebih besar dan lebih
objektif. Sebaliknya, moral lebih subjektif dan perlu banyak diskusi untuk
menentukan etis tidaknya suatu perbuatan. Kedua, hukum membatasi diri pada
tingkah laku lahiriah, sedangkan moral menyangkut juga aspek batiniah. Ketiga,
sanksi dalam hukum dapat dipaksakan, misalnya orang yang mencuri dipenjara.
Sedangkan moral sanksinya lebih bersifat ke dalam, misalnya hati nurani yang
tidak tenang, biarpun perbuatan itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau
perbuatan tidak baik itu diketahui umum, sanksinya akan lebih berat, misalnya
rasa malu. Keempat, hukum dapat diputuskan atas kehendak masyarakat dan
akhirnya atas kehendak negara. Tetapi moralitas tidak dapat diputuskan
baik-buruknya oleh masyarakat. Moral menilai hukum dan bukan sebaliknya.
[Disarikan
dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, h. 3-45]
2 Teori Etika: Utilitarisme dan Deontologi
Salah
satu cabang filsafat yaitu filsafat moral. Tampaknya filsafat moral tidak
begitu lazim terdengar di telinga dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari
jarang sekali yang menyebut filsafat moral tetapi etika. Benar,
nama lain dari filsafat moral adalah etika. Jadi tidak usah dibingungkan
dengan apa perbedaan filsafat moral dengan etika karena perbedaannya hanya
terletak pada tulisannya saja. Pada tulisan sebelumnya sudah dibedakan antara
etika dengan etiket, jadi silakan terlebih dahulu membaca Definisi
Etika: Pengenalan Terhadap Filsafat Moral.
Ada
2 teori besar etika yang harus diketahui dan dipelajari terlebih dahulu sebelum
masuk ke dalam kasus nyata yang erat dengan persoalan etika. Pembelajaran teori
etika terlebih dahulu berguna untuk memperoleh kemudahan dalam mengupas
persoalan etika. Jadi akan tahu betul teori etika apa yang sebaiknya digunakan
untuk meninjau suatu kasus.
Utilitarisme
Teori
ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf Inggris bernama John
Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Sesuai dengan
namanya utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis
yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang
menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang
paling banyak membawa kebahagiaan bagi banyak orang.
Dikaitkan
dengan demokrasi tampaknya teori ini erat kaitannya. Dalam pemilihan suara pada
Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas demokrasi, calon
presiden dengan suara terbanyak adalah presiden yang memenangkan pemilu. Meski
pun perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja calon yang memperoleh suara
terbanyak akan menang. Demikian pula dengan implementasi utilitarisme
Meski
pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara
teoritis tidak memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik
hanya diperoleh dari manfaat terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan
ada orang yang dikorbankan? Anggap saja ada anjing gila, anjing tersebut suka
menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan anjing tersebut dibunuh
sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan menjawab
tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan?
Apakah mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus
di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal
ini terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada
sejarah diskriminasi ras mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan
diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun 1997 tampaknya tidak terdengar asing
lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan karena mereka
minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini
dibenarkan selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik
kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan.
Salah satunya adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan
ala utilitaris ini dapat berlaku sebagai tinjauan atas keputusan yang akan
diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada kebanyakan adalah angka-angka, jadi
keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah terbanyak bagi manfaat
terbanyak.
Teori
ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil
atas tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi
yang akan diambil.
Deontologi
Teori
deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru
mulai diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh
filsuf Jerman yaitu Immanuel
Kant.
kata
deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas
kelihatan bahwa teori deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu
perbuatan akan baik jika didasari atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama
melakukan kewajiban berarti sudah melakukan kebaikan. Deontologi tidak terpasak
pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi melaksanakan terlebih
dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang
mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.
Lalu
apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefinisikannya namun
pemberian contoh mempermudah dalam memahaminya. Misalnya, tidak boleh menghina,
membantu orang tua, membayar hutang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang
bisa diterima secara universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh
menghina orang? Tidak boleh, apakah boleh membantu orang tua? Tentu itu harus.
Semua orang bisa terima bahwa berbohong adalah buruk dan membantu orang tua
adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang dimaksud.
Jika
dibandingkan dengan utilitarisme coba perhatikan lagi contoh anjing yang akan
dieksekusi karena voting terbanyak mengatakan demikian. Dalam deontologi tidak
demikian, jumlah terbanyak bukanlah ukuran yang menentukan kebaikan tetapi
prinsiplah yang menentukan yaitu prinsip bahwa pembunuhan adalah perbuatan
buruk dan bagaimana pun juga anjing itu tidak boleh dibunuh
Socrates
FILSAFAT ETIKA DAN MORAL KANT
Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Emipirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme --logis-- dan idealisme. Tulisan ini hanya sedikit rangkuman tentang filsafat etika dan moral Imanuel Kant, karena saya sendiri masih 'mau' belajar tentang filsafatnya, dan selalu tidak ada waktu saja untuk itu :-( Tapi lain kali akan saya update tulisan ini. Du kannst, denn du sollst! Kita wajib, karena kita bisa (melakukannya)! Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat sebelum kritisme harus dianggap sebagai dogmatisme, sebab filsafat itu percaya ,mentah mentah pada kemampuan rasaio tanpa penyelidikan terlebih dahulu.
Pemutarbalikan Kopernikan (Kopernikanische Wende): "Sebelum Kant: kebenaran dimengerti sebagai "pencocokan intelek terhadap realitas" (adaequatio intellectus ad rem), sejak Kant kebenaran itu lebih merupakan "pencocokan realitas terhadap intelek" (adaequatio rei ad intellectum) "Objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek untuk diproses menjadi pengetahuan, bukan subjek (manusia, "aku") mengarahkan diri pada objek (benda, "dunia") Inggris: Englightenment Perancis: Illuminism (?) Jerman: Aufkl Arung Semboyan: Sapere Aude! (Beranilah berfikir sendiri) Horace, filsuf Romawi Gerakan Pietisme di Jerman Doa tidak perlu karena toh Tuhan sudah tau kebutuhan dan isi hati kita. Gereja sejati tidak berada dalam organisasi mamna pun atau dalam ajaran-ajaran teologi, melainkan dio dalam hati orang yang percaya dan shaleh. Tingkah laku shaleh (baik) daripada ajaran teologis. Adanya Allah, berkehendak bebas, dan kebaaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis, melainkan perlu diterima sebagai postulat budi praktis (praktishen vernunft)-yakni sebagai Idea-yang menyangkut kewajiban kita menaati hukum moral (Sittengesetz) Rasionalisme: Leibniz & Wolff Adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi (rasio).
Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan akal budi; akal budi sendiri tidak memerlukan pengalaman. Akal budi dapat menurunkan kebenaran2 dari dirinya sendiri, yakni berdasarkan azas-azas yang pertama dan pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Monade: bersifat metafisik, 3 macam monade Empirisme: Hume (empeiria=pengalaman nyata, bhs.Yunani) Pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahirian maupun pengalaman batiniah. Akal budi bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Kesan-kesan (impression) Pengertian-pengertian atu idea-idea (ideas) ' diperoleh secara tidak langsung daripengalaman "kepercayaan" (belief) ' skepsisisme Hume: tidak pernah dicapai suatu kepastian, yang ada kemungkinan Pandangan Hume thd manusia: "Aku" bukanlah substansi, melainkan "serangkaian atau kumpulan kesan-kesan yang silih berganti dengan kecepatan yang tak terbayangkan". Tidak ada "Aku" yang berdiri sendiri; yang bisa dijumpai adalah "Aku yang marah", "Aku yang sakit", "Aku yang kedinginan" Kausalitas (prinsip sebab-akibat): pengulangan berkali-kali pengalaman serupa, hanya memperlihatkan urutan-urutan gejala Critique of Pure Reason 3 macam putusan:
1. Putusan analitis: di sini predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat didalamnya (misalnya: lingkaran adalah bulat).
2. Putusan sistesis aposteriori: di sini predkat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, misalnya pernyataan "Meja itu bagus".
3. Putusan sistesis a priori: di sini dipakai suatu sumber [engetahuan yang kendati bersifat sistensis, namun toh bersifat a priori juga. Misalnya, putusan berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya" Hirarki proses pengetahuan manusia:
1. Tingkat penyerapan inderawi (Sinneswahrnehmung), tingkat yang paling rendah Ruang dan waktu adalah a priori sensibilitas, sudah berakar dalam struktur subjek
2. Tingkat akal budi (Verstand) yang berhubungan dengan realitas empiris 12 kategori2 yang merupakan ide-ide baawaan/ bersifat asasi, yang menunjukan Kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan) Kualitas (realitas, negasi, pembatasan) Relasi (substansi dan aksidens, sebabakibat atau kausalitas, interaksi) Modalitas (mungkin/mustahil, ada.tiada, keperluan/kebetulan)
3. Tingkat budi atau intelek (Verfnunft) Idea (Idee) paham metafisik yang absolut yang sama sekali lebas dari unsur2 empiris 3 Idea transendenta, tidak bisa diketahui oleh pengalaman karena berada dalam dunia noumenal (noumenon, bukan pahinomenon, bhs. Yunani), merupakan postulat-postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada diluar jangkauan pembuktian teoritis-empiris:
1. Idea psikologis (jiwa)
2. Idea kosmologis (dunia)
3. Idea teologis (Allah)
FILSAFAT ETIKA DAN MORAL KANT
Imanuel Kant, terkenal dengan filsafat kritisnya yang lebih banyak berbicara tentang filsafat moral dan etika. Dia merupakan tokoh penting karena dia bisa disebut sebagai pemersatu antara filsafat Rasionalisme dan Emipirisme. Tapi ternyata usahanya untuk menyatukan keduanya terpecah kembali sehingga sekarang kita kenal filsafat positivisme --logis-- dan idealisme. Tulisan ini hanya sedikit rangkuman tentang filsafat etika dan moral Imanuel Kant, karena saya sendiri masih 'mau' belajar tentang filsafatnya, dan selalu tidak ada waktu saja untuk itu :-( Tapi lain kali akan saya update tulisan ini. Du kannst, denn du sollst! Kita wajib, karena kita bisa (melakukannya)! Filsafat kritis adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan rasio dan batas-batasnya. Filsafat sebelum kritisme harus dianggap sebagai dogmatisme, sebab filsafat itu percaya ,mentah mentah pada kemampuan rasaio tanpa penyelidikan terlebih dahulu.
Pemutarbalikan Kopernikan (Kopernikanische Wende): "Sebelum Kant: kebenaran dimengerti sebagai "pencocokan intelek terhadap realitas" (adaequatio intellectus ad rem), sejak Kant kebenaran itu lebih merupakan "pencocokan realitas terhadap intelek" (adaequatio rei ad intellectum) "Objeklah yang mengarahkan diri kepada subjek untuk diproses menjadi pengetahuan, bukan subjek (manusia, "aku") mengarahkan diri pada objek (benda, "dunia") Inggris: Englightenment Perancis: Illuminism (?) Jerman: Aufkl Arung Semboyan: Sapere Aude! (Beranilah berfikir sendiri) Horace, filsuf Romawi Gerakan Pietisme di Jerman Doa tidak perlu karena toh Tuhan sudah tau kebutuhan dan isi hati kita. Gereja sejati tidak berada dalam organisasi mamna pun atau dalam ajaran-ajaran teologi, melainkan dio dalam hati orang yang percaya dan shaleh. Tingkah laku shaleh (baik) daripada ajaran teologis. Adanya Allah, berkehendak bebas, dan kebaaan jiwa tidak bisa dibuktikan secara teoritis, melainkan perlu diterima sebagai postulat budi praktis (praktishen vernunft)-yakni sebagai Idea-yang menyangkut kewajiban kita menaati hukum moral (Sittengesetz) Rasionalisme: Leibniz & Wolff Adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan sejati adalah akal budi (rasio).
Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapatkan akal budi; akal budi sendiri tidak memerlukan pengalaman. Akal budi dapat menurunkan kebenaran2 dari dirinya sendiri, yakni berdasarkan azas-azas yang pertama dan pasti. Metode kerjanya bersifat deduktif. Monade: bersifat metafisik, 3 macam monade Empirisme: Hume (empeiria=pengalaman nyata, bhs.Yunani) Pengalamanlah yang menjadi sumber utama pengetahuan, baik pengalaman lahirian maupun pengalaman batiniah. Akal budi bukan sumber pengetahuan, tetapi ia bertugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman menjadi pengetahuan. Metodenya bersifat induktif. Kesan-kesan (impression) Pengertian-pengertian atu idea-idea (ideas) ' diperoleh secara tidak langsung daripengalaman "kepercayaan" (belief) ' skepsisisme Hume: tidak pernah dicapai suatu kepastian, yang ada kemungkinan Pandangan Hume thd manusia: "Aku" bukanlah substansi, melainkan "serangkaian atau kumpulan kesan-kesan yang silih berganti dengan kecepatan yang tak terbayangkan". Tidak ada "Aku" yang berdiri sendiri; yang bisa dijumpai adalah "Aku yang marah", "Aku yang sakit", "Aku yang kedinginan" Kausalitas (prinsip sebab-akibat): pengulangan berkali-kali pengalaman serupa, hanya memperlihatkan urutan-urutan gejala Critique of Pure Reason 3 macam putusan:
1. Putusan analitis: di sini predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat didalamnya (misalnya: lingkaran adalah bulat).
2. Putusan sistesis aposteriori: di sini predkat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi, misalnya pernyataan "Meja itu bagus".
3. Putusan sistesis a priori: di sini dipakai suatu sumber [engetahuan yang kendati bersifat sistensis, namun toh bersifat a priori juga. Misalnya, putusan berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya" Hirarki proses pengetahuan manusia:
1. Tingkat penyerapan inderawi (Sinneswahrnehmung), tingkat yang paling rendah Ruang dan waktu adalah a priori sensibilitas, sudah berakar dalam struktur subjek
2. Tingkat akal budi (Verstand) yang berhubungan dengan realitas empiris 12 kategori2 yang merupakan ide-ide baawaan/ bersifat asasi, yang menunjukan Kuantitas (kesatuan, kejamakan, keutuhan) Kualitas (realitas, negasi, pembatasan) Relasi (substansi dan aksidens, sebabakibat atau kausalitas, interaksi) Modalitas (mungkin/mustahil, ada.tiada, keperluan/kebetulan)
3. Tingkat budi atau intelek (Verfnunft) Idea (Idee) paham metafisik yang absolut yang sama sekali lebas dari unsur2 empiris 3 Idea transendenta, tidak bisa diketahui oleh pengalaman karena berada dalam dunia noumenal (noumenon, bukan pahinomenon, bhs. Yunani), merupakan postulat-postulat atau aksioma-aksioma epistemologis yang berada diluar jangkauan pembuktian teoritis-empiris:
1. Idea psikologis (jiwa)
2. Idea kosmologis (dunia)
3. Idea teologis (Allah)
Mengenal
filsafat etika
Alkisah,
seorang gadis cantik tengah dilanda kebingungan. Betapa tidak, ia dihadapkan pada dua
pilihan yang sangat sulit. Kalau memilih pilihan pertama, ia tidak sampai hati
mengabaikan pilihan kedua.
Namun,
seandainya ia memilih yang kedua, ia pun tidak tega untuk meninggalkan pilihan
pertama. Kedua pilihan tersebut sama baiknya, sama bermanfaatnya, nyaris
sama bobotnya, namun bertolak belakang. Pilihan pertama, ia harus menikah dengan lelaki pilihan orangtuanya.
Lelaki
ini tidak sembarangan, ia mapan, pintar, taat
beragama, lumayan ganteng, dan berasal dari keluarga terhormat
pula. Orangtua si gadis tidak memberi alternatif lain, selain ia harus
menikah dengan pilihan mereka.
Padahal,
pada saat yang bersamaan, si gadis sudah memiliki calon yang sangat
dicintainya. Walau tidak semapan lelaki pertama, ia sudah merasa cocok dengan pilihannya tersebut. Bahkan, di
antara mereka sudah terucap janji setia untuk segera melangkah ke pelaminan.
Pilihan
manakah yang terbaik? Kedua-duanya terlihat baik. Menikah adalah kebaikan,
bernilai ibadah malah, patuh kepada orangtua pun juga baik. Namun, pada sisi
lain, memegang teguh janji yang sudah terucap tidak kalah pula kebaikannya.
Sudah cukup dikatakan buruk ketika seorang kekasih mengkhianati kekasihnya!
Sejatinya,
si gadis cantik dalam
kisah ini, tengah mengalami permasalahan etika. Ia dituntut untuk memilih dua
hal yang sama baiknya, sama etisnya, akan tetapi saling bertentangan sehingga
salah satu di antaranya harus dikorbankan. Dengan demikian, manakah yang
terbaik?
Apakah
baik mengkhianati cinta demi berbakti kepada orangtua? Atau, mengorbankan perasaan orangtua
demi membahagiakan sang kekasih?
Pada hakikatnya, sejak dahulu hingga sekarang, manusia senantiasa
bertanya tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Betapa tidak, selama
hidupnya ia selalu di hadapkan pada pilihan-pilihan etis yang seringkali tidak
bisa dijawab oleh agama dan ilmu
pengetahuan.
Inilah yang kemudian melahirkan sebuah aliran dalam filsafat yang disebut filsafat etika. Sederhananya, etika adalah sebuah aliran filsafat yang berusaha
memecahkan persoalan tentang perbuatan yang baik dan yang buruk.
Dalam sejarah perkembangan ilmu, aliran etika merupakan aliran pertama dalam filsafat, dengam Socrates
-sang mahaguru para filsuf- sebagai pelopornya. Ada dua pertanyaan penting yang
mendasari filsafat etika, yaitu:
2.
Bagaimana
kita bertingkah laku? How should we act?
Pada perkembangan selanjutnya, pembahasan dalam filsafat etika berkutat
pada tiga “rukun iman” yang senantiasa ada dalam sebuah perbuatan, sebagai jawaban dari dua pertanyaan inti tersebut, yaitu:
1.
Pelaku
atau orang yang melakukan tindakan (agent)
2.
Tindakan
atau kelakuan (deontologis)
Apa maksudnya? Menurut para penganut rukun yang pertama, sesuatu itu
dikatakan baik dan benar kalau dilakukan oleh orang-orang yang baik. Jadi, baik
dan buruk sangat ditentukan oleh pelaku atau subjek.
Rukun pertama etika ini kemudian melahirkan aliran-aliran dalam
etika, di antaranya legalisme (etika hukum), bahwa baik dan buruk ditentukan
sepenuhnya oleh hukum.
Hal ini berbeda dengan penganut rukun etika yang kedua. Menurut mereka
baik dan benar sangat didasarkan pada tindakan atau perbuatan itu sendiri,
bahwa perbuatan yang baik itu sudah baik dari sananya, terlepas dari siapa
pelakunya dan apa akibatnya.
Berlaku jujur itu adalah baik dan ia tidak bisa diganggu gugat. Menolong
orang itu merupakan sebuah kebaikan, baik itu dilakukan oleh seorang pencuri
maupun seorang kiai.
Rukun kedua etika ini kemudian melahirkan beberapa aliran etika, semacam virtue ethics yang menyatakan
bahwa benar dan salah itu didasarkan pada perbuatan-perbuatan yang bisa membawa
orang menjadi lebih baik.
Adapun menurut rukun etika yang ketiga, baik dan benarnya suatu perbuatan didasarkan pada akibat
yang ditimbulkannya. Suatu perbuatan dianggap baik apabila membawa akibat
(konsekuensi) yang baik dan menguntungkan.
Sebaliknya, suatu perbuatan dianggap buruk apabila membawa akibat yang
buruk dan tidak menguntungkan -baik bagi diri sendiri maupun orang banyak. Rukun etika
yang ketiga ini melahirkan aliran-aliran semacam egoisme, emotivisme,
hedonisme.
Ketiganya menekankan pada kebaikan, kepuasan diri, dan utilitarianism
yang menyatakan bahwa suatu perbuatan disebut baik kalau membawa manfaat bagi
sebanyak-banyaknya orang.
Comments
Post a Comment