1.
PENDAHULUAN
Islam merupakan
salah satu agama samawi yang meletakkan nilai-nilai kemanusiaan atau hubungan
personal, interpersonal dan masyarakat secara Agung dan Luhur, tidak ada
perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian, yang mengikat semua
aspek manusia. Karena islam yang berakar pada kata salima dapat diartikan sebagai sebuah
kedamaian yang hadir dalam diri manusia dan memposisikan dirinya sebagai mahluk
ciptaan tuhan yang bukan saja unik tapi juga sempurna. Namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan
tidak berjalan seiring fitnah maka janji tuhan azab dan keinahan akan dating.
Tegaknya aktifitas keislaman dalam hidup dan kehidupan seorang itulah yang
dapat menerangkan bahwaorang itu memiliki akhlak jika seorang sudah memahami
akhlak maka akan menghasilkan kebiasaan hidup yang baik.
1.PERMASALAHAN
1. Bagaiamana pengertian akhlak?
2. Bagaiaman dasar dari Akhlak ?
3. Bagaiamana ruang lingkup pembahasan
akhlak ?
.
2.
PEMBAHASAN
1. pengertian akhlak
Istilah akhlak
adalah istilah bahasa Arab. Kata akhlak merupakan kata jamak dari bentuk
tunggal khuluk, yang pengertian umumnya: perilaku, baik itu perilaku terpuji
maupun tercela.
Kata akhlak, jika
diurai secara bahasa berasal dari rangkaian huruf-huruf kha-la-qa, jika
digabung (khalaqa) berarti menciptakan. Ini mengingatkan kita pada kata
Al-Khaliq yaitu Allah Swt. Dan kata makhluk, yaitu seluruh alam yang Allah
ciptakan. Maka kata akhlak tidak bisa dipisahkan dengan Al-Khaliq (Allah) dan
mahluk. Akhlak berarti sebuah perilaku yang muatanya “ menghubungkan” antara
hamba dengan Allah Swt. Sang khaliq.
Dalam tinjauan
istilah, beberapa ulama telah menyebutkannya. Yang telah masyhur adalah
definisi yang diberikan oleh imam Ghazali berikut:
“khuluq adalah kondisi jiwa yang telah tertanam kuat,
yang darinya terlahir sikap amal secara mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan
pertimbangan”
Di tengah
masyarakat, kita sering mendapatkan orang yang berperilaku kasar, menyakiti
hati orang lain, menipu, dan lain-lain perilaku buruk yang bertentangan dengan
nilai-nilai moral islam. Kita mengatakan bahwa perilaku itu adalah perilaku
yang tidak islami atau jahili. Sebaliknya, kita juga sering mendapatkan
seseorang yang berperilaku lembut. Bijak, dan secara umum sejalan dengan
nilai-nilai islam, lalu kita menyebutkannya bahwa orang itu berakhlak islami.
Dengan kata lain,
perilaku atau akhlak sesungguhnya merupakan aktualisasi dari prinsip nilai atau
keyakinan dari seseorang.
Namun demikian,
seringkali orang tertipu dengan hanya melihat perilaku baik secara lahir.
Adakalanya seseorang berperilaku demikian terpuji dan tampak sangat islami.
Akan tetapi beberapa waktu kemudian diketahui bahwa perilaku yang ditunjukkan
itu hanyalah sebuah taktik dan strategi belaka untuk mendapatkan simpati orang
lain, agar mudah untuk melakukan kejahatan yang tidak mereka duga.
Jika demikian,
berarti tidak semua perilaku yang secara lahiriyah tampak islami bisa serta
merta disebut akhlak islam. Maka dari itu, kita perlu mengetahui, bagaimana
sebuah akhlak atau perilaku bisa disebut sebagai islami atau terpuji dalam
islam.
Definisi akhlak
oleh imam Ghazali di atas menggambarkan sebuah akhlak secara umum. Intuk
menjadi islami, maka iman harus mendasarinya. Karena sebuah amal secara umum
bisa disebut islmai jika memenuhi dua syarat : dilakukan karena Allah dan tidak
bertentangan dengan ajaran Allah. Sebuah akhlak yang islami berarti juga
perilaku yang didorong oleh iman dan keluar dari jiwa seseorang Mukmin. Dengan
kata lain, sebuah akhlak disebut islami maka harus memenuhi syarat-syarat
berikut:
1. Kondisi jiwa yang tertanam kuat
Ini berkaiatan
dengan nilai-nilai atau prinsip yang telah secara kukuh tertanam dalam jiwa
seseorang. Jika pelakunya adalah seorang muslim maka nilai-nilai yang tertanam
adalah nilai Islam, yang berasaskan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
2. Melahirkan sikap amal
Kita bisa
mengatakan untuk yang pertama, bahwa kebaikan memang diakui oleh semua orang
dan fitrah yang bersih pasti mengakuinya, apapun keyakinan agamanya. Sehingga
perilaku yang baik bisa ditunjukksn oleh siapa saja, termasuk orang yang tidak
beriman. Hati nurani, milik siapa pun, tidak bisa dipungkiri pasti cinta kepada
kebaikan dan hal-hal yang terpuji. Hanya saja, ketika motivasi perilaku terpuji
itu bukan karena keimanan kepada Allah maka kita tidak menganggapnya sebagai
perilaku islami.
Sedangkan yang
kedua, kita berprasangka baik bahwa ia sedang lalai, atau kemuslimannya memang
perlu ditingkatkan sehingga nilai-nilai yang dianut bisa benar-benar tertancap
kuat dalam hati sanubarinya. Keimanan memang bisa mengalami fluktuasi.
Terkadang kuat dan terkadang lemah. Pada saat lemah inilah kemungkinan seorang
Muslim bisa berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keimanannya. Maka, sebuah
perilaku hanya disebut islami jika lahir dari pribadi Muslim, dari suasana jiwa
yang penuh keimanan.
3. Tanpa butuh pemikiran dan pertimbangan
Poin ini
menjelaskan bahwa akhlak merupakan akhtualisasi dari sikap batin seseorang.
Jadi, seseorang Muslim tidak harus dituntun atau disuruh untuk mengerjakan
hal-hal yang islami ketika nilai-nilai islam telah tertanam kuat dalam kalbu.
Perilaku islami telah menjadi karakter seorang Muslim sejati. Karena perilaku
itu telah menjadi karakter, maka pelakunya tidak peduli ketika perilaku
islaminya tidak direspon positif oleh orang lain. Ia tidak kecil hati
karenanya. Demikian juga, ia tidak merasa ujub ketiak perilaku islaminya
disanjung-sanjung orang lain. Ia menganggap biasa saja pujian orang
terhadapnya. Baginya cukup bahawa Allah menganugerahinya ridha. Jika pun di
dunia ada tanggapan dan apresiasi yang positif dari orang lain, maka itu bisa
jadi balasan Allah yang spontan diberikan di dunia. Harapan yang sesungguhnya
adalah pahala Allah yang kelak akan dianugerahkan Allah di akhirat.[1]
Dengan ini kita
mengerti bahwa budi itu sifat jiwa yang tidak kelihatan. Adapun akhlak yang
kelihatan itu ialah kelakuan atau muamalah. Kelakuan ialah gambaran dan bukti
adanya akhlak, maka bila kita melihat orang yang memberi dengan tetap didalam
keadaan yang serupa, menunjukkan kepada kita akan adanya akhlak dermawan dalam
jiwanya. Adapun perbuatan yang terjadi satu atau dua kali, tidak menunjukkan
akhlak. Aristoteles menguatkan bentukan adat kebiasaan yang baik, yakni dalam
membentuk akhlak yang tetap yang timbul dari padanya perbuatan –perbuatan yang
baik dengan terus menerus. Sebagaimana pohon dikenal dengan buahnya, demikian
juga akhlak yang baik diketahui dengan perbuatan yang baik yang timbul dengan
teratur.[2]
2. Dasar Akhlak
Dalam ajaran Islam yang menjadi dasar-dasar akhlak
adalah berupa al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw. Baik dan buruk dalam
akhlak Islam ukurannya adalah baik dan buruk menurut kedua sumber itu, bukan
baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia,
maka baik dan buruk itu bisa berbeda-beda.[3]Seseorang
mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain belum tentu menganggapnya
baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk, padahal
yang lain bisa saja menyebutnya baik.
Semua ummat Islam sepakat pada kedua dasar pokok itu
(al-Quran dan Sunnah) sebagai dalil naqli yang tinggal mentransfernya dari
Allah Swt, dan Rasulullah Saw. Keduanya hingga sekarang masih terjaga
keautentikannya, kecuali Sunnah Nabi yang memang dalam perkembangannya banyak
ditemukan hadis-hadis yang tidak benar (dha’if/palsu).
Melalui
kedua sumber inilah kita dapat memahami bahwa sifat sabar, tawakkal, syukur,
pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, kita
juga memahami bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq, ujub, takabur, dan hasad
merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan mengenai
nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan nilai
yang berbeda-beda. Namun demikian, Islam tidak menafikan adanya standar lain
selain al-Quran dan Sunnah untuk menentukan baik dan buruknya akhlak manusia.
Selain itu standar lain yang dapat dijadikan untuk
menentukan baik dan buruk adalah akal dan nurani manusia serta pandangan umum
masyarakat.Islam adalah agama yang sangat mementingkan Akhlak dari pada masalah-masalah
lain. Karena misi Nabi Muhammad diutus untuk menyempurnakan Akhlak. Manusia
dengan hati nuraninya dapat juga menentukan ukuran baik dan buruk, sebab Allah
memberikan potensi dasar kepada manusia berupa tauhid. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunananak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?”
Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.”
(QS.
al-A’raf: 72).
Prinsip Akhlak dalam Islam terletak pada Moral
Force. Moral Force Akhlak Islam adalah terletak pada iman sebagai Internal
Power yang dimiliki oleh setiap orang mukmin yang berfungsi sebagai motor
penggerak dan motivasi terbentuknya kehendak untuk merefleksikan dalam tata
rasa, tata karsa, dan tata karya yang kongkret. Dalam hubungan ini Rosulullah
Saw, bersabda:
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.
Dan sebaik-baik diantara kamu ialah yang paling baik kepada istrinya”
Selain itu yang menjadi dasar pijakan Akhlak adalah Iman,
Islam, dan Islam. Al-Qur’an menggambarkan bahwa setiap orang yang beriman
itu niscaya memiliki akhlak yang mulia yang diandaikan seperti pohon iman yang
indah hal ini dapat dilihat pada surat Ibrahim ayat 24, yang berbunyi:
Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah
membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh
dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap
musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk
manusia supaya mereka selalu ingat. Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti
pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi;
tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun. Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang
beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat;
dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia
kehendaki”.
Dari ayat diatas dapat kita ambil contoh bahwa ciri
khas orang yang beriman adalah indah perangainya dan santun tutur katanya,
tegar dan teguh pendirian (tidak terombang ambing), mengayomi atau melindungi
sesama, mengerjakan buah amal yang dapat dinikmati oleh lingkungan. Namun
disisi lain, sebenarnya masih banyak teori-teori yang berbicara mengenai
dasar-dasar akhlak dengan menafikan pemikiran Islam, seperti relativisme
akhlak. Yang mana berkat pembuktian realisme, maka kemutlakan akhlak adalah
pendapat yang sahih dan relativisme akhlak tidak dapat diterima.[4]
Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa, kita akan
memanen apa yang kita tanam. Dari ungkapan tersebut dapat kita tarik benang
merah, bahwasannya apa yang kita lakukan tidak ada hubungannya dengan sesuatu
diluar diri kta, karena hubungan perbuatan kita berhubungan langsung dengan
Tuhan. Tanpa ada pihak ke-3. Oleh karena itulah dasar Ahklak memerlukan Disipln
Moral.
Kant, filosof Jerman berpendapat bahwa Rasio
Spekulatif, yaitu agen didalam mekanisme tidak bernilai tinggi; namun rasio
praktis, yaitu agen dari pelaksanaan hal-hal praktis, yang juga dimaknai
sebagai “kesadaran akhlak” memiliki kegunaan yang pasti dan printah-printahnya
bersifat mengikat.[5] Dan
hal ini sering di maknai sebagai “kesadaran akhlak”.
3. Ruang Lingkup Akhlak
Dengan
memperhatikan definisi pembahasan ilmu akhlak secara sesama maka akan tampak
bahwa ruang lingkup pembahasan ilmu akhlak adalah tenttsng perbuatan-perbuatan
manusia serta katagorisasinya apakah suatu perbuatan tergolong baik atau buruk
maka obyek pembahasan ilmu akhlak itu berkaitan dengan norma atau penilaian
terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh sseorang.untuk menilai sesuatu
baik atau buruk,maka kita menggunakan ukuran yang bersifat normatif. Untuk
menilai sesuatu benar atau salah maka kita menggunakan kalkulasi yang dilakukn
akal pikiran.
Pembahasan
dalam ilmu akhlak pada intinya adalah perbuatan manusia. Berbuatan tersebut
selanjutnya ditentukan kriterianya apakah baik atau buruk kaitanya dengan hal
ini ahmad amin menyatakan”obyek ilmu akhlak adalah membahas perbuatan
manusia,lalu menentukanya mana yang baik dan mana yang buruk.
Pendapat
diatas menunjukkan dengan jelas bahwa obyek pembahasan ilmu akhlak adalah
perbuatan manusia untuk selanjutnya dikemukakan oleh Muhammad Al-Ghazali.
Menurutnya kawasan pembahasan ilmu akhlak adalah seluruh aspek kehidupan
manusia,baik sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok.
Jika kita bandingkan pengertian akhlak yang kedua dengan pengertian
yang pertama tampak bahwa pada pengertian ilmu akhlak yang kedua ini tidak
hanya terbatas pada tingkah laku individual melainkan juga tingkah laku bersifat
sosial. Dengan demikian terdapat akhlak yang bersifat perorangan dan akhlak
yang bersifat kolektif. Namun definisi yang kedua ini kekurangannya tidak
menyertakan penilaian tehadap perbuatan tersebut. Sedangkan definisi yang
pertama walaupun tidak menyertakan akhlak yang bersifat sosial, namun
memberiakn penilaian terhadap perbuatan tersebut.[6]
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan, mudah-mudahan bermanfaat bagi pemakalah
khususnya dan bagi pembaca umumnya, dan kita dapat menghindari akhlak-akhlak
tercela yang tidak menguntungkan sama sekali. Amiin..kami menyadari bahwa
makalah ini masih tak bias lepas dari kesalahan-kesalahan, baiak sedikit atau
banyak, untuk itu kritik dan saran yang membangun masih sangat kita butuhkan,
untuk bekal pembuatan makalah selanjutnya. Untuk semuanya, kami ucapkan
terimakasih banyak.
[1]Wahid Ahmadi, Risalah Akhlak,
(Era Intermedia: Solo, 2004), hlm 13-16
[2]Prof. dr. ahmadamin, Etiak Ilmu
Akhlak, ( Bulan Bintang: Jakarta, 1993 ), hlm 63
[3] DR. Marjuki, Akhlak Mulia
Pengantar Studi Konsep-Konsep Dasar Etika Dalam Islam, (Debut Wahana Press:
Yogyakarta, 2003), hlm 34
[4] Misbah Mujtaba, Daur Ulang Jiwa,
(Al-Huda: Jakarta,2008), hlm.102
[5]Lahiji Syekh ZA Qurbani, Risalah
Sang Imam, (Al-Huda: Jakarta,2011), hlm.3
[6]M.Solichin,M.Rosyid
anwar,akhlak tasawuf, (Nuansa: Bandung,2005), hlm.60-61
Comments
Post a Comment