BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam
pengelolaan suatu perusahaan terdapat beragam kegiatan usaha dengan berbagai
macam hambatan yang dihadapinya. Bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang
perdagangan atau penjualan, hambatan utama yang dapat menjadi ancaman adalah
banyaknya penjualan kredit tidak dapat tertagih. Untuk menanggulangi masalah
piutang macet dan administrasi kredit, perusahaan dapat menyerahkannya kepada
perusahaan yang sanggup untuk melakukannya, yaitu perussahaan anjak piutang.
Perusahaan anjak piutang adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang penagihan
utang. Perusahaan anjak piutang dapat mengambil alih pengelolaan piutang, baik
dengan cara mengelolanya atau dengan cara membeli serta dapat pula melakukan
pengelolaan administrasi piutang suatu perusahaan.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa Pengertian Anjak piutang
syariah?
2. Bagaimana prinsip anjak
piutang syariah ?
3. Bagaimana fatwa DSN tentang
anjak piutang syariah?
4. Bagaimana fiture dan
mekanisme anjak piutang syariah ?
5. Apa saja kegiatan anjak
piutang ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Anjak Piutang Syariah
Anjak
piutang (factoring) dapat didefinisikan sebagai transaksi pembelian dan / atau
penagihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien (penjual)
kepada perusahaan anjak piutang, kemudian akan ditagih oleh perusahaan anjak
piutang kepada pembeli karena adanya pembayaran kepada klien oleh perusahaan
anjak piutang.[1]
Anjak
Piutang atau factoring merupakan suatu badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang
atau tagihan jangka pendek suatu perusahan dari transaksi perdagangan dalam
atau luar negeri (Keputusan Menteri Keuangan RI No. 1251/KMK013/1988 tertanggal
20 desember 1988). Selanjutnya ditegaskan kembali dalam Keputusan Menteri
Keuangan No.172/KMK.06/2002 adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk pembelian dan atau pengalihan serta pengurusan piutang
atau tagihan jangka pendek suatu perusahaan dari transaksi perdagangan dalam
dan luar negeri.
Anjak piutang
(factoring) dilakukan berdasarkan akad wakalah bil ujroh. Wakalah bil ujroh
adalah pelimpahan kuasa oleh satu pihak (al muwakil) kepada pihak lain(al
wakil) diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah). Landasan hukum akad ini
adalah fatwa DSN-MUI No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tetang wakalah.
Dari definisi diatas,
dapat dipahami bahwa kegiatan pokok anjak piutang adalah :
1.
Pengambil alihan tagihan suatu perusahaan, baik dengan
cara dibeli atau dengan cara lainnya sesuai dengan kesepakatan
2.
Penagihan piutang perusahaan klien
3.
Pengelolaan usaha penjualan kredit suatu perusahaan.
Dalam kegiatan
sehari-hari, perusahaan anjak piutang seperti halnya perusahaan lainnya juga
akan mencari keuntungan. Keuntungan yang diperoleh perusahaan anjak piutang,
antara lain dari berbagai biaya yang dikenakan terhadap kliennya. Biaya-biaya
yang dipungut antara lain:[2]
1.
Jasa penagihan (service charge), yaitu biaya yang
dibebankan oleh perusahaan anjak piutang kepada kliennya. Besarnya bunga
bergantung pada kesepakatan bersama.
2.
Biaya administrasi (discount charge), yaitu biaya yang
diterima oleh perusahaan anjak piutang setelah melakukan pengelolaan perusahaan
kreditur oleh klien dan besarnya pun bergantung pada kesepakatan bersama.
B.
Prinsip Anjak Piutang
Syariah
Bagi bank syari’ah
untuk kasus pembiayaan piutang seperti tersebut diatas hanya dapat dilakukan
dalam bentuk al-qard dimana bank tidak boleh meminta imbalan, kecuali biaya
administrasi. Untuk kasus anjak piutang, bank dapat memberikan fasilitas
pengambil alihan piutang, yaitu yang disebut hiwalah. Tetapi untuk fasilitas
ini pun bank tidak dibenarkan meminta imbalan kecuali biaya layanan atau biaya
administrasi dan biaya penagihan. Dengan
demikian bank syariah meminjamkan uang (qard) sebesar piutang yang tertera
dalam dokumen piutang (wesel tagih/promes) yang diserahkan kepada bank – tanpa
potongan. Hal itu adalah bila ternyata pada saat jatuh tempo hasil tagihan
tersebut digunakan unutuk melunasi utang nasabah kepada bank. Tetapi bila
ternyata piutang tersebut tidak ditagih maka nasabah harus membayar kembali utangnya
itu kepada bank.[3]
Prinsip hawalah yaitu pengalihan hutang dari satu
pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib menanggung (membayar)-nya.
Tagihan piutang dagang klien (yang biasanya UKM) langsung ditukarkan dengan
prosentase tertentu dari nilai tagihan tersebut, katakanlah 80%. Saat tagihan
tersebut telah jatuh tempo, bank akan menagihkannya ke pelanggan (biasanya
perusahaan besar) yang berhutang pada klien tersebut, dan sisa tagihan yang
belum diberikan kepada klien dikurangi dengan biaya administrasinya akan
menjadi hak dari klien (kalau dalam anjak piutang konvensional, selain biaya
administrasi klien harus membayar bunga atas uang muka yang diterimanya sampai
terjadinya pelunasan tagihan). Jelas terlihat, bahwa pemberian dana talangan
80% tersebut akan sangat membantu likuiditas klien yang UKM tersebut.
Dengan menggunakan sitem upah (Ujrah), anjak
piutang syariah boleh dilakukan karna tidak melanggar ketentuan dalam Islam,
dengan ketentuan :
1.
Bank syariah memperoleh ujrah atas jasa yang diberikan
oleh Bank Syariah (sebagai muhil) kepada nasabah (klien) dalam
kedudukannya (sebagai muhal ‘alaih) atas ketersediaan dan
komitmennya untuk membayar utang nasabah.
2.
Maksimum ujrah dikenakan sesuai dengan ketentuan tarif
yang berlaku atau yang disepakati kedua belah pihak.
3.
Pembayaran ujrah dilakukan secara periodik maupun
secara bersamaan saat nasabah melakukan pembayaran hutang kepada Bank Syariah,
sesuai kesepakatan.
C.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
67/DSN-MUI/III/2008 Tentang Anjak Piutang Syariah
Pertama : Ketentuan
Umum
Dalam fatwa ini, yang
dimaksud dengan Anjak Piutang Secara Syariah adalah pengalihan
penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang
kepada pihak lain yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang
berutang atau pihak yang ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip
syariah.
Kedua : Ketentuan
Akad
1. Akad yang dapat digunakan
dalam Anjak Piutang Secara Syariah adalah Wakalah bil Ujrah.
2. Pihak yang berpiutang
mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan pengurusan dokumen-dokumen
penjualan kemudian menagih piutang kepada pihak yang berutang atau pihak lain
yang ditunjuk oleh pihak yang berutang;
3. Pihak yang ditunjuk menjadi
wakil dari yang berpiutang untuk melakukan penagihan (collection) kepada pihak
yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berutang untuk
membayar;
4. Pihak yang ditunjuk menjadi
wakil dapat memberikan dana talangan (Qardh) kepada pihak yang berpiutang
sebesar nilai piutang;
5. Atas jasanya untuk melakukan
penagihan piutang tersebut, pihak yang ditunjuk menjadi wakil dapat
memperoleh ujrah/fee;
6. Besar ujrah harus
disepakati pada saat akad dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam
bentuk prosentase yang dihitung dari pokok piutang;
7. Pembayaran ujrah dapat
diambil dari dana talangan atau sesuai kesepakatan dalam akad;
8. Antara akad Wakalah bil
Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (ta’alluq).
Ketiga : Ketentuan
Penutup
1. Jika
salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan
di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi
Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini
berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari
ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana
mestinya.[4]
D.
Fitur Dan Mekanisme
Dalam Anjak Piutang Syariah
1.
Hak dan kewajiban perusahaan pembiayaan (wakil) antara
lain:
a.
Menagih piutang dari pihak pengalih piutang (muwakkil)
kepada pihak yang berhutang (muwakal alaih), perusahaan pembiayaan (wakil)
menjadi pihak perantara penagihan piutang.
b.
Memperoleh upah (ujroh) atas jasa penagihan piutang
pengalihan piutang (muwakkil)sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati
pada saat kontrak.
c.
Meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (with
resource) atau tidak meminta jaminan dari pengalih piutang (muwakkil) (without
recourse).
d.
Membayar atau melunasi utang pihak yang berutang
(muwakkal alaih) kepada pengalih piutang (muwakkil)
2.
Hak dan kewajian pengalih piutang (muwakkil) antara
lain:
a.
Memperoleh pelunasan piutang dari perusaaan pembiayaan
selaku wakil.
b.
Membayar upah (ujrah) atas jasa pemindahan piutang
yang sesuai yang diperjanjikan.
c.
Menyediakan jaminan kepada perusahaan pembiayaan
selaku wakil dalam hal diperjanjikan
d.
Memberitahukan kepada pihak yang berutang (muwakkal
alaih) mengena transaksi pemindahan iutang kepada perusahaa pembiayaan selaku
wakil.
3.
Hak da kewajiban pihak ynag berutang (muwakkal alaih),
antara lain:
a.
Memperoleh informasi yang jelas mengenai transaksi
pemindahan utangnya dari pengalihan piutang (muwakkil) kepada perusahaan
pembiayaan selaku wakil.
b.
Membayar atau melunas utang kepada perusahaan
pembiayaan selaku wakil.
4.
Piutang (muwakkal bih)yang mnjadi objek wakalah bil
ujrah adalah piutang jangka pendek yang jatuh temponya kurang dari 1 (satu)
tahun dengan ketentuan sebagai berikut:
a.
Piutang pengalihpiutang (muwakkil) yang dipindahkan
kepada perusahaan pembiayaan selaku wakil harus dipastikan belum jatuh tempo
dan tidak dalam kategori piutang macet.
b.
Piutang yang dialihkan bukan berasal dari transaksi
yang diharamkan oleh syariat islam, seperti piutang untuk membuka usaha
perjudian atau minuman keras.
5.
Wakalah bil ujrah antara perusahaan pembiayaan selaku wakil,
pengalih piutang (muwakkil), dan pihak yang berutang (muwakkal alaih) wajib
ditetapkan secara tertulis dalam akad wakalah bil ujrah.
Proses anjak piutang
syariah secara procedural dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Supplier (klien) menjual barang atau jasa kepada
pembeli (costumer). Penyerahan barang dengan D/O yang ditandatangi pembeli.
Asli D/O kembali kepada supplier.
2.
Karena alasan cah flow, supplier atau klien kemudian
mewakalahkan tagihannya kepada perusahaan anjak piutang atas persetujuan pembeli
(custumer).
3.
Klien menyerahkan dana tagihan, termasuk faktur-faktur
atau D/O kepada perusahaan anjak piutang.
4.
Kontrak perusahaan wakalah bil ujrah tagihan antara
klien dengan perusahaan anjak piutang.
5.
Klien memperoleh pelunasan piutang dari perusahaan anjak
piutang.
6.
Pada saat jatuh tempo, perusahaan anjak piutang
melakukan penagihan kepada pembeli (costumer).
7.
Pelunasan utang oleh pembeli.[5]
Anjak
piutang kontraknya masuk dalam kontrak hiwalah dimana hiwalah dalam perbankan
menerapkan dalam hal-hal berikut:
a. Factoring
atau anjak piutang, dimana para nasabah yang memiliki piutang kepada pihak
ketiga memindahkan piutang tersebut kepada bank, bank lalu membayar piutang
tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b. Post-dated
check, dimana bank bertindak sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang
tersebut.
c. Bill
discounting. Secara prinsip, bill discounting serupa dengan hawalah. Hanya
saja, dalam bill discountinsg, nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan
fee tidak didapati dalam kontrak hiwalah[6]
E. Kegiatan dalam Anjak Piutang
Kegiatan
utama anjak piutang adalah pengambilalihan pengurusan piutang suatu tanggung
jawab tertentu, tergantung kesepakatan dengan pihak kreditur (pihak yang punya
piutang). Usaha-usaha yang dijalankan oleh perusahaan anjak piutang berkaitan
dengan pengambilalihan dan pengelolaan piutang suatu perusahaan, tergantung
permintaan pihak kreditur.
Adapun
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan transaksi anjak piutang adalah:
1.
Kreditur
atau klien yang menyerahkan tagihannya kepada pihak anjak piutang untuk ditagih
dan dikelola.
2.
Perusahaan
anjak piutang.
3.
Debitur.
Keuntungan
yang diperoleh masing-masing pihak adalah sebagai berikut:
1.
Bagi
perusahaan anjak piutang
a.
Memperoleh
keuntungan berupa Fee atau biaya administrasi.
b.
Membantu
menyelesaikan pertikaian di antara kreditur dan debitur.
c.
Membantu
pihak manajemen pihak kreditur dan penyelenggara kreditur.
2.
Bagi
kredit (klien).
a.
Megurangi
resiko kerugian.
b.
Memperbaiki
sistem administrasi
c.
Memperlancar
kegiatan usaha.
3.
Bagi
debitur, Memberikan motivasi kepada debitur untuk segera membayar secepatnya,
karena ada rasa malu sehingga berusaha sekuat tenaga untuk segera membayar
dengan berbagai cara[7]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Anjak piutang (factoring)
dapat didefinisikan sebagai transaksi pembelian dan / atau penagihan serta
pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek klien (penjual) kepada perusahaan
anjak piutang, kemudian akan ditagih oleh perusahaan anjak piutang kepada
pembeli karena adanya pembayaran kepada klien oleh perusahaan anjak piutang
2. Prinsip hawalah yaitu
pengalihan hutang dari satu pihak yang berhutang kepada pihak lain yang wajib
menanggung (membayar)-nya.
3.
Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor:
67/DSN-MUI/III/2008 Tentang Anjak Piutang Syariah,yang berisi : Ketentuan Umum,
ketentuan akad, ketentuan penutup.
4.
Fitur Dan Mekanisme Dalam Anjak Piutang Syariah
Hak dan kewajiban perusahaan pembiayaan (wakil),
muwakil, muwakil alaih, piutang, wakalah bil ujroh.
5. Kegiatan utama anjak piutang
adalah pengambilalihan pengurusan piutang suatu tanggung jawab tertentu,
tergantung kesepakatan dengan pihak kreditur (pihak yang punya piutang).
B. Saran
Demikianlah
makalah yang dapat kami paparkan. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita
semua, khususnya bagi pembacanya. Dan tak lupa kritik dan sarannya sangatlah
kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan makalah selanjutnya. Apabila ada
kesalahan penulisan maupun penyampaian, serta kurangnya pengetahuan, pemakalah
mohon maaf. Semoga bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
M. Nur Rianto Al Arif,
Lembaga Keuangan Syariah, CV PUSTAKA SETIA, Bandung, 2012
Kasmir,
Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta:Rajawali Press, 2008
Sri indah nikensari,
perbankan syariah, PT pustaka riski putra, semarang, 2012
[1] M.
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, CV PUSTAKA SETIA, Bandung, 2012,
hlm., 258
[2]
Kasmir, Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta:Rajawali Press, 2008,
hlm.,301
[3]
Sri indah nikensari, perbankan syariah, PT pustaka riski putra, semarang, 2012,
hlm., 111
[5] M.
Nur Rianto Al Arif, Lembaga Keuangan Syariah, CV PUSTAKA SETIA, Bandung, 2012,
hlm., 2
Comments
Post a Comment