BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Muamalah
merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan
orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah
ijaroh (sewa menyewa ).
Seiring
dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari
ulama klasik, transaksi tersebut merupakan trobosan baru dalam dunia modern.
Dalam hal ini kita harus cermat, apakah transaksi modern ini memiliki
pertentangan tidak dengan kaidah fiqih? Jika tidak, maka transaksi dapat
dikatakan mubah.
Dalam makalah ini akan dijelaskan secara sederhana tentng ijaroh
dan Ijarah
Muntahiya Bittamlik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian ijaroh ?
2. Bagaimana rukun dan syarat ijaroh ?
3. Bagaimana pengertian Ijarah Muntahiya Bittamlik ?
4. Bagaimana Praktik Pembiayaan Ijarah dan IMBT ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijarah
1. Pengertian Ijarah
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri.[1]
Sewa ijarah dapat dipakai sebagai bentuk
pembiayaan, pada mulanya bukan merupakan bentuk pembiayaan, tetapi merupakan
aktivitas usaha seperti jual beli. Individu yang membutuhkan pembiayaan untuk
membeli aset dapat mendatangi pemilik dana (dalam hal ini bank) untuk membiayai
pembelian aset produktif. Pemilik dana kemudian membeli barang dimaksud dan
kemudian menyewakannya kepada yang membutuhkan aset tersebut.
B. Rukun dan Syarat Ijarah
Rukun dari akad ijarah yang harus dipenuhi
dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
a. Pelaku akad, yaitu musta’jir (penyewa), dan mu’jir/muajir
(pemilik)
b. Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan), dan ujrah
(harga sewa)
c. Sighah, yaitu ijab qabul
Dua hal harus diperhatikan dalam penggunaan
ijarah sebagai bentuk pembiayaan. Pertama, beberapa syarat harus dipenuhi agar
hukum-hukum syariah terpenuhi, dan yang pokok adalah:
a. Jasa atau manfaat yang akan diberikan oleh aset yang disewakan tersebut
harus tertentu dan diketahui jelas oleh kedua belah pihak.
b. Kepemilikan aset tetap pada yang menyewakan yang bertanggung jawab atas
pemeliharaannya sehingga aset tersebut terus dapat memberi manfaat kepada
penyewa.
c. Akad ijarah dihentikan pada saat aset yang bersangkutan berhenti memberikan
manfaat kepada penyewa. Jika aset tersebut rusak dalam periode kontrak, akad
ijarah masih tetap berlaku.
d. Aset tidak boleh dijual kepada penyewa dengan harga yang ditetapkan
sebelumnya pada saat kontrak berakhir. Apabila aset akan dijual, harganya akan
ditentukan pada saat kontrak berakhir.
Kedua, sewa aset tidak dapat dipakai sebagai
patokan tingkat keuntungan dengan alasan:
a. Pemilik aset tidak mengetahui dengan pasti umur aset yang bersangkutan.
Aset hanya akan memberikan pendapatan pada masa produktifnya. Selain itu, harga
aset tidak diketahui apabila akan dijual pada saat aset tersebut masih
produktif.
b. Pemilik aset tidak tahu pasti sampai kapan aset tersebut dapat harus
disewakan selama masa produktifnya.[2]
Jenis barang/jasa yang dapat disewakan, antara
lain:
a. Barang modal, aset teatap, misalnya bangunan, gedung, kantor, ruko, dan
lain-lain.
b. Barang produksi, mesin, alat-alat berat, dan lain-lain.
c. Barang kendaraan transportasi, darat, laut dan udara.
d. Jasa untuk membayar ongkos, uang sekolah/kuliah, tenaga kerja, hotel,
angkut transportasi, dan sebagainya.[3]
C. Ijarah Muntahiya Bittamlik
Ijarah Muntahiya
Bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau
menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan
alih kepemilikan objek sewa.[4]
Al-Ba’i wal
ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) merupakan rangkaian dua buah akad, yakni akad al-ba’i
dan akad ijarah muntahiya bittamlik (IMBT). al-ba’i merupakan
akad jual-beli, sedangkan IMBT merupakan kombinasi antara sewa-menyewa dan jual
beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam IMBT, pemindahan hak milik barang
terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut ini:
1. Pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut
pada akhir masa sewa.
2. Pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan
tersebut pada akhir masa sewa.[5]
Berbagai bentuk alih kepemilikan IMBT antara
lain:
1. Hibah di akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa aset dihibahkan
kepada penyewa.
2. Harga yang berlaku pada akhir periode, yaitu ketika pada akhir periode sewa
aset dibeli oleh penyewa dengan harga yang berlaku pada saat itu.
3. Harga ekuivalen dalam periode sewa, yaitu ketika penyewa membeli aset dalam
periode sewa sebelum kontrak sewa berakhir dengan harga ekuivalen.
4. Bertahap selama periode sewa, yaitu ketika alih kepemilikan dilakukan
bertahap dengan pembayaran cicilan selama periode sewa.[6]
D. Praktik Pembiayaan Ijarah dan IMBT
1. Ijarah
Secara umum timbulnya ijarah disebabkan oleh
kebutuhan akan barang atau manfaat barang oleh nasabah yang tidak memiliki
kemampuan keuangan. Dengan kata lain, apabila nasabah memiliki kemampuan
keuangan, maka pemenuhan kebutuhan barang atau manfaat barang akan dilakukan
langsung oleh nasabah kepada pemilik barang (produsen) tanpa melalui bank
syariah. Dengan demikian, praktik ijarah yang terjadi pada aktivitas bank
syariah, secara teknis merupakan perubahan cara pembayaran sewa dari tunai di
muka (bank dengan pemilik barang) menjadi angsuran (bank dengan nasabah)
dan/atau pengunduran periode waktu pembayaran (disesuaikan dengan kemampuan
nasabah) atas biaya sewa yang telah dibayarkan di muka (oleh bank).
2. Ijarah Muntahiya Bittamlik
IMBT pada dasarnya merupakan perpaduan antara
ijarah dengan jual beli. Semakin jelas dan kuat komitmen untuk membeli barang
di awal akad, maka hakikat IMBT pada dasarnya lebih bernuansa jual beli. Namun,
apabila komitmen untuk membeli barang di awal akad tidak begitu kuat dan jelas,
maka hakikat IMBT akan lebih bernuansa ijarah. Dari sisi ijarah, perbedaan IMBT
terletak dari adanya opsi untuk membeli barang dimaksud pada akhir periode.
Sedangkan dari sisi jual beli, perbedaan IMBT terletak pada adanya penggunaan
manfaat barang dimaksud terlebih dahulu melalui akad sewa, sebelum transaksi
jual beli dilakukakan.[7]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a.
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas
barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri
b.
Rukun
ijaroh terdiri dari : pelaku akad, onyek akad, sighot.
c.
Ijarah Muntahiya Bittamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan
perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga
transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa.
2.
Saran
Demikian makal yang saya paparkan, semoga bermanfaat bagi pembac.
Tidak lupa kritik dan sarannya kami harapkan untuk perbaikan makalah kami.
Apabila ada kekurangan dalam penulisan dan penyampaian kami selaku pemakalah
mohon maaf. sekian dan terimakasih.
Daftar pustaka
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta,
PT RajaGrafindo Persada, 2007
Adiwarman Karim, Bank Islam, Jakarta,
PT RajaGrafindo Persada, 2004
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah :
Dari Teori Ke Praktik, Jakarta, Gema Insani, 2001
[1] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah : Dari Teori Ke Praktik,
Jakarta, Gema Insani, 2001, hlm.,117
[2] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 2007, hlm., 101-102
[3] Adiwarman Karim, Bank Islam, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004,
hlm., 137
[4] Ascarya, op. Cit., hlm., 103
[5] Adiwarman Karim, op. Cit., hlm., 139
[6] Ascarya, op. Cit., hlm., 103
Comments
Post a Comment