Skip to main content

Makalah Konsep Pajak Daerah



I.       PENDAHULUAN
Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dana yang potensial yang digunakan oleh pemerintah sebagai sumber pembiayaan dalam menyelenggarakan roda pemerintahan. Di Indonesia diberlakukan otonomi daerah dengan tujuan untuk mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah.
Pajak daerah menjadi sumber penerimaan yang berasal dari dalam daerah yang dapat dikembangkan sesuai kondisi masing-masing daerah dan setiap daerah diberi wewenang yang lebih luas untuk menggali, mengelola, dan menggunakan sumber-sumber daya alam serta potensi-potensi lain yang terdapat di daerahnya masing-masing sehingga nantinya dapat meningkatkan pendapatan daerah, serta menunjang kelancaran pelaksanaan pembangunan dan pemerintahannya. Setiap daerah dituntut untuk bisa mengurangi seminimal mungkin ketergantungan keuangan kepada pemerintah pusat sehingga setiap daerah bisa dan mampu membiayai rumah tangganya sendiri.
Untuk lebih jelasnya mengenai ketentuan umum pajak daerah, alangkah baiknya kita belajar dengan makalah ini tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah yang selanjutnya akan dibahas.
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah untuk melaksanakan otonomi, pemerintah melakukan berbagai kebijakan perpajakan daerah. Diantaranya dengan menetapkan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daaerah dan retribusi daerah. Pemberian kewenangan dalam pengenaan pajak dan retribusi daerah diharapkan dapat lebih mendorong pemerintahan daerah untuk terus berupaya mengoptimalkan PAD, khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda diupayakan tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun bea dan cukai) karena hal tersebut akan menimbulakan duplikasi pungutan yang pada akhirnya akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah diantisipasi dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana di ubah dengan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat. Di negara-negara yang menganut paham hukum, segala sesuatu yang menyangkut pajak harus ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, pemungutan pajak kepada rakyat tentunya harus diseratai dengan perangkat peraturan perundang-undangan yang di sebut dengan hukum pajak. Di Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 23A mengatur dasar hukum pemungutan pajak oleh negara. Pasal ini menyatakan bahwa pajak dan pungutan lain bersifat memaksa untuk keperluan negara di atur dengan Undang-Undang. Penyelenggaraan otonomi daerah akan dapat dilaksanakan dengan baik apabila didikung sumber-sumber pembiayaan yang memadai. Salahsatunya adalah dengan meningkatkan kemampuan keuangan daerah bagi penyelenggara rumah tangganya. Sekalipun demikian, otonomi daerah dalam kerangka Negara Republik Indonesia, bukan hanya diukur dari jumlah PAD yang dapat dicapai, tetapilebih dari itu yaitu sejauh mana pajak daerah dan retribusi daerah dapat berperan dalam mengatur perekonomian masyarakat agar dapat bertumbuh kembang, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.









II.    RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, kami dapat mengambil permasalahan sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah konsep pajak daerah?
2.      Bagaimanakah ketentuan umum pemungutan pajak daerah?
3.      Bagaimanakah tata cara penerbitan ketetapan pajak daerah?
4.      Bagaimanakah tata cara pembayaran dan penagihan pajak daerah?
5.      Bagaimanakah tata cara pembuatan peraturan daerah tentang pajak daerah?
6.      Bagaimanakah ketentuan kedaluwarsa penagihan pajak daerah?
7.      Bagaimanakan tata cara mengajukan keberatan atau banding pajak daerah?
8.      Bagaimanakah tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif pajak daerah?


















III. PEMBAHASAN
A.    Konsep Pajak Daerah
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.[1]
Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemungutan pajak daerah bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sedangkan yang dimaksud retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.[2]
Yang dimaksud daerah disini adalah daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom) dan di Indonesia daerah yang berhak memungut pajak dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Pajak Propinsi
Pajak propinsi terdiri dari :
a.       Pajak Kendaraan Bermotor (PKB);
b.      Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB);
c.       Pajak bahan bakar kendaraan bermotor;
d.      Pajak air permukaan; dan
e.       Pajak rokok.
2.      Pajak Kabupaten/Kota
Pajak kabupaten/kota terdiri dari :
a.       Pajak hotel;
b.      Pajak restoran;
c.       Pajak hiburan;
d.      Pajak reklame;
e.       pajak penerangan jalan;
f.       Pajak Bukan Mineral dan Batuan (Minerba);
g.      Pajak parkir;
h.      Pajak air tanah;
i.        Pajak sarang burung walet;
j.        Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); dan
k.      Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).[3]
Ruang lingkup pajak daerah hanya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh negara (pusat). Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (negara) terdiri dari :
1.      Pajak Penghasilan (PPh);
2.      Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
3.      Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM);
4.      Bea materai; dan
5.      Bea lelang.
Misalnya Pajak Penghasilan (PPh) tidak boleh dipungut oleh daerah karena sudah dipungut oleh negara. Sebaliknya, negara juga tidak boleh memungut pajak yang sudah dipungut daerah. Selain itu, terdapat ketentuan bahwa pajak dari daerah yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh memasuki obyek pajak dari daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Tarif pajak daerah ditentukan oleh pemerintah daerah.[4]

B.     Ketentuan Umum Pemungutan Pajak Daerah
Tarif pajak daerah ditentukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan kemudian ketetapan yang pasti ditentukan dalam peraturan pajak masing-masing daerah atau ditentukan sendiri oleh pemerintah daerah. Jenis pajak dan tarifnya dapat dilihat pada tabel berikut ini :
PENGGOLONGAN, JENIS, DAN TARIF PALING TINGGI DARI PAJAK DAERAH
GOLONGAN
JENIS PAJAK
TARIF PALING TINGGI
Pajak Propinsi
Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)
10%
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)
20%
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
10%
Pajak Air Permukaan
10%
Pajak Rokok
10%
Pajak Kabupaten/Kota
Pajak Hotel
10%
Pajak Restoran
10%
Pajak Hiburan
35%
Pajak Reklame
25%
Pajak Penerangan Jalan
10%
Pajak Bukan Mineral dan Batuan (Minerba)
25%
Pajak Parkir
30%
Pajak Air Tanah
20%
Pajak Sarang Burung Walet
10%
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
0,3%
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
5%
Ketentuan tarif paling tinggi yang dapat dipungut oleh daerah bertujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak diterapkan untuk memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk pertimbangan untuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu. Besarnya pajak propinsi sebagaimana yang tercantum pada tabel di atas ditetapkan seragam di seluruh Indonesia dan diatur dengan peraturan pemerintah. Sedangkan tarif pajak kabupaten/kota ditetapkan dengan peraturan daerah.
Tata cara pemungutan pajak daerah diatur sebagai berikut :
1.      Pemungutan Pajak Daerah Tidak Dapat Diborongkan
Seluruh proses kegiatan pemungutan pajak daerah tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga. Namun dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam rangka proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak, atau penghimpunan data obyek dan subyek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.
2.      Wajib Pajak Membayar Pajak Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Dengan Official Assesment System
Wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dipungut dengan SKPD yang jumlah pajaknya ditentukan oleh kepala daerah dan pembayarannya menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan (berupa karcis dan nota perhitungan) yang ditetapkan oleh kepala daerah.
3.      Wajib Pajak Membayar Pajak Berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) Dengan Self Assesment System
Wajib pajak memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri dan diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Apabila wajib pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) yang menjadi sarana penagihan.[5]

C.    Tata Cara Penerbitan Ketetapan Pajak Daerah
Kepala daerah diberi kewenangan menerbitkan ketetapan pajak daerah. Jenis-jenis ketetapan pajak yang menyebabkan penerbitannya dalam pajak daerah yaitu :
1.      Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB)
a.       Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b.      Ketentuan ini memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu, artinya hanya terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban perpajakannya;
c.       Apabila SPTPD tidak disampaikan dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur secara tertulis; dan
d.      Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
2.      Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT)
SKPDKBT dapat diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang.
3.      Penerbitan Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN)
SKPDN diterbitkan dalam hal jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.[6]

1.      s
Tata cara pembayaran dan penagihan pajak daerah diatur sebagai berikut :
1.      Kepala daerah menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang paling lama 30 hari kerja setelah saat terutangnya pajak dan paling lama 6 bulan sejak saat diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
2.      Keterlambatan dalam pembayaran masa tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
3.      SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 bulan sejak tanggal diterbitkan.
4.      Kepala daerah atas permohonan wajib pajak setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan dapat memberikan persetujuan kepada wajib pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak dengan dikenakan bunga sebesar 2% sebulan.
5.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan peraturan kepala daerah.
6.      Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh wajib pajak pada waktunya dapat ditagih dengan surat paksa.[7]

D.    Tata Cara Pembuatan Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah
Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 95 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tata cara pembuatan peraturan daerah tentang pajak daerah disebutkan hal-hal sebagai berikut :
1.      Pajak ditetapkan dengan peraturan daerah.
2.      Peraturan daerah tentang pajak tidak berlaku surut.
3.      Peraturan daerah tentang pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai :
a.       Nama, objek, dan subjek pajak;
b.      Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c.       Wilayah pemungutan;
d.      Masa pajak;
e.       Penetapan;
f.       Tata cara pembayaran dan penagihan;
g.      Kedaluwarsa;
h.      Sanksi administratif; dan
i.        Tanggal mulai berlakunya.
4.      Peraturan daerah tentang pajak daerah dapat juga mengatur ketentuan mengenai :
a.       Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
b.      Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa dan/atau sanksinya; dan
c.       Asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

E.     Ketentuan Kedaluwarsa Penagihan Pajak Daerah
Kedaluwarsa penagihan pajak daerah adalah setelah terlampauinya jangka waktu 5 tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak. Kecuali apabila wajib pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan daerah. Saat kedaluwarsa penagihan pajak ini perlu ditetapkan untuk memberi kepastian hukum kapan utang pajak tersebut tidak dapat ditagih lagi.
Kedaluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila :
1.      Diterbitkan surat teguran dan surat paksa. Kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
2.      Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.

F.     Tata Cara Mengajukan Keberatan Atau Banding Pajak Daerah
Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 103 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tata cara mengajukan keberatan atau banding pajak daerah disebutkan bahwa :
1.      Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN.
2.      Keberatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
3.      Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal surat, kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
4.      Keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak.
5.      Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
6.      Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.[8]

G.    Tata Cara Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, Dan Penghapusan Atau Pengurangan Sanksi Administratif Pajak Daerah
Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Pasal 103 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang mengatur tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif pajak daerah meliputi hal-hal berikut ini :
1.      Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, kepala daerah dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undanganan perpajakan daerah.
2.      Kepala daerah dapat melakukan :
a.       Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
b.      Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
c.       Mengurangkan atau membatalkan STPD;
d.      Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
e.       Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan mambayar wajib pajak atau kondisi tertentu obyek pajak.
3.      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak diatur dengan peraturan kepala daerah.[9]

IV. ANALISIS
Beragam upaya dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dilakukan oleh negara melalui pembangunan nasional. Pembangunan nasional merupakan suatu kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan yang dilakukan untuk kesejahteraan rakyat. Untuk melakukan semua itu, pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Salah satu penerimaan terbesar negara sebagai dana pembangunan nasional adalah penerimaan yang berasal dari sektor pajak.
Di Indonesia diberlakukan otonomi daerah dengan tujuan untuk mencari sumber penerimaan daerah yang dapat mendukung pembiayaan pengeluaran daerah. Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dasar hukum pemungutan pajak daerah adalah Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pajak daerah merupakan kontribusi wajib kepada daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pemungutan pajak daerah bertujuan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Pembagian pajak berdasarkan wewenang lembaga pemungutannya dibagi menjadi dua, yaitu :
1.      Pajak Pusat
Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat (negara).



2.      Pajak Daerah
Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah. Daerah yang berhak memungut pajak dibagi menjadi dua, yaitu pajak propinsi dan pajak kabupaten/kota.
Ruang lingkup pajak daerah hanya terbatas pada obyek pajak yang belum dikenakan oleh negara (pusat). Misalnya Pajak Penghasilan (PPh) tidak boleh dipungut oleh daerah karena sudah dipungut oleh negara. Sebaliknya, negara juga tidak boleh memungut pajak yang sudah dipungut daerah.
Tarif pajak daerah ditentukan dalam peraturan pajak masing-masing daerah atau ditentukan sendiri oleh pemerintah daerah dan disebutkan tarif yang paling tinggi yang diatur dalam Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan tujuan memberi perlindungan kepada masyarakat dari penetapan tarif yang terlalu membebani, sedangkan tarif paling rendah tidak diterapkan untuk memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur sendiri besarnya tarif yang sesuai dengan kondisi masyarakat di daerahnya, termasuk pertimbangan untuk membebaskan pajak bagi masyarakat yang tidak mampu.
Tata cara dalam pemungutan pajak daerah meliputi berbagai hal, mulai dari tata cara pemungutan itu sendiri, penerbitan ketetapan pajak, pembayaran dan penagihan, tata cara pembuatan peraturan daerah, kedaluwarsa penagihan, tata cara mengajukan keberatan atau banding, serta tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif pajak daerah.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat menjadi acuan bagi daerah dalam mengatur mengenai tarif dan ketentuan umum perpajakannya. Dengan adanya pajak daerah tersebut maka kami dapat menyimpulkan bahwa penerimaan pajak daerah yang berasal dari propinsi dan kabupaten/kota merupakan sumber pembiayaan pembangunan daerah yang dapat mensejahterakan rakyat Indonesia, khususnya yang berada pada daerah tersebut. Meningkatnya pendapatan suatu daerah akan mengakibatkan semakin meningkatnya peran pajak terhadap pembiayaan pembangunan daerah yang bersangkutan. Menyadari akan hal itu, penggalian dan usaha peningkatan penerimaan pajak daerah akan terus diupayakan.

V.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terhutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2.      Tata cara pemungutan pajak daerah diatur sebagai berikut :
a.       Pemungutan Pajak Daerah Tidak Dapat Diborongkan.
b.      Wajib Pajak Membayar Pajak Berdasarkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) Dengan Official Assesment System.
c.       Wajib Pajak Membayar Pajak Berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) Dengan Self Assesment System.
3.      Jenis-jenis ketetapan pajak yang menyebabkan penerbitannya dalam pajak daerah yaitu :
a.       Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB).
b.      Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).
c.       Penerbitan Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN).
2.      Ketentuan yang mengatur surat tagihan pajak menyebutkan bahwa :
a.       Kepala daerah dapat menerbitkan STPD jika :
1)      Pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2)      Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung; dan
3)      Wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
b.      Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama 15 bulan sejak saat terutangnya pajak.
c.       SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% sebulan dan ditagih melalui STPD.
5.      Tata cara pembuatan peraturan daerah tentang pajak daerah disebutkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Pajak ditetapkan dengan peraturan daerah.
b.      Peraturan daerah tentang pajak tidak berlaku surut.
c.       Peraturan daerah tentang pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai :
1)      Nama, objek, dan subjek pajak;
2)      Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
3)      Wilayah pemungutan;
4)      Masa pajak;
5)      Penetapan;
6)      Tata cara pembayaran dan penagihan;
7)      Kedaluwarsa;
8)      Sanksi administratif; dan
9)      Tanggal mulai berlakunya.
d.      Peraturan daerah tentang pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai :
1)      Pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
2)      Tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan
3)      Asas timbal balik.
6.      Kedaluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila :
a.       Diterbitkan surat teguran dan surat paksa. Kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat paksa tersebut.
b.      Ada pengakuan utang pajak dari wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung.
7.      Tata cara mengajukan keberatan atau banding pajak daerah disebutkan bahwa :
a.       Wajib pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas suatu SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN.
b.      Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
c.       Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan sejak tanggal surat, kecuali jika wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.
d.      Keberatan dapat diajukan apabila wajib pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui wajib pajak.
e.       Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dianggap sebagai surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
f.       Tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atau tanda pengiriman surat keberatan melalui surat pos tercatat sebagai tanda bukti penerimaan surat keberatan.
8.      Tata cara pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan, dan penghapusan atau pengurangan sanksi administratif pajak daerah yaitu :
a.       Atas permohonan wajib pajak atau karena jabatannya, kepala daerah dapat membetulkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undanganan perpajakan daerah.

b.      Kepala daerah dapat melakukan :
1)      Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terutang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah;
2)      Mengurangkan atau membatalkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT atau STPD, SKPDN atau SKPDLB yang tidak benar;
3)      Mengurangkan atau membatalkan STPD;
4)      Membatalkan hasil pemeriksaan atau ketetapan pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
5)      Mengurangkan ketetapan pajak terutang berdasarkan pertimbangan kemampuan mambayar wajib pajak atau kondisi tertentu obyek pajak.
c.       Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengurangan atau penghapusan sanksi administratif dan pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak diatur dengan peraturan kepala daerah.

VI. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami paparkan. Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pembacanya. Dan tidak lupa kritik dan sarannya sangat kami harapkan untuk memperbaiki pembuatan makalah yang selanjutnya. Apabila ada kesalahan penulisan maupun penyampaian, serta kurangnya pengetahuan, kami mohon maaf. Dan sesungguhnya kebenaran semata hanyalah dari Allah SWT. Semoga bermanfaat. Amin.

Daftar Pustaka

Hasil Materi Diskusi Pajak Daerah Pada Hari Selasa Tanggal 28 April 2015.
Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2009, CV Andi Offset, Yogyakarta, 2009.
Muqodim, Perpajakan, Ekonisia, Yogyakarta, 1993.


[1] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi Tahun 2009, CV Andi Offset, Yogyakarta, 2009, hal., 12.
[2] Ibid, hal., 14.
[3] Hasil Materi Diskusi Pajak Daerah Pada Hari Selasa Tanggal 28 April 2015.
[4] Muqodim, Perpajakan, Ekonisia, Yogyakarta, 1993, hal., 6.
[5] Hasil Materi Diskusi Pajak Daerah Pada Hari Selasa Tanggal 28 April 2015.
[6] Muqodim, Op. Cit., hal., 119.
[7] Ibid, hal., 120.
[8] Hasil Materi Diskusi Pajak Daerah Pada Hari Selasa Tanggal 28 April 2015.
[9] Hasil Materi Diskusi Pajak Daerah Pada Hari Selasa Tanggal 28 April 2015.

Comments

Popular posts from this blog

EFEKTIVITAS METODE EKSPLORASI MASALAH MATEMATIS DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR KOGNITIF PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA

  Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah metode pembelajaran eksplorasi masalah matematis (EMM) lebih efektif daripada metode pembelajaran demonstrasi dalam pengajaran matematika khususnya bentuk soal cerita pada siswa kelas IV di SD IT Al Anwar Mayong Jepara tahun pelajaran 2018/2019. Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan (Field Research) dengan pendekatan kuantitatif, desain penelitian eksperimen murni (true experimental). Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD IT Al Anwar Mayong Jepara berjumlah 67 siswa. Sedangkan teknik pengumpulan sampelnya adalah Probability sampling dengan jenis rondom sampling. Selanjutnya dengan taraf kesalahan pengambilan sempel 1% didapatkan 63 sampel. Dimana, hasilnya kelas IV Ar rohim dengan jumlah 32 siswa sebagai kelas eksperimen. Sedangkan untuk kelas kontrol adalah kelas Ar rahman sebanyak 31 siswa. Teknik pengumpulan data menggunakan metode tes, wawancara dan dokumentasi. Setelah dilakuk

Pengaruh Pendekatan Realistic Mathematics Education Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui pendekatan Realistic Mathematics Education dan kemampuan berfikir kritis (2) Untuk mengetahui kemampuan berfikir kritis (3) Untuk mengetahui pengaruh pendekatan Realistic Mathematics Education terhadap kemampuan berfikir kritis peserta didik kelas V. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Sedangkan sesuai jenis penelitian, maka ini adalah penelitian korelasi. Disini peneliti mengambil lokasi di MI NU Tarbiyatul Islam Loram Wetan Jati Kudus. Teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan metode angket dan tes. Sedangkan teknik analisis data yang dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis deskriptif dan uji hipotesis asosiatif. Hasil penelitian yang didapatkan di antaranya yaitu (1) Pendekatan Realistic Mathematics Education sangat efektif karena hasil analisis data menunjukkan bahwa nilai taraf signifikansi pendekatan Realistic Mathematics Education lebih besar dari nilai taraf signifikansi yang

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN STUDENT FACILITATOR AND EXPLAINING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PSIKOMOTORIK SISWA

  Abstract Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) Model pembelajaran student facilitator and explaining pada mat a pelajaran pendidikan agama Islam materi mernahami tatacara sholat jumat di SMP Negeri 5 Blora. 2) Peningkatan kemampuan psikomotorik siswa pada mata pelajaran pendidikan agama Islam materi memahami tatacara sho1at jumat di SMP Negeri 5 Blora. 3) Model Pembelajaran Student Facilitator And Explaining untuk Meningkatkan Kemampuan Psikomotorik Siswa pada Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam materi Memahami Tatacara Sholat Jum'at di SMP Negeri 5 Blora Metode penelitian yang digunakan dalam peneIitian ini adalah yaitu metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan melalui wawancara terhadap instansi yang terkait yaitu srvw Negeri 5 Blora, mengenai implementasi model pembelajaran student facilitator and explaining untuk meningkatkan kemampu.an psikomotorik siswa pada mata pelajaran pendidikan agama Islam materi memahami tatacara sholat j