Di antara ciri kedewasaan sikap tampak dari bagaimana kita memperlakukan orang lain. Dalam ilmu manajemen, teori kepemimpinan yang menurut saya berkaitan dengan topik ini adalah servant leadership. Kepemimpinan yang berorientasi pada keinginan melayani. Ibarat perusahaan, bukan cuma pelanggan saja yang dilayani, bahkan karyawan dan bawahan juga.
Dulu saat tinggal di Solo, saya mengalami dan merasakan sendiri praktik nyata servant leadership yang membuat saya takjub. Ceritanya, ketika pertama kali tiba di Solo untuk lanjut S2 dan mencari tempat pengabdian, saya bertemu Direktur Pascasarjana IAIN Surakarta Prof. Nashruddin Baidan.
Di antara hal yang saya utarakan waktu itu adalah keinginan untuk mengabdi di salah satu pesantren di sana guna memenuhi tugas pascastudi S1 yang dibiayai Kemenag melalui Program Beasiswa Santri Berprestasi (PBSB). Beliau lantas merekomendasikan Pesantren Al-Muayyad Windan asuhan Abah Kyai Dian Nafi’.
Pertama datang ke sana, saya disambut oleh abah yai, lalu dipersilakan duduk. Saya cukup kaget ketika Pak Kyai sendiri yang menyuguhi dan menuangkan teh ke gelas saya. Niatnya ingin bantu, tapi saya dicegah oleh beliau. Beliau bilang, “Sudah, tidak apa-apa.” Padahal, umumnya kyai punya santri ndalem yang bertugas meladeni dan membantu kegiatan kyai. Termasuk dalam urusan menyuguhi dan membawakan makanan untuk tamu.
Tahun-tahun berikutnya yang dihabiskan di sana semakin membuat saya kagum pada beliau. Di satu kesempatan, beliau bahkan memasakkan menu tertentu dan mengundang santri untuk makan bersama. Tak jarang mengajari kami masak, sembari berkisah dan menularkan pengetahuan penting. Bagi saya, inilah contoh nyata servant leadership.
Salah satu yang membekas di hati saya, saat beliau berujar bahwa tingkatan tertinggi suatu amal pekerjaan adalah khidmat. Pengabdian, pelayanan. Kita bertindak bukan karena motivasi tertentu, melainkan murni dorongan hati untuk berbuat baik dan memberikan yang terbaik kepada siapa pun, tanpa melihat jabatan dan status sosial.
Ciri utamanya, selalu mendahulukan kepentingan orang lain di atas keinginan dan ego diri sendiri. Inilah yang disebut itsar, sikap mengalah, mendahulukan orang lain, yang dalam urusan selain ibadah, sangat dianjurkan (al-itsar bil qurbati makruh, wa maa siwaha mahbub). Gambarannya seperti diterangkan dalam Surat Al-Hasyr ayat 9:
وَٱلَّذِینَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِیمَانَ مِن قَبۡلِهِمۡ یُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَیۡهِمۡ وَلَا یَجِدُونَ فِی صُدُورِهِمۡ حَاجَةࣰ مِّمَّاۤ أُوتُوا۟ وَیُؤۡثِرُونَ عَلَىٰۤ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةࣱۚ وَمَن یُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُو۟لَئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
Artinya: Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin), atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Kenapa bisa begitu? Sebab, ada ketulusan hati. Semata mengharap keridhaan Allah. Juga ada rasa sayang kepada sesama. Keyakinan bahwa cinta pada manusia pada hakikatnya adalah perwujudan cinta kepada Penciptanya. Begitu pula kebencian pada manusia, esensinya merupakan percikan minimnya pengetahuan pada cinta Allah SWT.
Terdapat adagium yang sejalan dengan nilai-nilai dalam kepemimpinan melayani, antara lain: (1) ringan tangan membantu, bukan acuh dan tak peduli; (2) memerintah dengan keteladanan, bukan sekadar lisan; (3) merangkul, bukan memukul; (4) memupuk simpati dan hormat, bukan menyemai rasa takut.
Sifat dan karakter melayani akan jadi modal penting untuk membentuk sosok pemimpin yang bijak dan disegani, seperti yang telah dicontohkan Rasulullah. Kita mungkin pernah mendengar kisah dimana Nabi menjahit sendiri bajunya yang sobek, memperbaiki sendalnya yang rusak. Ketika terjadi pemboikotan dan umat Islam menghadapi paceklik pangan, beliau meminta agar makanan diberikan lebih dulu kepada para sahabat yang membutuhkan.
Dari beliau, kita belajar bekal dasar kebijaksanaan dalam kepemimpinan bahwa:
Pertama, banyaknya ujian dan masalah akan semakin mematangkan kedewasaan, selama kita bisa memetik pelajaran. Ungkapan Andrea Hirata sangat bagus menggambarkan hal itu. Ia berujar, dalam menjalani hidup ini, orang-orang diumpamakan seperti penumpang kereta. Meski jarak yang ditempuh sama, ada yang sama sekali tidak menikmati indahnya perjalanan karena hanya tidur. Tapi, ada pula yang terus melihat pemandangan melalui jendela, sehingga mendapatkan banyak pengalaman dan hal-hal baru.
Kedua, diri kita harus ditempa melalui kemandirian. Dalam fiqih, dikenal istilah taklif hukum. Orang yang sudah dikenai pertanggungjawaban hukum disebut mukallaf. Ia sudah berkewajiban menjalani syariat Islam, seperti shalat, zakat, dan lain-lain. Jika melakukan kesalahan yang terkait dengan masalah pidana (jinayah), ia juga dapat dikenai sanksi. Taklif ini menunjukkan bahwa seorang muslim sudah mandiri secara pribadi dari sudut pandang agama.
Hanya ada 3 golongan manusia yang tidak terkena taklif hukum. Dalam hadis disebutkan:
رفع القلم عن ثلاثة:عن النائم حتى يستيقظ، وعن الصبي حتى يحتلم، ، وعن المجنون حتى يعقل (رواه أبو داود)
Catatan pena amal tidak dituliskan atas tiga golongan: (1) orang tidur sampai ia bangun, (2) anak kecil sampai ia baligh, (3) orang gila hingga ia sehat berakal. Maknanya, hanya 3 kategori manusia ini saja yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Selain mereka, tentu tidak bisa lolos dari jeratan hukum.
Ketika kita baligh, yang ditandai dengan mimpi basah bagi laki-laki dan haidh bagi perempuan, maka pada saat itulah kita mulai berstatus mukallaf. Punya tanggung jawab secara hukum. Dan mestinya mulai saat itu pula kita harus mandiri, baik secara pribadi maupun ekonomi. Orangtua sudah mencapai tugasnya secara paripurna dalam mengantarkan kita ke tahap hidup yang sebenarnya.
Kita perlu mencontoh Rasulullah yang sejak kecil ditempa dan dikondisikan hidup mandiri. Karena yatim-piatu, beliau selalu bekerja keras. Membantu pamannya berdagang ke berbagai daerah nan jauh. Diberi amanah menggembala hewan ternak. Berbisnis sejak usia muda. Beragam pahitnya hidup pernah dijalani beliau.
Maka, dulu ketika lulus Madrasah Aliyah, saya berusaha mengkondisikan diri supaya mandiri. Tak lagi tergantung orangtua. Apalagi minta-minta. Saya cari beasiswa untuk biayai kuliah. Bermacam pekerjaan saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Mulai dari nulis di koran, menjadi guru les privat, editor, pramusaji hingga tukang cuci motor dan mobil. Saya berprinsip, sebagai anak laki-laki, apalagi anak pertama, saya tak boleh menambah beban orangtua.
Ketiga, terus menebar kebajikan hingga keberadaan kita dirindukan. Perlu diingat, tiap kebaikan cenderung mudah dilupakan. Berbeda halnya dengan keburukan, sangat mudah direkam ingatan, bahkan tersimpan menjadi dendam tujuh turunan. Karena itu, kita harus istiqamah berbuat baik kepada siapa pun, di mana pun, kapan pun. Sebab, semua perbuatan kita sebenarnya akan selalu diperhatikan, lalu dijadikan tolak ukur untuk menilai kualitas diri kita.
وَقُلِ ٱعۡمَلُوا۟ فَسَیَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمۡ وَرَسُولُهُۥ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ ٱلۡغَیۡبِ وَٱلشَّهَادَةِ فَیُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمۡ تَعۡمَلُونَ
Artinya: Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” [Surat At-Taubah 105]
Bekal kedua
Pemimpin mutlak harus berilmu. Orang yang ditunjuk sebagai pemimpin mestilah orang yang memiliki kualitas terbaik, dalam banyak bidang. Hadis yang berbicara tentang kriteria pemilihan imam shalat sangat relevan dijadikan pijakan. Nabi SAW bersabda:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله، فإن كانوا في القراءة سواء فأعلمهم بالسنة، فإن كانوا في السنة سواء فأقدمهم هجرة، فإن كانوا في الهجرة سواء فأقدمهم سلما (رواه مسلم)
Jika dimaknai secara kontekstual, urutan prioritas dalam pemilihan pemimpin adalah: (1) yang paling vokal sebab ditunjang kecerdasan akal dan lisan; (2) paling berilmu dan ahli; (3) paling berkontribusi dan berpengalaman; dan (4) paling senior.
HOS Cokroaminoto, guru Presiden RI ke-1 Soekarno, pernah berpesan, “Jika kamu ingin jadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator.” Prof. Ali Mustofa Yaqub berujar, “Wa laa tamuwtunna illaa wa antum kaatibuwn.” Jangan sekali-kali meninggal kecuali sudah menulis, telah menghasilkan karya.
Dari berbagai hal tersebut, saya simpulkan bahwa untuk jadi pemimpin yang luar biasa, modal ilmu pengetahuan dan skill yang perlu dimiliki antara lain: (1) public speaking; (2) membaca-menulis; (3) ilmu dan keahlian di bidang yang digeluti; (4) pengalaman organisasi dan administrasi. Kemampuan berbahasa asing juga sangat membantu melengkapi itu semua.
Karena itu, fokuslah mengasah 4+1 aspek tersebut. Andai tidak bisa semua, kombinasi antara dua atau tiga kecakapan itu pun cukup untuk mengantarkan kita mendapat pekerjaan yang baik dan meniti karir hingga ke jenjang yang diharapkan. Dengan catatan, kecakapan itu benar-benar dikuasai dengan mahir, tidak setengah-setengah.
Jika disarikan, ada dua hal penting yang menjadi bekal bagi pemimpin. Pertama, kematangan sifat dan karakter. Dalam teori kecerdasan, diistilahkan dengan emotional dan spiritual quotient. Kedua, ilmu dan keahlian di bidang kelembagaan yang dipimpin. Istilahnya intellegence quotient. Milikilah dua bekal tersebut.
Last but not least, manajemen waktu yang baik dan integritas tentu menjadi dasar kuat untuk menopang itu semua. Disiplin, kerja keras, dan pantang menyerah juga bagian tak terpisahkan dalam proses menggapai cita-cita di waktu mendatang.
Masa muda itu periode yang sangat kritis dan sangat menentukan akan jadi apa kita di masa depan. Karena itu, jangan terbuai dengan urusan cinta dan asmara yang melenakan. Kurangi rebahan, perbanyak kegiatan produktif dan menghasilkan. Abaikan hal-hal yang tak penting, fokus saja pada tujuan.
Ingatlah sabda Nabi berikut ini:
من حسن إسلام المرء تركه ما لا يعنيه (رواه الترمذي)
Salah satu tanda sempurnanya keislaman seseorang adalah ia mampu meninggalkan hal-hal yang tidak patut, tidak penting, baginya.
Ahmad Asrof Fitri, khadim al-ilmi
Comments
Post a Comment