I.
PENDAHULUAN
Masalah
khilafiyah merupakan sesuatu yang sudah biasa terjadi pada realitas kehidupan
manusia, diantara masalah khilafiyah tersebut, ada yang menyelesaikannya dnan
mudah dan ada yang sulit pula menyelesaikannya. Khilafiyah dalam lapangan hokum
seharusnya tidak menjadi faktor pelemah dalam kedudukan hokum islam, justru
sebaliknya bisa memberikan kelonggaran pada orang banyak sebagai suatu rahmat.
Desember 2002
publik di gegerkan oleh kelahiran manusia cloning pertama. Sebelumnya cloning
hanya dilakukan pada tumbuhan dan hewan. Tapi karena kecangihan dalam bidang
medis,cloning mampu merambah pada dunia manusia.seperti teori yang di terapkan
pada hewan, proses cloning pada manusia tidak jauh berbeda. Cloning manusia
merupakan tekhnik membuat keturunan dengan kode genetic yang sama dengan
induknya yang berupa manusia.
Kalau dilihat
dari tekhnologinya cloning memang terbilang baru namun menurut sebagian
pendapat ada yang menyatakan bahwa tekhnologi ini setidaknya telah tersirat
melalui informasi alquran dan hadist nabi. Tepatnya ketika dalam Al-Qur’an dan Hadist
menguraikan tentang penciptaan Adam dan Hawa yang ada di dunia tanpa ayah dan
ibu, kemudian juga melalui kelahiran isa putra Maryam yang lahir tanpa ayah.
Islam sangat menghargai hasil
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi,termasuk tekhnologi cloning. Bahkan
lebih jauh manusia diperintahkan untuk memikirkan,mengali dan mengupayakan
seoptimal mungkin tentang semua ciptaan Tuhan. Dan bagi manusia sendiri
memikirkan dan memahami bagaimana dia diciptakan amatlah dianjurkan. Merujuk
pada stetment di atas maka pemakalah ingin mengetahui tentang pengertian khilafiyah,
faktor terjadinya khilafiyah dan contohnya dalam bidang medis yakni
pengkloningan manusia.
II.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas,
maka penulis mempunyai rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan
khilafiyah ?
2. Bagaimana faktor- faktor
terjadinya khilafiyah ?
3. Bagaimanakah khilafiyah seputar
penkloningan manusia ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Khilafiyah
Khilafiyah/ikhtilaf
merupakan term
yang diambil dari bahasa arab yang berarti berselisih, tidak sepaham. Sedangkan
secara terminologis khilafiyah adalah perselisihan paham atau pendapat di
kalangan para ulama fiqih sebagai hasil ijtihad untuk mendapatkan dan
menetapkan suatu ketentuan hokum tertentu. Dengan demikian masalah khilafiyah
merupakan masalah ijtihad sebagai hasil dari pemahaman terhadap sumber hukum
islam.[1]
Dalam literature lain disebutkan bahwa khilaf
berarti perbedaan, perselisihan, dan pertentangan. Khilafiyah
berarti masalah-masalah fiqh yang diperselisihkan, dipertentangkan,
diperdebatkan status hukumnya di kalangan ulama atau fuqaha` akibat dari
pemahaman dan penafsiran mereka terhadap nash yang masih zhanni dilalahnya
maupun hasil ijtihad dalam masalah-masalah yang belum ditunjuki nash secara
langsung.
Masalah khilafiyyah sudah ada dan muncul
di zaman sahabat, jadi bukan barang baru dan aneh. Khilafiyyah itu dalam
perkembangannya semakin banyak dan meluas di kalangan umat Islam pada masa-masa
berikutnya hingga zaman sekarang. Khilafiyyah terjadi hampir dalam semua
bidang, baik dalam soal politik, aqidah, tashawwuf, kalam, dan juga dalam
lapangan fiqh.[2]
Akan tetapi, khilafiyah dalam lapangan hukum islam
( fiqih ) selain dalam hal-hal yang ada ketegasannya dalam Al-Qur an dan
Hadits, tidak membawa keburukan, karena perselisihan tersebut merupakan
kelanjutan studi yang mendalam dan pemahaman maksud-maksud Al-Qur ‘an dan
hadist serta pengambilan hukum (istinbat) dari padanya.
Sepanjang sejarah hokum islam seorang faqih
selalu memakai mutiara pikiran yang telah dicapai oleh faqih lain. Perbedaan
dalam hal ini lebih tepat dikatakan sebagai perbedaan tinjauan , yang perbedaan
ini dapat disebut sebagai rahmat atau anugrah bagi kaum muslimin, sebab jika
sekiranya hanya satu pendapat saja yang ada tentulah kam muslimin akan
kesulitan dalam hidupnya. Dan bagaimanapun juga perselisihan dalam lapangan
tersebut hanya berkisar sampai bidang pendapat dan pikiran yang tidak sampai
pada persoalan fisik.[3]
B.
Faktor
Terjadinya Khilafiyah
Diantara faktor penyebab
terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:
1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash
Keshahihan suatu nash kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau
menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi
karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat ( terpercaya )tidaknya
seorang perowi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu hadist jik dibandingkan
dengan matan dan sanad lain.
2. Perbedaan dalam memahami nash
Dalam suatu nash, baik Al-Qur’an maupun hadist kadang-kadang terdapat
suatu kata yang mengandung makna ganda (musytarak) dan kata majazi /kiasan,
sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang
demikian itu, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Missal kata quru’
dalam surah Al-Baqoroh (2) ayat 228 mempunyai 2 arti yakni suci dan haid,
sehingga berapa lama iddah wanita yang dicerai boleh memilih apakah 3 kali
sucian atau 3 kali haid.[4]
3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan
nash-nash yang saling bertentangan.
Dalam suatu masalah kadang terdapat dua atau lebih nash yang
bertentangan, sehingga hokum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit
diputuskan.untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih nash yang lebih kuat
atau mencari titik temu dari nash nash tersebut. Dalam mengambil keputusn
inilah biasanya terjadi khilafiyah dari kalangan para ulama.
4. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai
sumber istinbath
Para mujtahid dalam memilih suatu hadist tau mencari suatu dalil,
mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda.
5. Perbedaan dalam perbendaharaan hadist
Diantara para sahabat kemngkinan besar banyak yang koleksi hadistnya
tidak sama, oleh karena itu perbedaan hadis yang dimiliki para mujtahid kan
menyebabkan mereka berbeda pendapat.
6. Perselisihan tentang illah dri suatu hokum
Perselisihan para mujtahid mengenai illat dari suatu hokum juga merupakan
salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fiqih.[5]
C.
Khilafiyah Mengenai Penkloningan
Manusia
1.
Pengertian Kloning
Klon berasal dari kata klόόn (yunani), yang artinya
tunas. Kloning adalah teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang
sama, baik dari segi hereditas maupun penampakannya. Kloning merupakan
pembuatan sebuah sel atau molekul yang seluruhnya identik dengan sel asalnya.
Kloning pertama kali digunakan untuk melukiskan suatu populasi sel atau
organisme yang semuanya berasal dari sel atau organisme tunggal, dengan jalan
reproduksi aseksual, sehingga semua individu dalam kloning itu mempunyai
susunan genetik yang sama.[6]
Dalam perkembangannya istilah klon
tidak hanya dikhususkan pada tumbuh-tumbuhan, tetapi sudah merebak pada dunia
fauna dan bahkan pada manusia. Sementara dalam buku karangan Imam Musbikin
menyebutkan bahwa istilah kloning berasal dari kata bahasa Inggris , cloning yaitu usaha untuk
menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses yang aseksual. Atau dengan
kata lain membuat foto copy atau penggandaan dari suatu makhluk melalui
cara-cara non seksual.[7]
2.
Kloning Manusia menurut
Khilafiyah para Ulama
Permasalahan kloning adalah merupakan kejadian
kontemporer (kekinian). Dalam kajian literatur klasik belum pernah persoalan
kloning dibahas oleh para ulama. Oleh karenanya, rujukan yang penulis kemukakan
berkenaan dengan masalah kloning ini adalah menurut beberapa pandangan
ulama kontemporer.
Para ulama mengkaji kloning dalam pandangan hukum
Islam bermula dari ayat berikut:
$¯RÎ*sù /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 5>#tè? §NèO `ÏB 7pxÿõÜR §NèO ô`ÏB 7ps)n=tæ ¢OèO `ÏB 7ptóôÒB 7ps)¯=sC Îöxîur 7ps)¯=sèC tûÎiüt7ãYÏj9 öNä3s9 4
É)çRur Îû ÏQ%tnöF{$# $tB âä!$t±nS ….
“… Kami telah menjadikan kamu dari tanah,
kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari
segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami
jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, apa yang Kami kehendaki …” (QS. 22/al-Hajj: 5).
Abul Fadl Mohsin Ebrahim berpendapat dengan mengutip
ayat di atas, bahwa ayat tersebut menampakkan paradigma al-Qur’an tentang
penciptan manusia mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada kloning. Dari
awal kehidupan hingga saat kematian, semuanya adalah tindakan Tuhan. Segala
bentuk peniruan atas tindakan-Nya dianggap sebagai perbuatan yang melampaui
batas.
Selanjutnya, ia mengutip ayat lain yang berkaitan
dengan munculnya prestasi ilmiah atas kloning manusia, apakah akan merusak
keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta? Abul Fadl menyatakan “tidak”,
berdasarkan pada pernyataan al-Qur’an bahwa Allah SWT telah menciptakan Nabi
Adam As. tanpa ayah dan ibu, dan Nabi ‘Isa As. tanpa ayah, sebagai berikut:
cÎ) @sVtB 4Ó|¤Ïã yZÏã «!$# È@sVyJx. tPy#uä (
¼çms)n=yz `ÏB 5>#tè? ¢OèO tA$s% ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÎÒÈ
“Sesungguhnya misal
(penciptaan) `Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang
manusia), maka jadilah dia” (QS. 3/Ali ‘Imran: 59).
Hal yang sangat jelas dalam kutipan ayat di atas
adalah bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah. Namun, kendati
Allah menciptakan sistem sebab-akibat di alam semesta ini, kita tidak boleh
lupa bahwa Dia juga telah menetapkan pengecualian-pengecualian bagi sistem umum
tersebut, seperti pada kasus penciptaan Adam As. dan ‘Isa As. Jika kloning
manusia benar-benar menjadi kenyataan, maka itu adalah atas kehendak Allah SWT.
Semua itu, jika manipulasi bioteknologi ini berhasil dilakukan, maka hal itu
sama sekali tidak mengurangi keimanan kita kepada Allah SWT sebagai Pencipta,
karena bahan-bahan utama yang digunakan, yakni sel somatis dan sel telur yang
belum dibuahi adalah benda ciptaan Allah SWT.
Islam mengakui hubungan suami isteri melalui
perkawinan sebagai landasan bagi pembentukan masyarakat yang diatur berdasarkan
tuntunan Tuhan. Anak-anak yang lahir dalam ikatan perkawinan membawa
komponen-komponen genetis dari kedua orang tuanya, dan kombinasi genetis inilah
yang memberi mereka identitas. Karena itu, kegelisahan umat Islam dalam hal ini
adalah bahwa replikasi genetis semacam ini akan berakibat negatif pada hubungan
suami-isteri dan hubungan anak-orang tua, dan akan berujung pada kehancuran
institusi keluarga Islam. Lebih jauh, kloning manusia akan merenggut anak-anak
dari akar (nenek moyang) mereka serta merusak aturan hukum Islam tentang waris
yang didasarkan pada pertalian darah.[8]
Munculnya kloning terutama kloning manusia memang mengundang
banyak perbincangan dari berbagai macam kalangan. Diantaranya adalah muncul
dari kalangan ahli tafsir yang salah satunya diwakili oleh Prof. Dr. M. Quraisy
Shihab, MA yang mengatakan bahwa “ Islam tidak pernah memisahkan
ketetapan-ketetapan hukumnya dari moral” sehingga dalam kasus kloning, walaupun
dalam segi aqidah tidak melanggar wilayah kodrat Ilahi, namun karena dari moral
teknologi kloning dapat mengantar pelecehan manusia, maka larangan lahir dari
aspek ini.[9]
Berikutnya, KH. Ali Yafie dan Dr. Armahaedi Mahzar
(Indonesia), Abdul Aziz Sachedina dan Imam Mohamad Mardani (AS) juga
mengharamkan, dengan alasan mengandung ancaman bagi kemanusiaan, meruntuhkan
institusi perkawinan atau mengakibatkan hancurnya lembaga keluarga, merosotnya
nilai manusia, menantang Tuhan, dengan bermain tuhan-tuhanan, kehancuran moral,
budaya dan hukum.
Selanjutnya pernyataan yang senada juga dikemukakan
oleh M. Kuswandi, staf pengajar Fakultas Farmasi UGM Yogyakarta yang berpendapat bahwa teknik kloning diharamkan,
dengan argumentasi: menghancurkan institusi pernikahan yang mulia (misal:
tumbuh suburnya lesbian, tidak perlu laki-laki untuk memproduksi anak), juga
akan menghancurkan manusia sendiri (dari sudut evolusi, makhluk yang sesuai
dengan environment-nya yang dapat hidup).
Sedangkan ulama yang membolehkan melakukan kloning
mengemukakan alasan sebagai berikut:
a. Dalam Islam, kita selalu diajarkan untuk menggunakan akal dalam memahami
agama.
b. Islam menganjurkan agar kita menuntut ilmu (dalam hadits dinyatakan bahkan
sampai ke negri Cina sekalipun).
c. Islam menyampaikan bahwa Allah selalu mengajari dengan ilmu yang belum ia
ketahui (lihat QS. 96/al-’Alaq).
d. Allah menyatakan, bahwa manusia tidak akan menguasai ilmu tanpa seizin
Allah (lihat ayat Kursi pada QS. 2/al-Baqarah: 255).
Dengan landasan yang demikian itu, seharusnya kita
menyadari bahwa penemuan teknologi bayi tabung, rekayasa genetika, dan kemudian
kloning adalah juga bagian dari takdir (kehendak) Ilahi, dan dikuasai manusia
dengan seizin-Nya. Penolakan terhadap kemajuan teknologi itu justru
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diajarkan dalam Islam.
Ada juga di kalangan umat Islam yang tidak
terburu-buru mengharamkan ataupun membolehkan, namun dilihat dahulu sisi-sisi
kemanfaatan dan kemudharatan di dalamnya. Argumentasi yang dikemukakan sebagai
berikut:
Perbedaan pendapat di kalangan ulama dan para ilmuan
sebenarnya masih bersifat tentative, bahwa argumen para ulama/ilmuan
yang menolak aplikasi kloning pada manusia hanya melihatnya dari satu sisi,
yakni sisi implikasi praktis atau sisi applied science dari teknik
kloning. Wilayah applied science yang mempunyai implikasi sosial praktis
sudah barang tentu mempunyai logika tersendiri. Mereka kurang menyentuh sisi pure
science (ilmu-ilmu dasar) dari teknik kloning, yang bisa berjalan terus di
laboratorium baik ada larangan maupun tidak. Wilayah pure science juga
punya dasar pemikiran dan logika tersendiri pula.
Dalam mencari batas “keseimbangan” antara kemajuan
IPTEK dan Doktrin Agama, pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauh mana para
ilmuan, budayawan dan agamawan dapat berlaku adil dalam melihat kedua fenomena
yang berbeda misi dan orientasi tersebut? Menekankan satu sisi dengan melupakan
atau menganggap tidak adanya sisi yang lain, cepat atau lambat, akan membuat
orang “tertipu” dan “kecewa”. Dari situ barangkali perlu dipikirkan format
kajian dan telaah yang lebih seimbang, arif, hati-hati untuk menyikapi dan
memahami kedua sisi tersebut sekaligus. Sudah tidak zamannya sekarang, jika
seseorang ingin menelaah persoalan kloning secara utuh, tetapi tidak
memperhatikan kedua sisi tersebut secara sekaligus.
Selanjutnya, ada pula agamawan sekaligus ilmuan
menyatakan bahwa tujuan agama menurut penuturan Imam al-Syatibi yang bersifat dharuri
ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh karena
itulah maka kloning itu kita uji dari sesuai atau tidaknya dengan tujuan agama.
Bila sesuai, maka tidak ada keberatannya kloning itu kita restui, tetapi bila
bertentangan dengan tujuan-tujuan syara’ tentulah kita cegah agar tidak
menimbulkan bencana. Kesimpulan yang diberikan klonasi ovum manusia itu
tidak sejalan dengan tujuan agama, memelihara jiwa, akal, keturunan maupun
harta, dan di beberapa aspek terlihat pertentangannya.[10]
Kemudian dalm musyawarah nasional VI MUI yang
diselenggarakan pada tanggal 23-27 Rabi’ul Akhir 1421H/ 25-29 Juli 2000 M yang
membahas tentang cloning menetapkan bahwa cloning manusia memberikan manfaat
dan madharat yaitu:
1. Cloning manusia dapat membawa manfaat antara lain : rekayasa genetik lebih
efisien dan manusia tidak perlu khawatir akan kekurangan organ tubuh pengganti
yang diperoleh melalui donor , dengan cloning ia tidak lagi kekurangan ginjal,
hati, jantung, darah dan sebagainya karena ia akan mendapatkannya dari manusia
hasil teknologi cloning.
2. Cloning manusia juga mendatangkan mafsadat (dampak negative ) yang tidak
sedikit yaitu :
a. Menghilangkan nasab anak hasil koning yang berakibat hilangnya hak anak dan
terabaikannya sejumlah hukum yang timbul dari nasab.[11]
b. Institusi perkawinan yang telah disyari’atkan sebagai media berketurunan
secara sah menjdi tidak diperlukan lagi, karena proses reproduksi dapat
dilakukan tanpa melakukan hubungan seksual.
c. Lembaga keluarga (yang dibangun melalui pernikahan ) akan menjadi hancur
dan pada gilirannya akan terjadi pula kehancurn moral, budaya, hokum, dan
syariah islam lainnya.
d. Tidak akan lagi ada rasa saling mencintai dan saling memerlukan antara
laki-laki dan perempuan.
e. Hilangnya maqashid syariah dari perkawinan baik maqashid awwaliyah (utama )
maupun maqashid tabi’ah (sekunder ).
Dengan melihat pada hal tersebut maka MUI memutuskan
cloning terhadap manusia dengan cara bagaimanapun yang berakibat pada
pelipatgandaan manusia hukumnya adalah haram.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan yang telah disampaikan oleh pemakalah maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut :
1. Khilafiyyah yaitu masalah-masalah fiqh yang diperselisihkan,
dipertentangkan, diperdebatkan status hukumnya.
2. Faktor terjadinya khilafiyah yakni : perbedaan mengenai sahih dan tidaknya
nash, perbedaan dalam memahami nash, perbedaan dalam menggabungkan dan
mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan, perbedaan dalam kaidah-kaidah
ushul sebagai sumber istinbath, perbedaan dalam perbendaharaan hadist, perselisihan
tentang illah dari suatu hukum.
3. Kloning adalah teknik penggandaan gen yang menghasilkan keturunan yang
sama. Sehingga dalam kasus yang kita jumpai sekarang ini pengkloningan manusia
masih menjadi perdebatan hokum di kalangan para ahli.
B. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami buat.
semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada pembaca khususnya pemakalah, untuk
itu kami minta maaf jika dalam penulisan makalah ataupun penyampaian
makalah terdapat kesalahan, karena kita
sama-sama dalam proses belajar. kesempurnaan hanyalah milik Allah. Kritik dan
saran akan kami tunggu untuk memperbaiki makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Masdi,
Menyingkap Tabir Perbedaan Pemikiran Teologis, Idea Press
Yogyakarta : Yogyakarta, 2009
Eko Budi Minarto, Pengantar Bioetika Dalam Perspektif Sains
& Islam, (Malang: UIN Maliki Press, 2010)
Imam Musbikin, Manusia Kloning
Yang Pertama Telah Lahir, (Yogyakarta : DIVA Press, 2010)
Tim
Perumus Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK, (Jakarta:
Rajawali Press, 1998)
Abdul
Aziz dkk, Paradigma Fiqh Masail, (Kediri : Perc. Sumenang, 2005 )
Abraham4544.wordpress.com//hukum-kloning-dalam-perspektif-islam.26
Februari 2014 pukul 11.52
http//Adab
menyikapi khilafiyah, ali trigiyatno, 23 Februari 2014 pukul 13.15
http//www.Tintaguru.com/2012/01/al-ikhtilaf-dan-sebab-sebab
html, diakses pada 27 Mei 2014 pukul 08.13
http//rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-mazhab-dan-sebab-sebabnya.html
diakses pada 27 Mei 2014 pukul 09.17
[1]
http//www. Tintaguru.com/2012/01/al-ikhtilaf-dan-sebab-sebab html, diakses pada
27 Mei 2014 pukul 08.13
[2] http//Adab
Menyikapi Khilafiyah, Ali Trigiyatno, 23 Februari 2014 pukul 13.15
[3] Masdi, Menyingkap
Tabir Perbedaan Pemikiran Teologis, Idea Press Yogyakarta : Yogyakarta,
2009, hlm. 32
[4]Zen
Amiruddin, Ushul Fiqih, Yogyakarta: Teras Yogyakarta, 2009, hlm. 157
[5]http//rifka-abdillah.blogspot.com/2012/04/perbedaan-mazhab-dan-sebab-sebabnya.html
diakses pada 27 Mei 2014 pukul 09.17
[6] Eko Budi Minarto, Pengantar
Bioetika Dalam Perspektif Sains & Islam, (Malang: UIN Maliki Press,
2010), hal.57
[7] Imam Musbikin,
Manusia Kloning Yang Pertama Telah Lahir, (Yogyakarta : DIVA Press,
2010), hlm.19-20
[8]
Abraham4544.wordpress.com//hukum-kloning-dalam-perspektif-islam.26 Februari
2014 pukul 11.52
[9] Tim Perumus
Fakultas Teknik UMJ Jakarta, Al-Islam dan IPTEK, (Jakarta: Rajawali
Press, 1998), hlm.267
[10] Abraham 4544, Op.
Cit.
[11] Abdul Aziz
dkk, Paradigma Fiqh Masail,(Kediri : Perc. Sumenang, 2005 ), hlm. 261
[12] Imam Musbikin,
Op. Cit, hlm.312-315
Comments
Post a Comment