BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATARBELAKANG
Sejarah ekonomi
islam tidak muncul begitu saja. Melainkan melalui beberapa tahap. Sepanjang
sejarah ekonomi islam, para pemikir dan pemimpin muslim sudah mengembangkan
berbagai gagasan ekonominya sedemikian rupa, sehingga mengharuskan kita untuk
menganggap mereka sebagai pencetus ekonimi ialam sesungguhnya. Pendekatan
sejarah sosial dalam pemikiran hukum islam pada dasarnya merupkan hasil
interaksi antara si pemkir dengan lingkungan sosial-kulturalatau
sosial-polotiknya. Oleh karena itu, produk pemikiran yang ada sebenarnya
bergantungan kepada lingkungannya. Pendekatan ini memperkuat alasan dengan
menunjuk kepada kenyataan sejarah bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap
sebagai hukum islam itu sebenarnya tidak lebih dari hasil interpretasi tersebut.
Dalam sejarah ekonomi islam banyak tokokh-tokoh pemikiran yang bermunculan,
maka dalam makalah ini akan mencoba menjelakan tentang pemikiran Abu Ubaid dan
Yahya bin Umar.
B.
RUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimana biografi Abu Ubaid ?
b.
Bagaimana pemikiran ekonomi Abu Ubaid ?
c.
Bagaimana biografi Yahya bin Umar ?
d.
Bagaimana pemikiran ekonomo Yahya bin Umar ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Abu Ubaid
Abu ubaid bernama lengkap Al-Qosim bin sallam bin Miskin bin Zaid
Al-Harawi Al-Hazadi Al-Baghdadi. Ia lahir pada tahun 150 H di kota Harrah
Khurasan, sebelah barat laut Afganistan.[1]
Beliau pertama
kali belajar di kota asalnya, lalu pada usia 20-an pergi ke Kufah, Basrah, dan
Bagdad untuk belajar tata bahasa arab, qira’ah, tafsir, hadis, dan fikih.
Pada tahun 192 H, Tsabit Ibn Nasr Ibn Malik ( Gubernur Thugur ) dimasa
pemerintahan Kholifah Harun Al-Rasid, mengangkat Abu Ubaid menjadi qodi
(hakim). Beliau juga merupakan seorang ahli Hadits dan ahli Fuqoha yang
terkemuka dimasa hidupnya. Beliau wafat dimakkah pada tahun 224 H.[2]
Hasil karyanya
ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fiqih, syair.
Yang tersebar dan terkenal adalah kitab al-amwal yang merupakan suatu
karya yang lengkap tentang permasalahan keuangan negara dalam islam. Buku ini
sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua hijriyah.
Maka dapat
disimpulkan kitab AL-Munair secara khusus menfokuskan perhatiannya pada masalah
keuangan publik (public finance) serta membahas permasalahan administrasi
permintaan.
Berdasarkan hal
tersebut, Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim terkemuka
pada awal abad 3 H. Yang menetepkan revitalisasi perekonomian berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits.[3]
B.
Pemikiran Ekonomi Abu Ubaid
1.
Filosof Hukum dari Sisi Ekonomi
Jika isi kitab Al-munawir dievaluasi dari sisi filosofi hukum, akan
tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama yang akan
membawa kepada kesejahteraan konomi dan keselarasan sosial. Disisi lain Abu
Ubaid juga menekankan bahwa perbendaharaan negara tidak boleh disalah gunakan
atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadi.
Kaum muslim juga
dilarang untuk menarik pajak terhadap tanah penduduk non-muslim melebihi dari
pada apa yang diperbolehkan dalam perjanjian perdamaian. Dengan kata lain Abu
Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam
perpajakan. Namun demikian, baginya keberagaman tersebut hanya sah apabila
aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihat.
a.
Dikotami Badui – Urban
Dalam dokotami badui urban Abu ubaid menegaskan bahwa, pendapatnya
bertentangan dengan kaum badui, kaum urban:
1.
Ikut serta dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban
administratif dari semua kaum muslimin.
2.
Memelihara dan memperkuat pertahan sipil melalui mobilisasi jiwa
dan harta mereka.
3.
Menggalangkan pendidikan melalui proses belajar-mengajar Al-Qur’an
dan Sunnah serta penyebaran keunggulannya.
4.
Memberikan kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui
pembelajaran dan penerapan hudud.
5.
Memberikan contoh universalisme islam dengan shalat berjamaah.
b.
Kepemimpinan dalam konteks kebijakan perbaikan pertaniaan
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan
publik karna pendekatan terhadap kepemilikan tersebut sudah sangat dikenaldan
dibahas secara luas oleh banyak ulama. Sesuatu yang baru dalam hubungan antara
kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid
secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah
gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individudari tanah tandus atau
tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sedagai insentif
untuk meningkatkan produk pertanian, maka tanah yang diberikan dengan
persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak. Jika
dibiarkan sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah
yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban
membayar pajak, jika dibiarkan mengaggur selama tiga tahun berturut-turut akan
didenda dan kemudian akan dialihkan kepemilikannya oleh imam.
c.
Pertimbangan kebutuhan
Dalam pertimbangan kebutuhan, Abu Ubaid sangat menentang pendapat
yang menyatakan bahwa perbagian harta zakat harus dilakukan secar merata
diantara delapan kelompok penerimaan zakat dan cenderung menentukan suatu batas
tertinggi terhadap bagian perorangan. Bagi Abu Ubaid, yang paling utama adalah
memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar, seberapapun besarnya, serta bagaimana
menyelamatkan orang-orang dari bahaya kelaparan. Oleh karena itu, pendapatan yang
digunakan Abu Ubaid ini mengidentifikasikan adanya tiga kelompok sosio-ekonomi
yang terkait dengan setatus zakat, yaitu:
a.
Kalangan kaya yang terkena wajib zakat
b.
Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak
berhak menerima zakat
c.
Kalangan menerima zakat
d.
Fungsi Uang
Pada prinsipnya, Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang, yakni
sebagai standar nilai pertukaran (standard of exchange value) dan media
pertukaran (medium of exchange).[4]
C.
Biografi Yahya bin Umar
Yahya bin Umar merupakan salah seorang fuqaha mazhab Maliki. Nama
lengkap Yahya ialah Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al-kannani Al-andalusia,
beliau lahir pada tahun 213 H dan dibesarkan di kordova, spanyol. Seperti
halnya ilmuan terdahulu, beliau berkelana untuk menuntut ilmu. Pada mulanya
beliau singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullah bin
wahab Al-Qasim, seperti ibnu Al-Zhahir bin Al-Sarh. Setelah itu, beliau pindah
ke Hijaz dan wafat pada tahun 289 H. Selain mengajar, beliau juga banyak
menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz,
tetapi karya yang terkenal adalah: kitab Ahkam Al-Suq. Kitab ini merupakan
kitab pertama kali di dunia islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai
hukum pasar. [5]
1.
Pemikiran ekonomi Yahya Bin Umar
Menurut Yahya Bin Umar, aktivitas ekonomi merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari ketaqwaan seorang Muslim kepada swt. Hal ini berarti
bahwa ketaqwaan merupakan asas dalam perekonomian islam, oleh karena itu
disamping Al-Qur’an, setiap Muslim juga berpegang teguh pada sunnah dalam
melakukan aktivitas ekonominya. Seperti yang telah disinggung oleh beliau pada
hukum-hukum pasar dalam pembahasan tas’ir (penetapan harga). Pemeritah sebagai institut formal yang memikul tanggung
jawab menciptakan kesejahteraan umum, pemerintah berhak melakukan intervensi
harga ketika terjadi suatu aktivitas yang dapat membahayakan kehidupan
masyarakat luas. Yahya bin Umar menyatakan pemerintah tidak boleh melakukan
intervensi, kecuali:
a.
Para pedagang tidak memperdagangkan barang dagangan yang sangat
dibutuhkan masyarakat.
b.
Para pedagang melakukan praktik siyasah al-ighraq atau banting
harga (dumping)
Hal ini sesuai tugas yang dibebankan kepada pemerintah dalam
mewujudkan keadilan sosial disetiap aspek kehidupan masyarakat. Disamping
melarang praktik tas’ir beliau juga mrndukung kebebasan ekonomu, tetapi
kebebasan yang dimaksud bukan seperti kebebasan ekonomi konvensional, tetapi
kebebasan yang terkait oleh syari’at islam. Kebebasan ekonomi tersebutjuga
berarti bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar. Namun, Yahya bin Umar
menambahkan bahwa mekanisme harga itu harus tunduk kepada kaidah-kaidah,
diantara kaida tersebut seperti pemerintah berhak untuk melakukan intervensi
ketika terjadi tindakan sewenang-wenang
dalam pasar.[6]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa Abu Ubaid adalah maula suku Azad, beliau lahir pada tahun 150H dan wafat
pada tahun 224 H. Nama lemgkap beliau adalah Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin
Zaid Al-Harawi Al-Azadi Al-Bagdadi. Dalam pemikirannya, beliau merefleksikan
perlunya memelihara dan mempertahankan hk dan kewajiban masyarakat, menjadikan
keadilan sebagai prinsip utama dalam menjalankan roda kebijakan pemerintah,
serta menekankan rasa persatuan dan tanggung jawab bersama. Disamping itu, Abu
Ubaid juga secara tegas menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan standar
kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim.
Sedangkan Yahya bin Umar bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf
Al-kanani Al-Andalusia, beliau lahir pada tahun 213 H dan wafat pada tahun 289
H. Hasil karya beliau yang terkenal adalah kitam ahkam Al-suq yang
membahastentang hukum syara’ dalam perbedaan peraturan timbangan dan takaran
perdagangan.
B.
SARAN
Demikian
makalah yang dapat dapat kami sampaikan, apabila ada kekurangan dalam menulis
dan menerangkan, kami minta maaf serta dengan senang hati menerima saran,
masukan dan solusi. Untuk makalah yang akan datang. Semoga bermanfaat untuk
kita semua Amin.
[1] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm;242
[3] Adiwarman Azam Karim, ibid,
halm;244
[4] Ibid, halm;251-257
[5] Ibid, halm;261-264
[6]
http://muhammadsubhan.wordpress.com_pemikiran_ekonomi_yahya_bin_umar_dalam_perspektif_ekonomi_modern(diunduhpada
2013/10)
Comments
Post a Comment