BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kehidupan manusia tidak bisa dipisahkan dengan masalah ekonomi yang
mana melibatkan hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya. Hubungan
itu harus didasarkan pada norma-norma agama islam yang mengatur segala aspek
kehidupan termasuk yang berkaitan dengan masalah mu’amalah. Dalam konteks usaha
mengembangkan sistem ekonomi islam, kita mencoba melihat sebuah konsep
pemikiran yang sangat brilian pada waktu itu, sebagai inspirasi dan petunjuk.
Untuk itu penulis coba menyampaikan pokok-pokok pikiran dari salah satu ulama
yaitu: syaikhul islam ibnu Taimiyah yang berkaitan dengan masalah ekonomi. Ia
hidup pada akhir abad ke 7 dan awal abad ke 8 hijriyah, dia memiliki ilmu
pengetahuan yang sangat dalam tentang
ajaran islam. Islam masa kini membutuhkan pandangan ekonomi yang jernih tentang
apa yang diharapkan dan bagaimana sesuatu itu bisa dilakukan. Untuk mewujudkan
hal tersebut diperlukan kebebasan dalam berusaha dan hak milik, yang dibatasi
oleh hukum moral dan diawasi oleh negara yangb adil dan mampu menegakkan hukum
syariat. Seluruh kegtiatan ekonomi diperbolehkan,kecuali yang secara tegas
dilarang oleh syari’at.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana biografi ibnu Taimiyah?
2.
Bagaimana pemikiran ekonomi ibnu Taimiyah?
3.
Bagaimana biografi as syatibi?
4.
Bagaimana pemikiran ekonomi as syatibi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim
lahir di kota Harran pada tanggal 22 januari 1263 M, (10 Rabi’ul awal 661H). Ia
berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah paman dan kakeknya
merupakan ulama besar Mazhab Hambali dan penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, ibnu Taimiyah yang masih
berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti
tafsir, hadits, fiqih, matematika, dan filsafat serta berhasil menjadi yang
terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru ibnu Taimiyah berjumlah 200
orang, diantaranya adalah syamsuddin Al Maqdisi, Ahmad bin Abu Al khair, Ibnu
Abi Al Yusr, dan Al Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
Ketika berusia 12 tahun, ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan
oleh gurunya yaitu Syambuddin al maqisi untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat
yang bersamaan ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalaman
ilmu ibnu Taimiyah memperoleh
penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala
kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai
batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.[1]
B.
Pemikiran Ekonomi Ibnu Taimiyah
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya
tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as Syar’iyyah fi Ishlah ar
–Rai wa ar Ra’iyyah dan al- Hisbah fi al-islam.
a.
Harga yang adil
Konsep harga yang adil pada hakikatnya telah ada dan digunakan
sejak awal kehadiran islam. Alqur’an sendiri sangat menekankan keadilan dalam
setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu, adalah hal yang wajar
jika keadilan juga diwujudkan dalam aktifitas pasar, khususnya harga. Berkaitan
dengan hal ini, Rasulullah Saw menggolongkan riba sebagai penjualan yang
terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.
Pemikiran ibnu Taimiyah menyatakan bahwa naik turunnya harga tidak
selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat
transaksi. Bisa jadi penyebabnya adalah penawaran yang menurun akibat produksi,
penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar.
Karena itu, jika permintaan terhadap barang meningkat sedangkan penawaran
menurun, harga tersebut akan naik.[2]
Istilah harga adil telah disebutkan dalam beberapa hadits nabi
dalam konteks kompensasi seorang pemilik, misalnya dalam kasus seorang majikan
yang membebaskan budaknya. Dalam hal ini , budak tersebut menjadi manusia
merdeka dan pemiliknya memeproleh sebuah kompensasi dengan harga yang adil.
Konsep ibnu taimiyah mengenai kompensasi yang setara (‘imadh
al-mitsl) tidak sama dengan harga yang adil 9 tsaman al-mitsl). Persoalan
tentang kompensasi yang adil atau setara muncul ketika mengupas persoalan
kewajiban moral dan hukum. Menurutnya, prinsip-prinsip ini terkandung dalam
beberapa kasus berikut:
1.
Ketika seseorang harus bertanggungjawab karena membahayakan orang
lain atau merusak harta dan keuntungan.
2.
Ketika seseorang mempunyai kewajiban untuk membayar kembali
sejumlah barang atau keuntungan yang setara atau membayar ganti rugi terhadap
luka-luka sebagian orang lain.
3.
Ketika seseorang diminta untuk menentukan akad yang rusak dan akad
yang shahih dalam suatu peristiwa yang menyimpang dalam kehidupan dan hak
milik.
Konsep upah yang adil
pada abad pertengahan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai
tingkat upah yang wajib diberikan pada para pekerja sehingga mereka dapat hidup
secara layak di tengah-tengah masyarakat. Berkenaan dengan hal ini, ibnu
taimiyah mengacu pada tingkat harga yang berlaku dipasar tenaga kerja dan
menggunakan istilah upah yang setara.
Konsep laba yang adil
Ibnu taimiyah mengakui ide tentang keuntungan yang merupakan
motivasi para pedagang. Menurunya, para pedagang berhak memperoleh keuntungan
melalui cara-cara yang dapat diterima secara umum tan pa merusak kepentingan
dirinya sendiri dan kepentingan para pelanggannya.
b.
Mekanisme pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tentang
bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran. Ibnu taimiyah menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi
local dan impor barang-barang yang diminta. Untuk menggambarkan suatu
permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah
fial-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu yakni barang. Hasrat merupakan
salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan
yang tidak disebutkan oleh ibnu taimiyah perubahan dalam supply digambarkan
sebagai kenaikkan atau penurunan dalam persediaan barang-barang, yang
disebabkan oleh dua faktor, yakni produksi local dan impor
Ibnu taimiyah mencatat beberapa faktor yang mempengaruhi permintaan
serta konsekuensinya terhadap harga, yaitu:
1.
Keinginan masyarakat (raghbah) terhadap berbagai jenis
barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
2.
Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang
3.
Lemah atu kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau
kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan
4.
Kualitas pembeli jika pembeli adalah seorang kaya dan terpercaya
dalam membayar hutang, harga yang diberikan lebih rendah.
5.
Jenis uang yang digunakan dalam transaksi
6.
Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikan resiprokal
diantara kedua belah pihak
7.
Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau
penjual.[3]
c.
Regulasi harga
setelah menguraikan secara panjang lebar tentang konsep harga yang
adil dan mekanisme pasar, ibnu taimiyah melanjutkan pembahasan dengan pemaparan
secara detail mengenai konsep kebijakan pengendalian harga oleh pemerintah,
seperti akan terlihat, tujuan regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan
serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.
Ibnu taimiyah membedakan dua jenis penetapan harga, yakni penetapan
harga yang tidak adil dan cacat hukum serta penetapan harga yang adil dan sah
menurut hukum. Penetapan harga yang tidak adil dan cacat hukum adalah penetapan
harga yang dilakukan pada saat kenaikkan harga-harga terjadi akibat persaingan
pasar bebas, yakni kelangkaan supply atau kenaikkan demand.
1). Pasar yang tidak sempurna
Disamping dalam kondisi kekeringan dan perang, ibnu taimiyah
merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga
pada saat ketidaksempurnaan melanda
pasar.
2). Musyawarah untuk menetapkan harga
Sebelum menetapkan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu
pemerintah harus melakukan musyawarah
dengan masyarakat terkait.[4]
C.
Riwayat Hidup Al-Syatibi
Al-syatibi yang nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad
Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas ia berasal dari suku
arab lakhmi. Nama Al-Syatibi dinisbatkan kedaerah asal keluarganya, Syatiba
(xatiba atau jativa) yang terletak di kawasan spanyol bagian timur.
Al-syatibi yang nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad
Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas ia berasaldari suku
arab lakhmi. Masa mudanya bertepatan dengan
masa pemerintahan Sultan Muhammad V Al-Ghani Billah yang merupakan masa
keemasan umat islam setempat karena granada menjadi pusat kegiatan ilmiah
dengan berdirinya Universitas Granada. Suasana ilmiah yang berkembang dengan
baik di kota tersebut sangat menguntungkan bagi Al-Syatibi dalam menuntut ilmu
serta mengembangkannya. Tokoh yang bermazhabmaliki ini mendalami berbagai ilmu,
baik yang berbentuk ‘ulum al-wasil (metode) maupun ‘ulum al-maqashid (esensi
dan hakikat). Namun Al-Syatibi lebih berminat untuk memeplajari bahasa arab
khususnya ushul fiqih.
Setelah memperoleh ilmu pengetahuan yang memadai, Al-Syatinbi
mengembangkan potensi keilmuwannya dengan mengajarkan kepada para generasi
berikutnya. Al-Syatibi wafat pada tanggal 8 Sya’ban 790 H (1388 M).
D.
Pemikiran Ekonomi Al-syatibi
a.
Konsep Maqasid Al-syari’ah
Secara bahasa maqasid al-syari’ah terdiri dari dua kata, yakni
maqashid dan al-syari’ah. Maqashid berarti kesengajaan atau tujuan sedangkan
a-syari’ah berarti jalan menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan
kearah sumber pokok kehidupan. Menurut istilah, al-syatibi menyatakan,
sesungguhnya syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan didunia ini dan
akhirat.
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah menyangkut
perlindungan maqashid al-syari’ah yang pada gilirannya bertujuan melindungi
kemaslahatan manusia. Al-syatibi menjelaskan bahwa syari’ah berurusan dengan
perlindungan mashalih, syari’ah mengambil berbagai tindakan untuk menunjang
landasan-landasan mashalih walaupun dengan cara preventif seperti syari’ah
mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara aktual
atu potensial merusak mashalih.
1.
Pembagian maqashid al-syatibi
Menurut al-syatibi, kemaslahatan manusia dapat terealisasi apabila
lima unsur pokok kehidupan dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini ia membagi maqashid menjadi tingkatan yaitu, dharuriat, hajiyat,
dan tahsiniyat.
a). Dharuriyat
jenis maqashid ini merupakan kemestian dan landasan dalam
menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan akhiran yang mencangkup
pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia.
b). Hajiyat
jenis maqashid ini dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan,
menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap
terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia
c). Tahsiniyat
tujuan maqashid ini adalah agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan unsur pokok kehidupan manusia. Ia
tidak di maksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan,
tetapi hanya bertidak sebagai pelengkap, penerang, dan penghias kehidupan
manusia.
b.
Beberapa pandangan al-syatibi di bidang Ekonomi
1.
Objek kepemilikan
Pada dasarnya, al-syatibi mengakui hak milik individu. Namun ia
menolak kepemilikan individu terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai
hajat hidup orang banyak. Ia menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan
dan penggunanya tidak bisa di miliki oleh seorangpun. Dalam hal ini, ia
membedakan dua macam air yaitu: air yang tidak dapat dijadikan sebagai
kepemilikan dan air yang sebagai di jadikan sebagai objek kepemilikan.
2.
Pajak
Dalam pandangan al-syatibi, pengumutan pajak harus dilihat dari
sudut pandang maslahah (kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para
pendahulunya, seperti Al-Ghazali dan ibnu Al-Farra’, ia menyatakan bahwa
pemeliharaan kepentingan umum secara isensial adalah tanggungjawab ini,
masyarakat dapat mengalihkannya kepada baitul mal serta menyumbangkan sebagian
kekayaan mereka sendiri untuk tujuan tersebut. Oleh karena itu, pemerintah
dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun pajak tersebut
belum pernah dikenal dalam sejarah islam.[5]
c.
Karya as syatibi
Berikut adalah daftar karya as syatibi yang dapat dilacak dalam
beberapa literatur klasik. Karyanya itu mencakup dua bidang sastra arab dan
jurisprudensi
1.
Syarh jalil ‘ala al-khulasa fi al-Nahw
2.
‘Unwan al-ittifaq fi’ilm al-isytiqaq
3.
Kitab Ushul al-Nahw
4.
Al-ifadat wa al-irsyadat insya’at
5.
Kitab al-majlis
6.
Kitab al-i’tisam
7.
Al-muwafaqot
8.
Fatawa[6]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Ibnu taimiyah yang bernama lengkap Taqiyuddib Ahmad bin Abdul Halim
lahir di kota harran pada tanggal 22 januari 1263 M 10 Rabi’ul awal 661 H). Ia
berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah paman dan kakeknya
merupakan ulama besar mazhab Hambali dan penulis sejumlah buku.
2.
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya
tulisnya, antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as Syar’iyyah fi Ishlah ar
–Rai wa ar Ra’iyyah dan al- Hisbah fi al-islam.
3.
Al-syatibi yang nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad
Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya. Yang jelas ia berasaldari suku
arab lakhmi. Al-syatibi yang nama lengkapnya Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad
Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-syatibi merupakan salah seorang muslim yang belum
banyak diketahui latar belakang kehidupannya.
4.
Beberapa pandangan al-syatibi di bidang Ekonomi
a.
Objek kepemilikan
Pada dasarnya,
al-syatibi mengakui hak milik individu. Namun ia menolak kepemilikan individu
terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia
menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunanya tidak bisa di
miliki oleh seorangpun.
b.
Pajak
Dalam pandangan
al-syatibi, pengumutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan umum).
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman Azwar
Karim, sejarah perekonimian islam, jakarta, PT Raja Grapindo Persada,
2008.
Heri Sudarsono,
konsep ekonomi islam, yogyakarta, Ekonisia, 2002.
[1] Adiwarman Azwar Karim, sejarah perekonimian islam, jakarta, PT
Raja Grapindo Persada, 2008, hlm: 351
[2] Heri Sudarsono, konsep ekonomi islam, yogyakarta, Ekonisia,
2002, hlm:140
[4] Op cit, hlm:331-351
[5] Adiwarman Azwar Karim, sejarah pemikiran ekonomi, jakarta, PT
Raja Grofindo Persada, 2004, hlm 316-324
[6] http://
sakirman87.blogspot.com/2012/11/maqasid-stari’ah-imam-asy-syatibi.html
Comments
Post a Comment