1.
Pengertian Akidah
Akidah berakar dari kata yang berarti tali pengikat sesuatu dengan
yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika
masih dapat dipisahkan berarti belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum
ada akidahnya. Dalam pembahasan yang masyhur akidah diartikan sebagai iman,
kepercayaan atau keyakinan.
Dalam kajian Islam, akidah berarti tali
pengikat batin manusia dengan yang diyakininya sebagai Tuhan yang Esa yang
patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini. Abdul Ghani memeberi
pengertian akidah sebagai sebuah keyakinan kepada hakikat yang nyata yang tidak
menerima keraguan dan bantahan. Apabila kepercayaan terhadap hakikat sesuatu
itu masih ada unsur keraguan dan kebimbangan, maka tidak disebut akidah. Jadi akidah
itu harus kuat dan tidak ada kelemahan yang membuka celah untuk dibantah.
Sedangkan M. Syaltut menyampaikan bahwa akidah
adalah pondasi yang di atasnya dibangun hukum syariat. Syariat merupakan
perwujudan dari akidah. Oleh karena itu hukum yang kuat adalah hukum yang lahir
dari akidah yang kuat. Tidak ada akidah tanpa syariat dan tidak mungkin syariat
itu lahir jika tidak ada akidah.
Ilmu yang membahas akidah disebut ilmu akidah.
Ilmu akidah menurut para ulama’ adalah sebagai berikut:
- Syekh Muhammad Abduh mengatakan ilmu akidah adalah
ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-sifat yang wajib
tetap ada pada-Nya, juga membahas tentang rasul-rasul-Nya, meyakinkan
mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada mereka, apa yang boleh
dihubungkan pada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkan kepada
diri mereka.
- Sedang Ibnu Khaldun mengartikan ilmu akidah adalah
ilmu yang membahas kepercayaan-kepercayaan iman dengan dalil-dalil akal
dan mengemukakan alasan-alasan untuk menolak kepercayaan yang bertentangan
dengan kepercayaan golongan salaf
dan ahlissunnah.
- Kemudian Syekh Husin mengartikan ilmu akidah adalah
ilmu yang membicarakan bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan
keagamaan (Islam) dengan bukti-bukti yang yakin.
Dari tiga pengertian di atas dapat
disimpulkan bahwa ilmu akidah adalah ilmu yang membicarakan segala hal yang
berhubungan dengan rukun iman dalam Islam dengan dalil-dalil dan bukti-bukti
yang meyakinkan. Semua yang terkait dengan rukun iman tersebut sudah disebutkan
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 285:
Rasul
telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya,
demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan: "Kami dengar dan Kami taat." (mereka
berdoa): "Ampunilah Kami Ya Tuhan Kami dan kepada Engkaulah tempat
kembali."
Dalam suatu hadis Nabi saw. menjawab
pertanyaan Malaikat Jibril mengenai iman dengan mengatakan:
اَنْ تؤْ مِنُ
بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَاْليوْمِ اْلاخِرِ وَتؤْمِنَ
بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَشَرِهِ
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
rasul-rasul-Nya dan hari akhirat. Dan juga engkau beriman kepada qadar, yang
baik dan yang buruk.”
Berdasarkan hadis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rukun
iman itu ada enam:
1.
iman kepada Allah
2.
iman kepada Malaikat Allah
3.
iman kepada kitab-kitab Alalh
4.
iman kepada rasul-rasul Allah
5. iman kepada hari akhirat,
6. iman kepada qada’ dan qadar.
Seabagaimana telah kita diketahui bahwa agama
Islam itu berasal dari empat sumber: al-Qur’an, hadis/sunnah nabi, ijma’ (ijmak) dan qiyas. Akan tetapi untuk akidah Islam sumbernya hanya dua saja,
yaitu al-Qur’an dan hadis mutawatir (yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang
banyak yang tidak mungkin mereka itu sepakat untuk berdusta dalam meriwayatkan hadis
itu)
Hal itu berarti akidah mempunyai sifat
keyakinan dan kepastian sehingga tidak mungkin ada peluang bagi seseorang untuk
meragukannya. Dan untuk sampai pada tingkat keyakinan dan kepastian ini, akidah
Islam harus bersumber pada dua warisan tersebut yang tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa ia diketahui dengan pasti berasal dari nabi. Tanpa informasi dari
dua sumber utama al-Qur’an dan sunnah nabi, maka sulit bagi manusia untuk
mengetahui sesuatu yang bersifat gaib tersebut.
2.
Dalil / Argumentasi dalam Akidah
Dalam
membahas akidah harus diajukan argumentasi yang benar yang memadai disebut
Dalil. Dalil dalam akidah ada dua yaitu:
a.
Dalil Aqli ).
Dalil yang berdasarkan akal pikiran. Yaitu
cara berfikir yang sehat dan benar. Dalil Aqli dapat digunakan untuk
memperbincangkan ilmu Akidah karena Akidah Islam itu berlaku bagi orang-orang
yang mempunyai akal yang sehat. Orang yang tidak mampu mempergunakan akalnya
karena ada gangguan, maka tidak dibebani untuk memahami Akidah. Segala yang
menyangkut dengan Akidah, kita tidak boleh meyakini secara ikut-ikutan,
melainkan berdasarkan keyakinan yang dapat dipelajari sesuai dengan akal yang
sehat.
b.
Dalil Naqli )
Walaupun akal manusia dapat menghasilkan
kemajuan ilmu dan teknologi, namun harus disadari bahwa betapapun kuatnya daya
pikir manusia, ia tidak akan sanggup mengetahui hakekat zat Allah yang sebenarnya. Manusia tidak memiliki
kemampuan untuk menyelidiki yang ghaib, untuk mengetahui yang ghaib itu kita
harus puas dengan wahyu Allah. Wahyu itu
yang disebut dalil Naqli.
Kebenaran Dalil Naqli ini bersifat Qoth’iy
(pasti), kebenarannya mutlak serta berlaku untuk semua ruang dan waktu. Dalil Naqli ada dua
yaitu Al-Qur’an dan hadis Rasul. Hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal,
cukup diyakini kebenarannya tanpa harus membuktikan dengan akal. Termasuk ke
dalam bagian ini adalah hakekat hal-hal yang ghaib, seperti kiamat, alam
barzakh, alam makhsyar, surga, neraka, malaikat,dan lain sebagainya.
3.
Tujuan Akidah Islam
Menurut Syaikh
Utsaimin Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang,
yaitu:
a. Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah satu-satunya. Karena Dia adalah Pencipta
yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan
kepada-Nya satu-satunya.
b. Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan
yang timbul dari kosongnya hati dari akidah. Karena orang yang hatinya kosong
dari akidah ini, adakalanya kosong hatinya dari setiap akidah serta menyembah
materi yang dapat diindera saja dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan
akidah dan khurafat.
c. Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas
dalam jiwa dan tidak goncang dalam pikiran. Karena akidah ini akan
menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan
yang mengatur. Hakim yang Membuat tasyri’. Oleh karena itu hatinya menerima
takdir, dadanya lapang untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
d. Meluruskan tujuan dan perbuatan dari
penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan bermuamalah dengan orang lain.
Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani para rasul yang mengandung
mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
e. Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu
dengan tidak menghilangkan kesempatan beramal baik kecuali digunakannya dengan
mengharap pahala serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan
rasa takut dari siksa. Karena di antara dasar akidah ini adalah mengimani
kebangkitan serta balasan terhadap seluruh perbuatan.
“Dan masing-masing orang yang memperoleh derajat-derajat
(sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang
mereka kerjakan.” (QS. al An’am ayat 132)
Nabi Muhammad
saw. juga mengimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنَ
الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
وَاسْتَعِنْ بِاللهِ، وَلاَ تَعْجَزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ
أَنِّيْ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ، وَمَا شَاءَ
فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ.
“Orang Mukmin
yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan
pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang
berguna bagimu serta mohonlah pertolongan dari Allah dan jangan lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka janganlah
engkau katakan: Seandainya aku kerjakan begini dan begitu. Akan tetapi
katakanlah: Itu takdir Allah dan apa
yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya mengandai-andai itu membuka
perbuatan setan.” (HR Muslim)
f.
Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki
individu-individu maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal baik,
baik lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan.” ( QS. An Nahl/16
ayat 97)
4.
Metode-metode peningkatan kualitas akidah
Seorang mukmin harus memiliki kualitas akidah
yang baik, yaitu akidah yang benar, kokoh dan tangguh. Kualitas akidah tidak
hanya diukur dari kemauan seseorang
untuk percaya kepada Allah Swt. atau kepada yang lain seperti yang tercantum di
dalam rukun iman. Namun lebih jauh dari itu, kepercayaan itu harus bisa dibuktikan
dalam praktik kehidupan sehari-hari. Percaya saja tidak cukup, tapi harus
dikuti dengan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari di manapun berada.
Contoh seseorang yang beriman kepada Allah Swt.
maka ia harus melakukan semua yang diperintahkan Allah Swt. dan menjauhi semua
yang dilarang-Nya. Jika ia beriman kepada kitab Allah, maka ia harus melaksanakan
ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Jika ia beriman kepada para rasul Allah, maka ia wajib melaksanakan ajaran yang
disampaikan para rasul dengan sebaik-baiknya serta meneladani akhlaknya.
Untuk itu mengingat pentingnya kekuatan akidah
itu dimiliki oleh setiap mukmin, maka diperlukan upaya-upaya atau cara-cara
yang baik agar bisa meningkatan keyakinan dan memudahkan menerapkan semua
keyakinannya itu di dalam kehidupannya di masyarakat. Sebab kepercayaan atau
keyakinan itu bisa tumbuh paling tidak karena tiga hal; yaitu karena meniru
orang tua atau masyarakat, karena suatu anggapan dan karena suatu pemikiran (dalil
akli).
Di antara cara atau metode yang bisa
diterapkan adalah
(1) melalui
pembiasaan dan keteladanan.
Pembiasaan dan keteladanan itu bisa dimulai dari keluarga. Di sini peran
orang tua sangat penting agar akidah itu bisa tertanam di dalam hati sanubari
anggota keluarganya sedini mungkin. Keberhasilan penanaman akidah tidak hanya
menjadi tanggungjawab guru saja, tetapi menjadi tanggungjawab smua pihak.
Karena itu, semuanya harus terlibat.
Selain itu pembiasaan hidup dengan kekuatab akidah itu harus dilakukan secara
berulang-ulang (istiqamah), agar menjadi semakin kuat keimanannya.
(2)
melalui pendidikan dan pengajaran
Pendidikan dan pengajaran dapat dilaksanakan baik dalam keluarga,
masyarakat atau lembaga pendidikan formal. Pendidikan keimanan ini
memerlukan keterlibatan orang lain untuk
menanamkan akidah di dalam hatinya. Penanaman kalimat-kalimat yang baik seperti
dua kalimat syahadat dan kalimat laa
ilaha ill Allah (tiada Tuhan selain Allah) sangat penting untuk menguatkan
keimanan seseorang. Pendidikan dan pengajaran menjadi salah satu cara yang
tepat dalam menanamkan akidah dan meningkatkan kualitas akidah.Islam mendidik
manusia supaya menjadikan akidah dan syariat Allah sebagai hakim terhadap seluruh perbuatan
dan tindakannya. Oleh sebab itu, pendidikan Islam menjadi kewajiban orang tua
dan guru di samping menjadi amanat yang harus dipikul oleh satu generasi untuk
disampaikan kepada generasi berikutnya, dan dijalankan oleh para pendidik dalam
mendidik anak-anak.
5.
Prinsip-prinsip akidah Islam
Prinsip-prinsip akidah secara keseluruhan
tercakup dalam sejumlah prinsip dari seluruh sistem agama Islam yaitu suatu
sistem yang serasi, koheren, dan terjalin dengan baik. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
a.
Pengakuan
dan keyakinan bahwa Allah Swt. adalah Esa. Esa
dalam Zat, Sifat dan Perbuatan-Nya. Keimanan kepada Allah dan kewajiban seorang hanya menyembah
kepada Allah, tidak boleh diselingi dengan kepercayaan atau
keyakinan kepada yang lain.
b.
Pengakuan
bahwa para nabi telah diangkat dengan sebenarnya oleh Allah Swt. untuk menuntun
umatnya. Keyakinan bahwa para nabi adalah utusan Allah Swt. sangat penting,
sebab kepercayaan yang kuat bahwa nabi
itu adalah utusan Allah, mengandung
konsekuensi bahwa setiap orang harus meyakini apa yang dibawa oleh para rasul
utusan Allah tersebut berupa kitab suci.
Keyakinan akan kebenaran kitab suci menjadikan orang memiliki pedoman dalam
menjalani kehidupan di dunia ini.
c.
Kepercayaan
akan adanya hari kebangkitan. Keyakinan seperti ini memberikan kesadaran bahwa
kehidupan dunia bukanlah akhir dari segalanya. Setiap orang pada hari akhir
nanti akan dibangkitkan dan akan dimintai pertanggungjawaban selama hidup di
dunia.
d.
Keyakinan
bahwa Allah Swt. adalah Maha Adil. Jika keyakinan seperti ini tertanam di dalam
hati, maka akan menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang dilakukan akan mendapatkan balasan dari Allah Swt. Orang
yang berbuat kebaikan akan mendapatkan balasan yang baik, seberapapun kecilnya
kebaikan itu. Sebaliknya perbuatan jelek sekecil apapun akan mendapatkan
balasan yang setimpal dari Allah Swt.
Comments
Post a Comment